Syair Mereka
(Ayah Bundaku) Sakti
Mereka Lelah,
mereka letih
Mereka luka dan perih, duka mereka pedih
Walaupun tertatih, hati mereka tak sedih
Wajah lusuh jadi
tak berarti kala tanam kasih
Langkah mereka
pasti, mereka tak berhenti,
Mereka bahkan
tak takut mati,
mereka sungguh
berarti
Walau maut
datang hingga tujuh kali
Mereka sabar dan
tabah hati
Mereka itu
hangat api..
Mereka itu,
ya matahari..
Mereka tulus
memberi,
Kasih sayang dan
peduli mereka tak pernah mati
Ayah dan Bundaku
sakti
Mereka sudah tak
takut mati, apalagi sakit hati
Demi buah putih,
mereka tanam benih suci
Demi kasih putih
, mereka jadikan cinta itu murni
Sungguh, Ayah
Bundaku sakti..
Apa kataku bukan
kibulan semata
Apa kukata bukan
fiktif belaka
Sungguh, ini tulus
dari hati
Terima kasih,
kataku dari hati
Terima kasih
Ayah Bundaku yang sakti
Tak bisa kubalas
jasa, kini ataupun nanti
Taburan cinta
yang sakti sungguh tak terganti
Menggoreskan Lirik Luka
Diri
Ayah Bundaku Sakti
Mereka Sudah Tak Takut
Mati Apalagi Sakit Hati
Demi Buah Putih Mereka
Tanam Benih Suci
Demi Kasih putih Mereka
Jadikan Cinta Itu Murni
Bait
Puisi liris Rofinus Sela Wolo bertajuk Mereka
Ayah Bundaku Sakti itu mencuatkan kekaguman Sela terhadap sosok ayah-bunda
(orangtua). Apa yang mengagumkan? Sela coba menukik lebih jauh ke kedalaman
eksistensi orangtua lewat lirik puisi.
Demi Buah Putih Mereka
Tanam Benih Suci Demi Kasih putih Mereka Jadikan Cinta Itu Murni. Apa
kaitan ayah-bunda dengan cinta murni? Sela tak sekedar bertutur, tetapi ia
bergumul dengan pencarian makna (searching
for the meaning) dari keseharian sosok biasa-biasa saja ayah-bunda itu.
Di
mata Sela, sosok sepasang kekasih yang kemudian menjadi sami istri itu tak
hanya bertugas melahirkan dan mengasuh anak-anak yang lahir dari rahim mereka.
Tapi, mereka juga merajut cinta: Demi
kasih putih, mereka jadikan cinta itu murni.
Bagi
Sela, ayah-bunda adalah para pelaku cinta nan tulus. Dan pengakuan Sela itu
tulus : Apa ku kata bukan fiktif belaka,
ini tulus dari hati.
Akan
tetapi, selalu ada ketegangan antara sebuah pengakuan dan realitas. Ayah-bunda,
dimata seorang anak, tetaplah yang lain atau “liyan”. Banyak ayah-bunda disabit-sabit, dipapar-popor hingga
terkulai. Kekejaman itu datang dari sang anak yang dilahirkan dengan susah
payah dan penuh suar diasuh.
Sejuta
pemandangan tercetak dalam ingatan kolektif kita bagaimana “ketuban”
ayah-bunda dibalas dengan air tuba.
Hubungan anak-orantua sering ambigu: kasih sayang yang dibarengi penolakan, dan
bakan penindasan.
Mungkin
cinta, seperti juga hati, tak selalu menjadi sumber kebaikan; tapi yang kita
alami, hati juga bisa menjadi sumber iblis (devil).
Persoalan
lain: ayah-bunda adalah agen masyarakat (agent
of society) yang “memaksa nilai-nilai sosial” untuk digoreskan pada diri
anak yang masih polos seperti kertas putih. Kertas itu kemudian dicoret-coret
dengan “tinta sosial”. Lalu, sang anak menjadi makhluk sosial yang hidup dengan
nilai dan “life style” masyarakat. Ketika
kekuatan ekonomi, yang menentukan life
style itu pada akhirnya menentukan karakter si anak, tanpa ia
menghendakinya.
Tapi
lingkungan berubah dan setiap kita pun terpecah. Ayah-bunda adalah sejoli yang
tak selalu kita anggap setara secara sosial, juga kultural. Masyarakat tak
terlalu hormat pada dua insan yang berani menyatukan diri membentuk “bahtera
baru” dan melahirkan generasi baru itu.
Ayah-bunda,
dalam masyarakat paternalistik, tak pernah diperlakukan jujur. Mereka dibedah
hingga terbelah menjadi “atas dan bawah”, “kuat dan lemah”, “bermartabat dan
“tanpa martabat,”, di bawah kategorisasi yang diciptakan untuk menampik
keutuhan manusia.
Belum
banyak masyarakat yang mengakui kesamaan dan kesederajatan “ayah-bunda”. Sosialisme,
juga kapitalisme, tak ada bedanya dalam bersikap terhadap “orangtua”, pelahir
manusia itu. Ayah-bunda sudah lama menderita akibat perlakuan diskriminatif
seperti itu.
Sela
Wolo tak menampik realitas dan persepsi negatif itu.
“Mereka sudah tak takut
mati, apalagi sakit hati”. Mengapa mereka tak takut mati? Mengapa
pula mereka tak takut sakit hati?
Ada
yang bergetar dari refleksi Sela: ayah bunda unggul dalam berdamai dengan diri
mereka. Damai dengan diri? Pada titik ini Sela bertutur tak datar. Dua
orang-masing-masing dengan tipe kepribaadianya meminta untuk diikat dalam satu sakramen,
diberkati, dan meleburkan diri dalam satu kesatuan sakramental.
Tak
mudah peleburan diri seperti itu, karena “kekurangan diri” yang lain harus bisa
diterima. Demikian mereka berdamai dengan apa yang menjadi kekurangan diri dan
diri pasangan mereka.
Berdamai
Berdamai
dengan diri sendiri, inilah soal yang tak mudah dikerjakan. Secara teoritis,
orang lebih mampu berdamai dengan orang lain, bukan dengan diri sendiri. Justru
disinilah terjadi kesalahpahaman mendasar.
Bila
Sigmund Freud, Bapak Psikoanalis mengatakan manusia sebagai makhluk yang
terpecah, maka upaya berdamai dengan diri sendiri bisa dimulai dengan menelisik
sisi dalam diri manusia.
Frederick
SX menunjuk “sisi-sisi terluka manusia yang perlu diobati dan disembuhkan. Itulah
realitas luka batin yang melumpuhkan hampir semua potensi seorang individu.
Dalam masyarakat dengan budaya paternalistik yang amat kuat seperti masyarakat
Indonesia, mungkin pengenalan sekaligus penemuan luka-luka itu amat relevan dan
mendesak.
Entahkah
realitas luka batin itu harus membuat kita bermurung durja sepanjang hari? Bahaya
yang ditularkan oleh ajaran Freud adalah sisi deterministik yang tidak
menghargai dimensi kebebasan dalam diri manusia.
“Pengolahan
luka-luka batin, memang penting. Tapi luka batin tidak menemukan (determine) masa depan seorang manusia. Masih
ada rahmat, juga posibilitas di luar dugaan kita”, kata Frederick SX.
Bila
Protestantisme yang mengikuti ajaran Martin Luther melihat akibat dosa manusia telah
totaliter corruptus, maka teologi
katolik percaya bahwa dosa Adam hanya melukai diri manusia. Dengan demikian manusia
masih memiliki kebebasan, dan Tuhan pun menjadi Bapa yang Mahakasih, bukan
hakim pengetuk palu.
Itulah
mengapa Rofinus Sela Wolo masih melihat cinta pada ayah-bunda, dua sejoli yang
sebelumnya diragukan dapat membangun bahtera baru kehidupan, bila kita hanya
terjebak pada sikap-sikap memutlakan banyak hal. Sela pun menampik determinisme
itu.
Rofinus Sela Wolo
Rofinus Sela Wolo
Post a Comment