Latest Post

Buka Lapak Jualan Baju Kreatifitas Anak Nagekeo

Written By Unknown on January 23, 2016 | 6:57 AM

Satu lagi anak muda Nagekeo yang kreatif salurkan hobi dan bakatnya untuk sesuatu yang bisa datangkan uang. Hobinya pake baju (^_^) dan jago design pake berbagai aplikasi design, mulai dari Sotosop----Curels, nah kalau ga disalurkan dengan baik mngkin aja hobi dan bakatnya jadi ga berguna kan..Akhirnya diputusin untuk design baju, awalnya buat pake sendiri (sesuai hobinya tu), tapi saat ada sahabatnya yg suruh dijual aja, walaupun ga ada darah saudagar, akhirnya jualan juga dia. Mulai buka lapak jualan baju, ya kalau ada yang berminat bolehlah hubungi anak ganteng satu ini, namanya JANSEN, kerja di Bandung, pusatnya tekstil dan ga mungkin diragukan lagi dong kualitas pakaian, apalagi kaos dari Bandung?, so ayo teman2 rame2 pesan dan beli baju ini sebelum habis loh (amin..hehe), kebetulan baju yang di design bertemakan NTT, dan ga ribet2 amat buat dibaca atau diliatin soalnya gambar dan tulisan simple tapi keren kok,.. Jadi buat yang pengen nunjukkin identitas diri kalian, add dlu pin BBnya, atau telpon deh nomornya, kalau ga datangi aja orangnya ke Bandung sekalian kenalan..hehe.. borong deh semuanya..
SOAL HARGA MUDAH DIJANGKAU, ga sampe bikin puasa seminggu kok...



Nih tersangka utama pelaku pembuat bajunya..hehehe

Kalau yang berminat mau pesan sekaligus kenalan sama JANSEN simpan dan hubungi juga invite lalu hubungi juga nomor hp dan pin bb di bawah ini ya :
SMS/WA -----0812 2465 7229
INVITE PIN BB JANSEN -----57F8ACF0
Masih banyak kok model bajunya, ini cuma promosi awal saja, buat perkenalan..hhehe
Ingat loh yanng berminat, hubungi ya...peace^_^





PILKADA SERENTAK ANTARA DEMOKRASI SUBSTANSI DAN DEMOKRASI PROSEDURAL

Written By Unknown on December 10, 2015 | 12:37 PM




Oleh : Fransiskus X. Gian Tue Mali
gfrank25.gf@mail.com 

Pemilihan umum sebagai salah satu unsur penting demokrasi dalam usaha mewujudkan pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, dari rakyat, dan diharapkan pemerintahan yang dipilih mampu bekerja untuk rakyat, merupakan perwujudan keikutsertaan rakyat dalam aktivitas politik sebagai subjek dan juga objek politik. Pemilu juga diharapkan sebagai wujud partisipasi rakyat untuk memilih pemimpin politik, pemimpin lembaga negara baik eksekutif maupun legislatif baik di tingkat nasional maupun daerah, merupakan representasi Hak Asasi rakyat dalam sistem demokrasi. Menurut Robert Dahl, Pemilu merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilu menjadi suatu parameter dalam mengukur demokratis atau tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi di dalam sistem politik dipilih melalui Pemilu yang adil, jujur dan berkala.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disepakati untuk langsung dipilih oleh rakyat. Pilpres sebagai bagian dari rezim pemilu di adakan pertama kali dalam pemilu Tahun 2004. Pada tahun 2007, berdasarkan undang-undang Nomor 22 Tahun 2007, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pemilukada sebagai turunan dari perwujudan Pemilu tersebut tentu perlu mengedepankan nilai-nilai diatas. Sejak dilangsungkannya Pemilukada pada tahun 2005, rakyat di daerah diberi hak asasinya untuk memilih secara langsung kepala daerahnya sesuai dengan hati nuraninya sendiri, asas one man one vote menunjukkan diberinya hak yang sama bagi setiap individu untuk memilih. Suara seorang tukang ojek di terminal Oebobo harganya sama dengan suara yang diberikan seorang direktur perusahaan di gedung bertingkat, sama-sama dihitung satu. Suara yang diberikan setiap individu menentukan siapa kepala daerah maupun wakilnya untuk masa 5 tahun kedepan.
Nilai kesetaraan, kejujuran, keadilan, hak asasi, dan partisipasi politik merupakan nilai-nilai yang harus ada dalam Pemilu. Namun terkadang suara rakyat didengar dan dihargai oleh elit politik hanya saat pemilu itu berlangsung. Termasuk di dalam Pemilukada. Suara seorang mama tua di bawah kaki gunung Inerie dihargai begitu tinggi oleh para elit politik pada saat Pemilu, namun ketika suara tersebut didapat dan para elit menempati jabatan politis, suara mama tua tersebut tidak akan pernah didengar lagi, apalagi dihargai. Mama tua di bawah kaki gunung Inerie itu hanyalah miniatur kecil dari demokrasi di Indonesia selama ini. Ketika pemilu berlangsung para elit dan agen-agen politiknya menyebar dari kampung ke kampung mempromosikan paket calon kepala daerah yang diusungnya, mulai dari sosialisasi persuasif, pendidikan politik, rayuan gombal penuh janji, hingga yang paling buruk seperti aksi pemaksaan, isu SARA hingga praktek Money politics atau pemberian sembako hanya untuk mendapatkan suara rakyat. Tetapi setelah pemilu selesai, suara-suara itu hanya ada di ruangan kosong, diteriakan dijalan sekalipun tidak akan pernah didengar. Inilah pengkhianatan terhadap nilai-nilai diatas.
Inilah perwujudan demokrasi kita, demokrasi yang dilaksanakan hanya sebatas pada aspek prosedural saja. Makna demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat pemilih dibutuhkan dan didulang hanya ketika pemilu datang.  Pemilu termasuk Pemilukada merupakan sarana bagi pemimpin yang terpilih untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat, oleh karena itu ada tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa. Pertama, melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu, pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat. Tak mengherankan apabila menurut beberapa ahli politik aliran fungsionalisme, pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi pemerintah untuk meningkatkan respon rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, dan pada saat yang sama memperkecil tingkat oposisi terhadapnya. Ketiga, dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan untuk mempertahankan legitimasinya.
Setelah mendapatkan legitimasi dari rakyat sebagai hasil pemilu maka pemimpin yang terpilih sudah seharusnya mempertanggungjawabkan kepercayaan rakyat yang diberikan kepadanya dalam bentuk menjalankan pemerintahan yang pro rakyat. Pro rakyat artinya terus mendengarkan suara rakyat baik itu berupa keluhan, kritik, maupun saran yang kemudian diwujudkan dalam bentuk kebijakan, program, dan keputusan. Karena rakyat dan pemerintah adalah dua sisi mata uang yang tidak akan pernah terpisahkan selama negara ini berdiri sebagai negara demokrasi, maka suara rakyat adalah suara yang harus terus didengarkan dan dihargai, tidak hanya saat pemilu saja, kemudian diartikulasikan oleh pemimpin terpilih. Suara rakyat adalah beban yang harus dipikul, tanggungjawab yang harus diemban oleh setiap orang yang mendapatkan suara mayoritas. Disinilah makna demokrasi itu sesungguhnya.
Pemerintahan yang demokratis dibangun diatas suara rakyat, dijalankan berdasarkan suara rakyat, dan kembali kepada perwujudan dari suara rakyat itu sendiri. Oleh karena itu tidak heran jika Jean Jacques Rousseau, pemikir Perancis pada masa Renaisance di Eropa, menyatakan bahwa Suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei). Sehingga secara implisit demokrasi yang ingin dijalankan harus mendengarkan suara rakyat, jika di dalam Agama suara Tuhan (wahyu) adalah absolut, maka di dalam demokrasi suara rakyat adalah juga absolut, suara rakyat adalah wahyu yang harus diterima oleh setiap pemimpin dan diejawantahkan dalam kehidupan bernegara. Maka demokrasi yang didirikan bukanlah demokrasi yang hanya berdasarkan peraturan atau prosedural semata dengan menghilangkan susbtansi demokrasi itu sendiri.
Selamat kepada masyarakat di Kab. Malaka, Kab. Belu, Kab. Manggarai Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab Sumba Barat, dan Kab Timor Tengah Utara yang pada Rabu 9 Desember 2015 ini memilih para pelayan publiknya, tetap kawal demokrasi agar menjadi demokrasi yang tidak hanya demokrasi prosedural namun mampu mewujudkan demokrasi substansi di daerah anda masing-masing. Viva Demokrasi!

Edisi 2 Foto Pemuda/i HIMAPPEN JABODETABEK

Written By Unknown on November 11, 2015 | 10:28 PM

 Diskusi "Pemuda, Kekerasan, dan Premanisme"
  Diskusi "Pemuda, Kekerasan, dan Premanisme"
 Diskusi "Pemuda, Kekerasan, dan Premanisme"
Tim Futsal HIMAPPEN JABODETABEK









Kumpulan Foto Pemuda/i Himappen Jabodetabek

Written By Unknown on November 9, 2015 | 3:43 PM










BAB 1-2 BUKU DEMOCRACY KARANGAN JACK LIVELY


RINGKASAN
Pemikiraan Jack Lively tentang demokrasi adalah tentang pemerintahan yang dipimpin atau dikelola oleh banyak orang bukan oleh segelintir orang saja, yang artinya terdapat distribusi kekuasaan ke dalam masyarakat. Namun bagi Lively mempertanyakan bagaimana semua kehendak atau kebutuhan rakyat dapat disampaikan atau diartikulasikan oleh sekelompok orang tersebut. Karena bagi Lively demokrasi yang berarti didalamnya terdapat kedaulatan rakyat sebagai poin utamanya sering dijadikan kambinghitam atau kamuflase oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan mereka sendiri, atau disebut oleh Lively sebagai perlawanan terhadap oposisi. Kritik Lively terhadap Bryce adalah bahwa Bryce mendefenisikan demokrasi sebagai pemerintahan di mana kehendak mayoritas warga yang memenuhi syarat aturan. Formula ini mengaitkan demokrasi erat dengan prinsip mayoritas, tetapi juga agak meninggalkan proses penerapan prinsipnya. Untuk itu bagi Livelyada dua pertanyaan mendasar ketika berbicara tentang demokrasi sebagai aturan mayoritas. Yang pertama adalah, Siapa yang membuat keputusan dalam sebuah komunitas?Yang, dalam kalimat Bryce, yang menjadi warga negara yang memenuhi syarat, Yang kedua adalah, Bagaimana orang-orang yang membuat keputusan untuk menjangkau mereka?Jika prinsip mayoritas adalah prinsip mendefinisikan demokrasi, maka mana yang mungkin untuk sebuah sistem menjadi demokratis, pertama para pembuat keputusan harus terdiri mayoritas masyarakat dan kedua prosedur yang harus diikuti oleh para pengambil keputusan harus didasarkan pada preferensi mayoritas dari mereka yang memutuskan.Ini artinya tak satu pun dari asumsi ini adalah sepenuhnya dapat dipertahankan dan bahwa prinsip mayoritas tidak selalu kompatibel dengan kesetaraan politik.
Demokrasi bagi Lively adalah tentang kesetaraan politik, oleh karena itu pemahaman Lively lebih sering disebut sebagai Kesetaraan Politik (Political Equality). Mengapa Kesetaraan politik?, bagi Lively hal ini harus menjadi dasar pemikiran dalam sistem demokrasi karena dalam mewujudkan demokrasi itu artinya perwujudan kehendak rakyat, dan hal ini tidak akan mungkin terjadi jika kedaulatan rakyat digeser menjadi kedaulatan mayoritas. Oleh karena itu maka pemahaman tentang kewarganegaraan tidak boleh dibatasi oleh berbagai aturan yang populer dalam masyarakat, semua warga negara adalah sama namun yang cukup untuk dijadikan pertimbangan adalah kompetensi politiknya serta distribusi nilai-nilai atau kualitas yang dimiliki oleh rakyat. Lively mempertanyakan prinsip mayoritas dengan pertanyaan antara lainPrinsip mayoritas tidak bisa digunakan karena itu dilihat sebagai dasar untuk menentukan batas-batas kewarganegaraan. Apakah itu lagi meyakinkan untuk mengatakan bahwa prinsip keputusan mayoritas adalah prinsip prosedural khas demokrasi? Apakah jawaban unik demokratis untuk pertanyaan, Bagaimana mereka yang mengambil keputusan untuk menjangkau mereka?.
Bagi Lively kesetaraan politik juga bisa dilihat dari sisi dimana individu tidak menyetujui keputusan yang dibuat yaitu dengan cara memveto atau menyatakan abstain dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu bagi Lively dalam persoalan penentuan pemerintah, maka lebih baik jika hanya terdapat dua alternatif saja. Lively memberikan contoh seperti yang terjadi di Inggris dan Amerik dimana hanya terdapat 2 partai politik saja.Kesetaraan politik dapat tercapai dengan memperhatikan dua aspek penting dalam mengambil keputusan yaitu, kesetaraan retrospektif yang diukur melalui apakah setiap orang dilibatkan dalam keputusan dan yang kedua ialah kesetaraan prospektif dilihat apakah setiap orang / kelompok dihambat dalam mengambil keputusan.Substansi yang ditawarkan Jack Lively adalah kesetaraan politik dimana persoalan-persoalan dalam negara demokrasi dapat teratasi melalui penerapan kesetaraan politik.
Dalam pemikirannya Lively menganalisis 5 (lima) prosedur minimal dalam upaya untuk mengambil keputusan bersama : (1). Kebulatan suara, Individu berhak memveto untuk kepentingan umum dan perdebatan dilakukan secara terbuka;(2). Mayoritas Absolute; (3). Dalam keputusan demokratis, suara minoritas dapat menentukan kemenangan; (4).Gabungan Minoritas (interested minorities); (5).Mayoritas sederhana (simple majority) yaitu konsepsi jumlah suara terbesar yang jadi pemenang.
Kesetaraan politik dapat dicapai melalui dua cara yang pertama adalah kesetaraan retrospektif yang diukur melalui apakah setiap orang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dan yang kedua kesetaraan prospektif dilihat apakah setiap orang atau kelompok dihambat atau dicegah untuk ikut menentukan. Tirani mayoritas kesetaraan prospektif tidak terwujud, sedangkan minoritas permanen kuat dan tak dapat dielak menjadi bentuk lain dari tirani. Dengan demikian kesetaraan hanya diraih dengan suara bulat atau mayoritas sesuai prosedur.Dengan demikian subtansi demokrasi yang ditawarkan oleh Jack Lively adalah kesetaraan politik, keputusan mayoritas atau minoritas bukan menjadi persoalan selama ada jaminan kesetaraan politik.
Dari pandangan J. Lively tenyata standar dari variasi demokrasi idak ada, kekuatan mayoritas akan sangat mungkin membatasi ruang gerak minoritas, yang jelas-jelas sudah keluar dari esensi nilai ideal demokrasi. memungkinkan sebuah elit penguasa membendung ruang gerak minoritas, ternyata hal ini sudah keluar dari esensi nilai ideal sebuah konsep demokrasi. Secara tradisional konsep yang digunakan dalam kekuasaan politik adalah pemerintahan dari Rakyat, oleh Rakyat dan untuk Rakyat.Demokrasi adalah sebuah tipe pemerintahan dimana rakyat secara keseluruhan memilih pejabat publik tertinggi dan menyetujui program-program yang ditawarkan pada saat pemilihan dan dasar pelaksanaannya adalah konstitusi yang disepakati.Sebagai konsekwensi dari pelaksanaan demokrasi semacam ini adalah pemindahan kekuasaaan dari pemilih yang mayoritas adalah benar adanya. Dengan demikian asumsinya bahwa logika kekuasaan yang ada semua WN diharuskan tunduk oleh pemenang dari pemerintahan ini dan instrumen kekuasaan dalam bentuk kekuatan dalam bertindak atas nama ketaatan terhadap pemerintah terhadap warga negara dapat diterapkan dan legal. Dalam upaya antisipasi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) maka diperlukan kualitas moral dan etika pejabat publik dalam menjalankan pemerintahan sangat diperlukan sehingga keputusan politik yang dibuat merupakan cermin dari harapan warganegara secara keseluruhan termasuk minoritas.
Jack Lively menyebut tiga kriteria kadar kedemokrasian sebuah negara: (1) sejauh mana semua kelompok utama terlibat dalam proses-proses pengambilan keputusan, (2) sejauh mana keputusan pemerintah berada dibawah kontrol masyarakat, (3) sejauh mana warga negara biasa terlibat dalam administrasi umum. Merujuk dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pemerintahan demokratis mempunyai keunggulan yang paling utama adalah keikutsertaan atau keterlibatan rakyat melalui partisipasi dalam kegiatan pemerintahan. Oleh karena proses demokratisasi itu menyangkut partisipasi warga negara dalam proses politik.
Cacat lain dalam membela minoritas adalah bahwa kelompok yang sudah terorganisir untuk mempengaruhi pengambilan keputusan, baik melalui mobilisasi sumber daya pemilu atau melalui tindakan langsung pada pengambil keputusan, tidak akan selalu membatasi kegiatannya ke daerah-daerah di mana rasanya intens. Dengan kata lain, setelah kelompok telah dikeluarkan biaya organisasi, mungkin layak untuk menggunakan kekuatan organisasi untuk menekan kebijakan yang hanya sedikit menguntungkan anggotanya. Jika minoritas selalu mulai dari awal, mungkin masuk akal untuk menyatakan bahwa mereka hanya akan melakukan kegiatan politik mahal untuk mempengaruhi keputusan yang mereka merasa kuat. Dalam prakteknya, seperti tabula rasa tidak ada. Kelompok, atau beberapa kelompok, sudah terorganisir; dan, karena biaya memanfaatkan kekuatan organisasi yang ada kemungkinan akan jauh lebih rendah daripada biaya untuk menciptakan organisasi yang awalnya, kebijakan diikuti oleh kelompok-kelompok yang ada tidak mungkin terbatas pada daerah-daerah di mana mereka dapat memperoleh manfaat besar. Sekali lagi, ada alasan untuk meragukan jika keterlibatan dalam kegiatan politik tentu menunjukkan intensitas yang lebih besar di antara para aktivis dari kalangan non-aktivis.
Kita dibiarkan dengan dua jenis keputusan prosedur minoritas dan keputusan mayoritas sederhana. Jelas, prosedur keputusan minoritas akan masuk akal. Sekali lagi, perbedaan antara yang memutuskan dan bagaimana mereka memutuskan adalah penting.Hal ini tidak masuk akal (meskipun tidak demokratis) untuk mendesak bahwa mereka yang harus memutuskan harus menjadi minoritas kecil dari masyarakat.Hal ini masuk akal untuk mengatakan bahwa siapa pun yang memutuskan harus memutuskan dengan prosedur keputusan minoritas. Jelas, jika pemilih memahami prosedur, itu akan dalam praktek dikonversi menjadi keputusan mayoritas karena pemilih akan memilih alternatif yang mereka paling tidak disukai. Mengingat siasat sederhana dan jelas ini, alternatif yang lebih disukai setidaknya pernah bisa menang dan prosedur tidak akan pernah bisa diikuti. Titik menaikkan kasus aneh ini hanyalah untuk menunjukkan bahwa prosedur dibahas sampai sekarang adalah satu-satunya yang dapat dalam praktek memungkinkan keputusan yang efektif oleh minoritas.
Tampaknya keputusan mayoritas yang paling kondusif untuk kesetaraan politik sebagian besar keadaan ini akan terjadi; tapi kita harus menyadari bahwa keputusan mayoritas tidak bisa menjamin kesetaraan politik lengkap dan dalam beberapa situasi mungkin bertentangan itu. Sebuah keputusan mayoritas tidak dapat mencapai retrospektif kesetaraan, karena minoritas jelas tidak menentukan keputusan itu.Kesetaraan retrospektif tersebut dapat dicapai hanya ketika konsensus lengkap pada beberapa alternatif hadir, dan ada aturan prosedural apapun dapat memastikan konsensus tersebut.
Aturan dalam masyarakat tentang demokrasi diantaranyamungkin::
1.                  Bahwa semua harus memerintah, dalam arti bahwa semua harus terlibat dalam legislatif, dalam memutuskan kebijakan umum, dalam menerapkan peraturan perundang administrasi pemerintahan.
2.                  Bahwa semua harus secara pribadi terlibat dalam pengambilan keputusan krusial harus, yaitu dalam memutuskan hukum umum dan hal-hal dari kebijakan umum.
3.                  Bahwa para penguasa harus bertanggung jawab kepada peraturan; mereka harus, dengan kata lain, diwajibkan membenarkan tindakan mereka kepada peraturan dan bisa diberhentikan oleh peraturan.
4.                  Bahwa para penguasa harus bertanggung jawab kepada perwakilan dari peraturan.
5.                  Bahwa para penguasa harus dipilih mengikuti aturan.
6.                  Bahwa para penguasa harus dipilih oleh perwakilan dari aturan.
7.                  Bahwa para penguasa harus bertindak dalam kepentingan peraturan.
Oleh karena itu bagi Lively diperlukan pemerintahan yang bertanggungjawab agar hal-hal di atas dapat terwujud setidaknya bagi kondisi masyarakat yang banyak dan heterogen. Secara rinci mungkin ada banyak diskusi tentang pengaturan kelembagaan yang diperlukan untuk pemerintah yang bertanggung jawab, namun secara umum beberapa yang jelas. Harus ada pemilihan umum yang bebas, di mana baik pemerintah yang berkuasa atau kelompok lain dapat menentukan hasil pemilu dengan cara lain selain indikasi bagaimana mereka akan bertindak jika kembali berkuasa. Penipuan, intimidasi dan penyuapan dengan demikian tidak sesuai dengan pemerintah yang bertanggung jawab.
Suap moneter dalam pemilu, bisa dikatakan, pada prinsipnya tidak berbeda dari dan mungkin memang tidak memiliki konsekuensi lebih buruk daripada janji-janji kepada para pemilih atau bagian dari itu untuk mengejar kebijakan yang menguntungkan untuk kepentingan atau prasangka mereka.Pertahanan hukum tidak termasuk suap sebagai taktik pemilu tidak bisa semata-mata bahwa suap adalah tidak bermoral kecuali, seperti tentu saja mungkin, ini ditambah dengan kecaman dari setiap pertimbangan kepentingan pribadi oleh pemilih memberikan suara.
Kesemuanya dapat terwujud jika negara tersebut menganut atau menerapkan bingkai kelembagaan yang diperlukan untuk pemerintah yang bertanggung jawab adalah kebebasan berserikat, kebebasan berbicara diperlukan karena alternatif diam atau abstain tidak pernah menjadi alternatif yang efektif. Keberadaan pemerintah yang bertanggungjawab juga dapat diwujudkan jika terdapat persaingan yang bebas antara partai politik. Namun bagaimana dengan sistem satu partai?, bagi Lively hal ini tidak menjadi masalah dan tetap dapat mewujudkan negara yang demokratis yaitu pertama-pertama, partai harus benar-benar terbuka dan komprehensif. Kedua, perpecahan harus diizinkan dalam partai. Dengan kata lain, kelompok-kelompok dalam partai akan perlu bebas untuk mengatur diri mereka sendiri dan untuk menekan kebijakan mereka di dalamnya. Ketiga, kecuali keanggotaan partai adalah berbatasan dengan pemilih demokratis, kelompok-kelompok yang berbeda harus mampu menghadirkan kandidat yang berbeda dalam pemilihan ekstra-partai. Untuk dinyatakan kepemimpinan akan bertanggung jawab hanya kepada anggota partai dan tidak semua warga negara yang kompeten.  Secara umum, untuk sistem satu partai memungkinkan pemerintah yang bertanggung jawab, partai harus baik untuk menjadi hanya masyarakat bertindak dalam peran pemilu atau untuk mentolerir tingkat perpecahan internal memperluas oposisi bersama dalam pemilu ekstra-partai. Dalam kedua kasus, sesuatu yang sangat seperti dua pihak atau sistem multi partai akan hadir.
Bagi Lively untuk memunculkan alternatif lainnya, diperlukan adanya partai lain, atau sistem dua partai atau lebih. Sehingga pemilih dihadapkan dalam proses pengambilan keputusan dengan berbagai alternatif lainnya. Namun yang ditakutkan adalah kemungkinan adanya kesamaan paradigma politik antara parta-partai tersebut, karena mereka bergerak ke pusat kekuasaan yang sama. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa dalam sistem multi-partai, partai akan cenderung mempertahankan dan menekankan kekhasan ideologis dan programatik mereka. Dalam hal diskusi kita ini, ini tidak memungkinkan mereka untuk hadir untuk pemilih pilihan yang jelas dari alternatif kebijakan. Dalam hal ini, ia memiliki keuntungan lebih dari sistem dua partai. Dari sudut pandang lain, itu adalah menguntungkan. Kebajikan utama dari sistem dua partai sebagai sarana menegakkan akuntabilitas adalah bahwa hal itu menyajikan hubungan yang jelas antara putusan pemilihan dan tindakan pemerintah.Akuntabilitas pemerintah dengan mudah diterjemahkan ke dalam tanggung jawab partai karena, dalam keadaan normal, hanya satu pihak kontrol pemerintah dan pemilu yang memutuskan.

ANALISIS
Dalam memahami maksud dari Jack Lively tentang demokrasi dan paham kesetaraan politik yang dikemukakannya kita akan sampai pada titik dimana Lively merumuskan bahwa negara adalah tentang siapa yang memerintah, dan bagaimana proses pembentukan kehendak umum. Pertentangan mengenai mayoritas dan minoritas dalam penentuan kehendak umum dibagi menjadi pertentangan dalam persoalan komunitas mana yang kuat atau yang memiliki suara terbanyak, serta kelompok mana yang tidak memenangkan pemilihan dalam penentuan kehendak umum.Namun Jack Lively seolah menutup mata dalam melihat persoalan kesejahteraan, karena problem kesejahteraan sering dimanfaatkan oleh kelompok atau orang dengan kapital besar untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat.Problem money politics selalu menjadi penghalang utama dalam perwujudan demokrasi yang substansial, sehingga tidaklah heran jika hingga saat ini semua negara demokrasi tidak mampu mewujudkannya. Meskipun terdapat pengaruh lainnya dalam proses perwujudan demokrasi yang substansial tersebut.
Dua bentuk kesetaraan ditawarkan Lively, yakni kesetaraan retrospektif dan kesetaraan prospektif. Kesetaraan retrospektif artinya setiap orang memiliki peluang yang sama dan setara untuk terlibat dalam proses politik, sedangkan kesetaraan prospektif artinya setiap orang tidak boleh dicegah atau dihambat untuk terlibat dalam proses politik, akan hanya menjadi teori belaka jika persoalan money politics tidak diselesaikan itu artinya termasuk persoalan kesejahteraan. Selain itu kesetaraan Lively ini menjadi susah diwujudkan selama adanya kebebasan. Karena kebebasan akan memunculkan perbedaan, yaitu perbedaan dalam persoalan kemampuan intelektual, materi, yang akhirnya berujung pada perbedaan kesempatan politik dalam masyarakat itu sendiri.
Lively mengharuskan semua orang terlibat dalam proses pengambilan keputusan atau penentuan kehendak umum, artinya Lively takut dan curiga terhadap sekelompok kecil yang berkuasa dan tidak memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh masyarakat dalam proses politik. Sementara itu David Held menyatakan bahwa semua orang tidak akan pernah bisa terlepas dari politik. Meskipun merupakan bagian dari kelompok masyarakat, masih terdapat kelompok atau pasti ada kelompok yang bersikap apatis terhadap politik.Sikap seperti ini bukan berarti mereka terlepas dari politik namun mereka hanya membiarkan segala sesuatunya berada pada tempatnya[1].Daya tarik demokrasi adalah tentang penolakannya terhadap konsepsi apapun tentang ‘kebaikan politik’ dan lebih menerima apapun yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu yang diperdebatkan oleh Lively adalah penolakannya terhadap segala kekuasaan para raja, elit, politisi, pemimpin, atau para ahli yang menentukan keputusan politik serta mempertahankan persetujuan “uji coba” yang digunakan untuk menentukan kepentingan dan perhatian publik. Demokrasi digunakan untuk menengahi segala macam kepentingan individual dan kolektif yang saling bersaing sehingga menjadi kunci penentu agar keputusan politik dapat dipertanggungjawabkan. Sampai disini kita akan memahami betul mengapa demokrasi itu memang tentang kesetaraan politik seperti yang dimaksud oleh Lively. Namun kita juga melihat kenyataan bahwa dasar demokrasi yaitu kebebasan akan menampilkan persaingan berbagai kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya.
Tetapi di sisi lain esensi demokrasi bukan hanya terletak pada kebebasan, keadilan, maupun kesetaraan politik, karena ketiga hal ini secara bersamaan memunculkan persaingan atau kompetisi berbagai kepentingan, dan juga secara bersamaan mengharuskan adanya kesamaan atau tidak adanya perbedaan, oleh karena itu poin pentingnya dalam demokrasi adalah Dialog Publik. Sehingga dengan adanya kesetaraan hak dan kewajiban warga negara maka dengan sendirinya akan menghasilkan dialog publik mengenai apa yang terbaik bagi publik itu sendiri. Hal ini bukan berarti solusi utamanya karena dialog publik hanya dimungkinkan jika publik yang dimaksud adalah publik dengan jumlah yang tidak banyak dan tidak tersebar dalam wilayah yang luas jika yang diinginkan adalah demokrasi langsung. Namun karena adanya persoalan tersebut maka yang paling mungkin demokrasi dilakukan dengan sistem perwakilan. Kemudian hal inipula akan memunculkan problem lainnya yaitu, kemungkinan akan munculnya oligarki dalam demokrasi. Hal inilah yang akan mengancam demokrasi itu sendiri.
Bahkan dalam situasi demokrasi Indonesia saat ini Oligarki sudah dipandang tidak relevan lagi karena yang terjadi di Indonesia saat ini malah lebih buruk dari itu yaitu dinasti politik.Kita dapat melihatnya dimana para elit politik Indonesia saat ini yang tampil atau lahir dari kelompok masyarakat tertentu atau keluarga atau bisa disebut trah tertentu. Seperti halnya Trah Soekarno (Megawati, Puan Maharani, Rachmawati), Trah NU (Gus Dur, Yenny Wahid), Kelompok Cendana seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, yang kemudian “beranak cucu” ke generasi selanjutnya dalam kelompok ini (Ibas Baskoro, Aryo Djojohadikusumo). Bahkan di daerah praktek ini semakin diperparah dengan kemunculan sistem otonomi daerah dimana muncul apa yang dinamakan sebagai local bosisme atau bos-bos lokal, biasa juga disebut sebagai raja-raja kecil. Yaitu mereka yang dengan segala kemampuan aksesbilitasnya maupun kapital mampu mempengaruhi kebijakan politik atau bahkan menentukan siapa pemimpin politiknya.
Pemikiran Lively tentang sistem kepartaian juga jika dilihat dalam konteks Indonesia pasca reformasi maka kita akan sampai pada titik dimana sistem multipartai di Indonesia memunculkan berbagai macam implikasi kontradiktif. Pertama, memperluas ruang partisipasi bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses politik karena substansi demokrasi adalah kesetaraan politik.Maka, dalam konteks kesetaraan politik (political equality), sistem multipartai merupakan manifestasi hak politik untuk terlibat dalam politik.Kedua, melemahkan "suara rakyat" yang menjadi sumber kekuasaan politik karena banyaknya partai membuat suara rakyat terpecah-pecah dan ujung-ujungnya, yang menang dalam pemilihan umum hanyalah "mayoritas kecil" yang tidak mencerminkan kehendak seluruh umum. Konsekuensinya, suara rakyat tercecer ke mana-mana dan menjadi tidak berharga karena mengalir ke partai-partai yang kalah. Akibatnya, yang duduk dalam sistem politik, mewakili seluruh rakyat, adalah para wakil yang hanya memperoleh dukungan tidak lebih dari 20 persen suara dalam pemilu, seperti banyak anggota DPR hasil Pemilu 2004.Kalau kita cermati dalam praktek, tidak ada negara demokratis kuat yang partainya banyak.Di Amerika Serikat hanya ada dua partai, Republik dan Demokrat. Di Inggris pun demikian. Memang ada partai kecil, seperti Partai Liberal, tapi Partai Liberal sudah hampir pasti hilang karena secara ideologis kaum liberal sudah berbaur ke dalam Partai Buruh (sebagai sayap kanan)dan Partai Konservatif (sebagai sayap kiri). Sulit disangkal, sistem multipartai hanya efektif untuk negara yang baru lahir atau baru keluar dari sistem otoriter, tapi menjadi tidak efektif untuk negara yang pemerintahnya relatif stabil.
Indonesia relatif stabil, maka tidak relevan lagi sistem multipartai eksesif yang mencapai puluhan partai.Sistem bipartai juga tentu belum layak, karena partai politik sampai sekarang belum bisa dipercaya sepenuhnya. Pada 1998, William Liddle pernah mengungkapkan bahwa idealnya Indonesia memiliki kurang dari 10 partai, bahkan di bawah lima. Saya kira, yang paling ideal memang tiga-lima partai.Lebih dari itu, hanya melahirkan masalah, tapi kurang dari itu juga jadi masalah karena menjadi hambatan bagi partisipasi politik rakyat apabila partai-partai yang ada tidak mampu lagi dipercaya.
Geoff Mulgan mengemukakan tiga hal pokok dalam kritiknya terhadap demokrasi.Pertama, demokrasi dapat atau cenderung melahirkan oligarki dan teknokrasi.Hal yang diragukan adalah pemerintah dianggap tidak dapat secara penuh berpihak pada rakyat karena posisi pemerintah adalah posisi yang dianggap posisi tepat dalam meningkatkan pendapatan.Kedua, prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan dan kompetisi telah diintervensi oleh kekuatan modal.Yang disebut keterbukaan, hanya berarti keterbukaan untuk berusaha bagi pemilik modal besar, kebebasan artinya kebebasan berinvestasi perusahaan multinasional, kompetisi dimaknai sebagai persaingan pasar bebas yang penuh tipu daya.Ketiga, media yang mereduksi partisipasi rakyat.Kelihaian media dalam mengolah opini publik mengakibatkan moralitas politik menjadi abu-abu, juga cenderung dapat menggantikan partisipasi rakyat.Ini berujung pada semakin menipisnya dan terpinggirkannya ‘partisipasi langsung’ dan ‘kedaulatan langsung’ rakyat.
Keputusan yang diambil dalam demokrasi diambil dari suara terbanyak karena semua memiliki kedudukan sama di depan hukum sedangkan ada anggapan bahwa demokrasi hanya menguntungkan beberapa pihak saja dan anggapan bahwa demokrasi hanya melanggengkan kepentingan ideologi dan ekonomi (barat) dengan disamarkan dengan kata-kata manis seputar kebebasan dan demokrasi. Seringkali demokrasi digunakan sebagai alat propaganda untuk memuluskan kepentingan elit politik tertentu. Serta ironi lainnya, dikhawatirkan prinsip mayoritas yang merupakan substansi dalam sistem pemerintahan demokratis akan memunculkan suatu produk hukum yang hanya akan melayani kehendak dan kepentingan mayoritas.
Demokrasi yang bermula dan diyakini dari perkembangan kenegaraan city-state Yunani kuno, hingga saat ini terus mengalami ujian dengan mencoba untuk menemukan “standart dan criteria”.Negara-negara yang paling dianggap paling demokratis saat ini, dalam realitasnya tidaklah demikian.Ketika negara dihadapkan pada urusan kepentingan nasional tertentu, dan kepentingan rezim atau kelompok pada tataran yang lain, perilaku mereka cenderung menghambat demokrasi. Dalam demokraai yang ideal, setiap orang akan berusaha untuk membujuk seseorang setuju pada pandangannya dan bebas atau menolak pandangan seseorang. Demokrasi yang ideal berasumsi bahwa, jika sebuah pendapat dapat dengan bebas diutarakan pada penguasa (menyampaikan aspirasi).
Dengan demikian tujuan dari kematangan demokrasi adalah menciptakan dan menjamin setiap orang dalam kondisi minimal yang diperlukan untuk menjadi warganegara yang beradap.Kondisi yang ada banyak dan bervariasi diantaranya kebebasan berpolitik, kesetaraan ras, toleransi beragama, kebebasan intelektual, perbaikan budaya, memberikan kesempatan lapangan kerja, keamanan terhadap kekerasan sosial.Dengan demikian bahwa semakin jelas bahwa demokrasi sesungguhnya dapat menciptakan tingkat civilization yang lebih tinggi pada masyarakat.




[1] David Held. Models Of Democracy, edisi bahasa Indonesia, penerjemah Abdul Harris, Jakarta; Akbar Tandjung Institut, 2006. Hal. 303.
Kumpulan Informasi Nagekeo
Kumpulan Informasi Nagekeo
 
Contact Us : Facebook | Twitter | Feeds
Copyright © 2011. Himappen Jabodetabek - All Rights Reserved
Great Created by Creating Website Modify by Agaz Santiago
Proudly powered by Blogger