BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Demokrasi pada hakikatnya mengandung nilai-nilai yang inklusif, yaitu mempertemukan segala yang berbeda atau berlainan melalui konsepsi politik yang disebut human qua citizen. Indoensia sebagai negara demokrasi sudah seharusnya mengembangkan nilai-nilai yang demikian ini, agar terhindar dari negara demokrasi sekadar dalam sebutan belaka.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Demokrasi pada hakikatnya mengandung nilai-nilai yang inklusif, yaitu mempertemukan segala yang berbeda atau berlainan melalui konsepsi politik yang disebut human qua citizen. Indoensia sebagai negara demokrasi sudah seharusnya mengembangkan nilai-nilai yang demikian ini, agar terhindar dari negara demokrasi sekadar dalam sebutan belaka.
Inklusivitas demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, penekanan “oleh semua rakyat” disini harusnya dilihat sebagai ciri identitas kolektif yang kuat dari demokrasi. Demokrasi menuntut solidaritas dan komitmen bersama dari semua rakyat dengan tingkatan toleransi multikultural yang tinggi. Oleh karena itu untuk mengontrol segala perbedaan dalam demokrasi, hendaknya nilai-nilai mutual understanding, mutual trust, dan mutual commitment selalu diperbaharui. Sungguh ini suatu tantangan bagi sistem perpolitikan Indonesia.
Pascareformasi Indonesia dihadapkan pada situasi yang bisa dikatakan semacam politik keterbukaan pada segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kondisi seperti ini, kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda-beda menuntut diakuinya hak-hak serta identitas masing-masing dalam bentuk tuntutan dan partisipasinya yang selama masa Orde Baru ditekan untuk diam dan menerima apa saja kebijakan pemerintah kala itu. Hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah ledakan sosial. Indonesia sebagai negara dengan berbagai etnik, agama, budaya, kelompok sosial, dan nilai-nilai sosialnya sendiri, telah menjadi permasalahan nasional dalam menciptakan satu kesatuan tatanan masyarakat yang demokratis sejak awal berdirinya negara ini. Dari segala macam keberagaman, tidak jarang malah timbul pergesekan yang mencuatkan konflik sosial baik horizontal maupun vertikal. Pada perkembangannya, hal ini kemudian menciptakan ruang bagi perpecahan dan disintegrasi sosial.
Kondisi semacam itu kian lengkap dengan adanya kelompok mayoritas dan minoritas di dalamnya, baik sercara etnik maupun agama bahkan kelompok kepentingan. Tidak bisa dipungkiri bahwa adanya kelompok mayoritas dan minoritas telah menjadi modal bagi lahirnya diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan terhadap kelompok yang memiliki perbedaan nilai-nilai sosial. Pluralitas, perbedaan, dan diversitas tidak lagi dilihat sebagai suatu mata rantai yang memperkokoh persatuan, sehingga dalam perjalanan bangsa Indonesia aksi-aksi separatis (pemisahan diri) juga selau berjalan beriringan dengan berbagai tuntutan. Salah satu contohnya adalah merdekanya Timor-Timur yang aksi separatisnya berlangsung selama puluhan tahun. Bahkan, yang hingga saat ini masih terjadi adalah aksi separatis di Papua, Maluku, dan Aceh[1] dengan masing-masing wujud, skala dan intensitasnya.
Permasalahan pluralitas di Indonesia jelas-jelas telah mengancam integrasi bangsa. Pancasila, UUD 1945, dan slogan NKRI sebagai pemersatu bangsa nyaris-nyaris menjadi simbol belaka. Ini terjadi bukanlah karena kemauan kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakpuasan akibat secara ekonomi dan politik hak-hak mereka tidak terpenuhi. Bahkan institusi dan struktur kemasyarakatn yang sudah turun-temurun mereka jalani sebagai pengaturan kehidupan berpemerintahan khas setempat, tercerabut oleh keseragaman akibat kebijakan dan perundang-undangan yang sentralistik. Hal inilah yang menjadi tuntutan gerakan-gerakan separatis di Indonesia, dan sebagian besar kelompok sosial. Kita tahu bahwa selama masa Orde Baru hal ini bukanlah sesuatu yang tidak lumrah, namun nyatanya angin reformasi yang berhembus selama 13 tahun hingga kini tidak benar-benar membawa perubahan yang signifikan dalam segala aspek kehidupan sosial. Pembangunan ekonomi dan sentralisasi politik yang pada masa Orde Baru hanya terjadi atau dilakukan di Indonesia bagian barat, serta praktik-praktik KKN, semakin merajalela di era reformasi ini.
Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pluralitas yang tidak diiringi dengan keadilan sosial, baik secara ekonomi, politik, dan hukum akan sangat membahayakan integrasi bangsa, bahkan lebih jauh lagi telah mencederai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi seperti keadilan sosial, kebebasan, diakuinya hak-hak individu, serta norma-norma sosial dan kearifan lokal bangsa Indonesia, terkadang telah diabaikan untuk mendapatkan jabatan tertentu, maupun keuntungan finansial. Sungguh hal semacam itu menjadi semacam paradoks di Indonesia yang mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar dengan keberagamana yang mampu dipersatukan dalam suatu negara berdaulat yang eksis hampir 70 tahun. Kemudan timbul pertanyaan, apa yang salah dengan bangsa ini? Apakah esensi demokrasi tidak dipahami secara benar oleh bangsa Indonesia?.Makalah ini dibuat untuk menjelaskan bagaimana seharusnya kepluralitasan bangsa Indonesia seharusnya menjadi faktor penguat demokrasi, selain itu makalah ini juga berusaha mencari kesalahan-kesalahan yang selama ini dilakukan baik oleh pemerintah dalam bentuk kebijakan-kebijakannya maupun hubungan dalam sistem sosial baik secara horizontal maupun vertikal.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah yang berusaha dicari jawabannya dalam makalah ilmiah ini adalah :
1. Bagaimana peran pluralisme di negara demokrasi?
2. Bagaimana pengaruh pluralisme terhadap penguatan demokrasi di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah sebaga berikut :
1. Untuk mengetahui nilai-nilai pluralisme di Indonesia dan pelaksanaannya dalam satu kesatuan Negara Republik Indonesia.
2. Memenuhi syarat tugas kelompok matakuliah pembangunan politik
Pascareformasi Indonesia dihadapkan pada situasi yang bisa dikatakan semacam politik keterbukaan pada segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kondisi seperti ini, kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda-beda menuntut diakuinya hak-hak serta identitas masing-masing dalam bentuk tuntutan dan partisipasinya yang selama masa Orde Baru ditekan untuk diam dan menerima apa saja kebijakan pemerintah kala itu. Hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah ledakan sosial. Indonesia sebagai negara dengan berbagai etnik, agama, budaya, kelompok sosial, dan nilai-nilai sosialnya sendiri, telah menjadi permasalahan nasional dalam menciptakan satu kesatuan tatanan masyarakat yang demokratis sejak awal berdirinya negara ini. Dari segala macam keberagaman, tidak jarang malah timbul pergesekan yang mencuatkan konflik sosial baik horizontal maupun vertikal. Pada perkembangannya, hal ini kemudian menciptakan ruang bagi perpecahan dan disintegrasi sosial.
Kondisi semacam itu kian lengkap dengan adanya kelompok mayoritas dan minoritas di dalamnya, baik sercara etnik maupun agama bahkan kelompok kepentingan. Tidak bisa dipungkiri bahwa adanya kelompok mayoritas dan minoritas telah menjadi modal bagi lahirnya diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan terhadap kelompok yang memiliki perbedaan nilai-nilai sosial. Pluralitas, perbedaan, dan diversitas tidak lagi dilihat sebagai suatu mata rantai yang memperkokoh persatuan, sehingga dalam perjalanan bangsa Indonesia aksi-aksi separatis (pemisahan diri) juga selau berjalan beriringan dengan berbagai tuntutan. Salah satu contohnya adalah merdekanya Timor-Timur yang aksi separatisnya berlangsung selama puluhan tahun. Bahkan, yang hingga saat ini masih terjadi adalah aksi separatis di Papua, Maluku, dan Aceh[1] dengan masing-masing wujud, skala dan intensitasnya.
Permasalahan pluralitas di Indonesia jelas-jelas telah mengancam integrasi bangsa. Pancasila, UUD 1945, dan slogan NKRI sebagai pemersatu bangsa nyaris-nyaris menjadi simbol belaka. Ini terjadi bukanlah karena kemauan kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakpuasan akibat secara ekonomi dan politik hak-hak mereka tidak terpenuhi. Bahkan institusi dan struktur kemasyarakatn yang sudah turun-temurun mereka jalani sebagai pengaturan kehidupan berpemerintahan khas setempat, tercerabut oleh keseragaman akibat kebijakan dan perundang-undangan yang sentralistik. Hal inilah yang menjadi tuntutan gerakan-gerakan separatis di Indonesia, dan sebagian besar kelompok sosial. Kita tahu bahwa selama masa Orde Baru hal ini bukanlah sesuatu yang tidak lumrah, namun nyatanya angin reformasi yang berhembus selama 13 tahun hingga kini tidak benar-benar membawa perubahan yang signifikan dalam segala aspek kehidupan sosial. Pembangunan ekonomi dan sentralisasi politik yang pada masa Orde Baru hanya terjadi atau dilakukan di Indonesia bagian barat, serta praktik-praktik KKN, semakin merajalela di era reformasi ini.
Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pluralitas yang tidak diiringi dengan keadilan sosial, baik secara ekonomi, politik, dan hukum akan sangat membahayakan integrasi bangsa, bahkan lebih jauh lagi telah mencederai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi seperti keadilan sosial, kebebasan, diakuinya hak-hak individu, serta norma-norma sosial dan kearifan lokal bangsa Indonesia, terkadang telah diabaikan untuk mendapatkan jabatan tertentu, maupun keuntungan finansial. Sungguh hal semacam itu menjadi semacam paradoks di Indonesia yang mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar dengan keberagamana yang mampu dipersatukan dalam suatu negara berdaulat yang eksis hampir 70 tahun. Kemudan timbul pertanyaan, apa yang salah dengan bangsa ini? Apakah esensi demokrasi tidak dipahami secara benar oleh bangsa Indonesia?.Makalah ini dibuat untuk menjelaskan bagaimana seharusnya kepluralitasan bangsa Indonesia seharusnya menjadi faktor penguat demokrasi, selain itu makalah ini juga berusaha mencari kesalahan-kesalahan yang selama ini dilakukan baik oleh pemerintah dalam bentuk kebijakan-kebijakannya maupun hubungan dalam sistem sosial baik secara horizontal maupun vertikal.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah yang berusaha dicari jawabannya dalam makalah ilmiah ini adalah :
1. Bagaimana peran pluralisme di negara demokrasi?
2. Bagaimana pengaruh pluralisme terhadap penguatan demokrasi di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah sebaga berikut :
1. Untuk mengetahui nilai-nilai pluralisme di Indonesia dan pelaksanaannya dalam satu kesatuan Negara Republik Indonesia.
2. Memenuhi syarat tugas kelompok matakuliah pembangunan politik
BAB II
LANDASAN KONSEP
A. Pluralisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pluralisme berasal dari kata “plural” yang berarti kemajemukan atau keanekaragaman, dan “isme” yang berarti paham. Jadi, pluralisme adalah paham kemajemukan. Dalam rangka membentuk masyarakat beragama yang rukun dan damai, para ahli banyak menekankan tentang pluralisme. Paham ini menitik beratkan pada aspek persamaan termasuk dalam hal agama itu sama, dalam artian banyak jalan menuju surga. Sebenarnya paham pluralisme merupakan paham yang sudah cukup lama. Paham ini muncul bersamaan dengan modernisasi negara-negara Barat. Dengan kata lain, paham ini pada awalnya muncul dari belahan dunia Barat,yakni Eropa. Dalam paham pluralism, agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda yaitu: paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain.
Munculnya kedua aliran di atas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama, yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis, motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini, maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Tidak aneh jika seminar tentang dialog antar agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain sangat marak diseluruh dunia. Organisasi non pemerintah di dunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal rintisan oleh Zwemmer The Muslim World pada edisi terkininya (volume 94 No.3, tahun 2004. Hal. 3). Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam - Kristen. Sudah tentu disitu framework Barat sangat dominan.
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung menepikan agama tersebut dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu sendiri. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religius filosofis. Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis kultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan satu agama dengan agama lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu, maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology. Selain Hick di antara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Problems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Ashari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religius filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa diubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara paralel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama.
B. Demokrasi
Konsep demokrasi berasal dari bahasa Yunani “demos” yang berarti rakyat dan “cratos” atau “cratein” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan[2]. Dengan demikian demokrasi menunjukkan pola pemerintahan yang kekuasaan tertinggi dan kedaulatannya berasal dari rakyat baik secara langsung maupun melalui sistem perwakilan. Di zaman Yunani kuno ketika negara masih dalam bentuk negara kota (city state), sistem demokrasi yang dianut adalah langsung (direct democracy). Namun di negara modern sistem yang dianut umumnya adalah sistem perwakilan (representative democracy).
Demokrasi memiliki tiga unsur, yang pertama, pemerintahan dari rakyat (government of the people) yang mengandung arti apakah pemerintahan itu diakui secara sah atau tidak oleh rakyat yang diatur dalam konstitusi. Kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by the people), yang mengandung arti bahwa pemerintahan yang sah menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat bukan atas nama kelompok sosial tertentu atau partai politik. Sebagai konsekuensinya pemerintahan mendapat pengawasan dari rakyat baik secara langsung maupun melalui parlemen (DPR). Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for the people), yang mengandung arti bahwa pemerintahan itu dijalankan untuk kepentingan rakyat yang merupakan amanat pemerintahan yang menganut sistem demokratis. Untuk itu pemerintah perlu mendengar dan menerima aspirasi rakyatnyat baik secara langsung atau melalui parlemen, yang kemudian diakomodasikan dalam bentuk kebijakan[3]. Demikianlah dalam negara demokrasi, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif melaksanakan contract social. Sehingga peranannya adalah mengurus kepentingan rakyat, pemerintah bertanggungjawab atas nasib rakyatnya baik yang menyangkut kesejahteraan hidupnya maupun keamanannya.
Negara demokratis, pemerintahannya membutuhkan kultur demokrasi untuk membuatnya tetap eksis, dalam artian masyarakatnya memiliki sikap yang positif dan proaktif terhadap norma-norma dasar demokrasi. Demokrasi merupakan proses pelaksanaan nilai-nilai keadaban (civility) dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain demokrasi merupakan proses menuju civil society, yaitu masyarakat modern yang berkeadaban, yang menghormati dan berupaya merealisasikan nilai-nilai demokrasi. Perlu diingat bahwa pemerintahan itu dijalankan oleh manusia yang memiliki kelemahan, yang memungkinkanya terjadi penyalahgunaan kekuasaan, oleh karena itu perlu ada aturan hukum yang mengaturnya (konstitusi dan hukum positif). Hal inilah yang menyebabkan demokrasi dlam pemerintahan lazim disebut sebagai demokrasi konstitusional (constitutional democracy dan government by laws). Oleh karena itu, sangat perlu ditegakkannya demokrasi, yang unsur-unsur penopangnya antara lain, negara hukum yaitu negara yang mampu memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya melalui lembaga-lembaga peradilan yang bebas dan tidak memihak serta terjaminnya hak-hak azazi manusia (HAM). Masyarakat madani, yaitu masyarakat yang egaliter dan berkeadaban yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara serta berpartisipasi aktif sebagai elemen yang sangat signifikan dalam membangun demokrasi. Oleh karena itu, sangat perlu adanya sikap terbuka, percaya dan menjunjung nilai-nilai toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Infrastruktur politik berupa lembaga partai politik, kelompok gerakan, dan kelompok penekan, serta kelompok kepentingan yang mampu menjalankan fungsinya masing-masing tetap berdasarkan pada nilai-nilai dasar demokrasi.
LANDASAN KONSEP
A. Pluralisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pluralisme berasal dari kata “plural” yang berarti kemajemukan atau keanekaragaman, dan “isme” yang berarti paham. Jadi, pluralisme adalah paham kemajemukan. Dalam rangka membentuk masyarakat beragama yang rukun dan damai, para ahli banyak menekankan tentang pluralisme. Paham ini menitik beratkan pada aspek persamaan termasuk dalam hal agama itu sama, dalam artian banyak jalan menuju surga. Sebenarnya paham pluralisme merupakan paham yang sudah cukup lama. Paham ini muncul bersamaan dengan modernisasi negara-negara Barat. Dengan kata lain, paham ini pada awalnya muncul dari belahan dunia Barat,yakni Eropa. Dalam paham pluralism, agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda yaitu: paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain.
Munculnya kedua aliran di atas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama, yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis, motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini, maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Tidak aneh jika seminar tentang dialog antar agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain sangat marak diseluruh dunia. Organisasi non pemerintah di dunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal rintisan oleh Zwemmer The Muslim World pada edisi terkininya (volume 94 No.3, tahun 2004. Hal. 3). Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam - Kristen. Sudah tentu disitu framework Barat sangat dominan.
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung menepikan agama tersebut dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu sendiri. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religius filosofis. Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis kultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan satu agama dengan agama lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu, maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology. Selain Hick di antara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Problems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Ashari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religius filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa diubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara paralel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama.
B. Demokrasi
Konsep demokrasi berasal dari bahasa Yunani “demos” yang berarti rakyat dan “cratos” atau “cratein” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan[2]. Dengan demikian demokrasi menunjukkan pola pemerintahan yang kekuasaan tertinggi dan kedaulatannya berasal dari rakyat baik secara langsung maupun melalui sistem perwakilan. Di zaman Yunani kuno ketika negara masih dalam bentuk negara kota (city state), sistem demokrasi yang dianut adalah langsung (direct democracy). Namun di negara modern sistem yang dianut umumnya adalah sistem perwakilan (representative democracy).
Demokrasi memiliki tiga unsur, yang pertama, pemerintahan dari rakyat (government of the people) yang mengandung arti apakah pemerintahan itu diakui secara sah atau tidak oleh rakyat yang diatur dalam konstitusi. Kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by the people), yang mengandung arti bahwa pemerintahan yang sah menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat bukan atas nama kelompok sosial tertentu atau partai politik. Sebagai konsekuensinya pemerintahan mendapat pengawasan dari rakyat baik secara langsung maupun melalui parlemen (DPR). Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for the people), yang mengandung arti bahwa pemerintahan itu dijalankan untuk kepentingan rakyat yang merupakan amanat pemerintahan yang menganut sistem demokratis. Untuk itu pemerintah perlu mendengar dan menerima aspirasi rakyatnyat baik secara langsung atau melalui parlemen, yang kemudian diakomodasikan dalam bentuk kebijakan[3]. Demikianlah dalam negara demokrasi, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif melaksanakan contract social. Sehingga peranannya adalah mengurus kepentingan rakyat, pemerintah bertanggungjawab atas nasib rakyatnya baik yang menyangkut kesejahteraan hidupnya maupun keamanannya.
Negara demokratis, pemerintahannya membutuhkan kultur demokrasi untuk membuatnya tetap eksis, dalam artian masyarakatnya memiliki sikap yang positif dan proaktif terhadap norma-norma dasar demokrasi. Demokrasi merupakan proses pelaksanaan nilai-nilai keadaban (civility) dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain demokrasi merupakan proses menuju civil society, yaitu masyarakat modern yang berkeadaban, yang menghormati dan berupaya merealisasikan nilai-nilai demokrasi. Perlu diingat bahwa pemerintahan itu dijalankan oleh manusia yang memiliki kelemahan, yang memungkinkanya terjadi penyalahgunaan kekuasaan, oleh karena itu perlu ada aturan hukum yang mengaturnya (konstitusi dan hukum positif). Hal inilah yang menyebabkan demokrasi dlam pemerintahan lazim disebut sebagai demokrasi konstitusional (constitutional democracy dan government by laws). Oleh karena itu, sangat perlu ditegakkannya demokrasi, yang unsur-unsur penopangnya antara lain, negara hukum yaitu negara yang mampu memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya melalui lembaga-lembaga peradilan yang bebas dan tidak memihak serta terjaminnya hak-hak azazi manusia (HAM). Masyarakat madani, yaitu masyarakat yang egaliter dan berkeadaban yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara serta berpartisipasi aktif sebagai elemen yang sangat signifikan dalam membangun demokrasi. Oleh karena itu, sangat perlu adanya sikap terbuka, percaya dan menjunjung nilai-nilai toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Infrastruktur politik berupa lembaga partai politik, kelompok gerakan, dan kelompok penekan, serta kelompok kepentingan yang mampu menjalankan fungsinya masing-masing tetap berdasarkan pada nilai-nilai dasar demokrasi.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Geopolitik, Geostrategi, dan Wawasan Nusantara
Sebelum kita membahas judul sub bab di atas, perlu kita bahas terlebih dahulu adalah kondisi geografi dan demografi Indonesia. Secara geografis Indonesia merupakan negara kepualuan yang luas dimana laut merupakan faktor yang dominan. Terdapat 17. 504 pada saat proklamasi kemerdekaan berdasarkan ordonasi 1939 dengan luas wilayah sekitar 1,9 juta km2. Kini setelah deklarasi Juanda 1957 mencapai lebih dari 5 juta km2 yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Bahkan sejak mendapat hak negara pantai berupa Zona Ekonomi Ekonomi Eksklusif berdasarkan konvensi hukum laut PBB pada tahun 1982 luas Indonesia mencapai 8 juta km2, dari semua luas wilayah Indonesia hanya 1/3 nya merupakan wilayah daratan sedangkan 2/3nya lautan[4]. Menyangkut kondisi demografi, berdasarkan data tahun 2008 jumlah penduduk Indonesia telah melampaui angka 220 juta jiwa dengan perkembangan penduduk setiap tahun 2.24%. konsentrasi penduduk terbesar ada di pulau Jawa dan Madura alu diikuti oleh Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, kepulauan Maluku, dan Papua. Berdasarkan data-data di atas dapat kita bayangkan betapa kompleksnya kondisi geografi dan demografi Indonesia, kesemuanya itu memiliki kultur yang berbeda-beda, baik berupa bahasa, adat istiadat, tampilan fisik, agama, dan etnis. Sehingga di lain pihak pemerintah berusaha untuk mencapai atau berjuang untuk mencapai cita-cita bangsa, di lain pihak tidak kalah penting terdapat persoalan vital yaitu, tingkat kemampuan produksi nasional yang rendah.
Geopolitik merupakan politik yang berlandaskan pada pengaruh kondisi dan letak geografi suatu negara. Kita tahu bahwa puluhan tahun sejak awal kemerdekaan hingga awal-awal reformasi, seistem politik dan ekonomi Indonesia bersifat sentralistik, yaitu Jakarta dan Jawa. Pusat pemerintahan ada di Jakarta begitupula pusat ekonomi, hal ini secara otomatis mempengaruhi daerah-daerah di sekitarnya atau di puau Jawa menjadi bergeliat seiring perkembangan ibukota. Berdasarkan pada hal tersebut, seiring waktu pulau Jawa terutama Jakarta menjadi pusat tujuan urbanisasi bagi sebagian masyarakat Indonesia, hal ini telah menciptakan berbagai macam kekompleksan masalah sosial. Sehingga pemerintah merasa perlu untuk membuat kebijakan bagi pulau Jawa berupa pembangunan infrastruktur dan sebagainya. Perkembangan di Pulau Jawa juga sangat mempengaruhi perkembangan di Madura, Bali, Sumatera dan Kalimantan, sehingga pembangunan infrastruktur secara langsung telah menganaktrikan daerah-daerah di Indonesia Bagian Timur. Berbagai program transmigrasi keluar dari pulau Jawa ternyata tidak menjadikan pulau lain seperti Jawa, hal ini yang disadari oleh pemerintahan setelah reformasi sehingga membangun beberapa pusta kota-kota besar di beberapa titik di Indonesia seperti Medan, Surabaya, Bali, dan Makassar.
Setelah berbagai masalah geografi dan demografi Indonesia yang sangat majemuk telah menjadi semacam ancaman bagi integritas bangsa, hal ini tidak benar-benar didukung dengan kebijakan-kebjikan pemerintah yang mampu mengintegrasi bangsa secara politik dan ekonomi. Sentralistik bukanlah jawabannya, sentralistik hanya akan menimbulkan kecemburuan. Hal inilah yang terjadi, jika kita lihat dari contoh yang sederhana, rata-rata tingkat kelulusan SMA daerah-daerah di Indonesia Barat selalu lebih baik daripada daerah dari Indonesia Timur. Hal ini jelas-jelas dipengaruhi oleh perbedaan sarana prasana pendukungnya. Contoh lain, jika kita lihat permasalahan premanisme di Jakarta, preman-preman yang paling banyak adalah yang berasal dari Indonesia Timur, apa alasannya?. Ketidakmampuan mereka mendapatkan pendidikan yang layak akibat tidak didukung dengan sarana prasarana yang memadai serta biaya pendidikan yang tinggi telah membuat sebagian besar orang Indonesia Timur putus sekolah, dan mereka pun terpaksa merantau. Di rantauan mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang layak karena tidak memiliki ijazah, sehingga mereka menjadi kuli kasar yang kemudian berujung pada profesi yang berbau kekerasan. Ini bukan keinginan mereka, ini terjadi secara sistematis, meskipun ada beberapa alasan tertentu namun alasan ini merupakan alasan utamanya.
Kesemuanya itu telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan sosial akibat kebijakan pemerintah Indonesia sendiri. Ketimpangan sosial ini memang bukan hanya terhadap daerah di Indonesia Timur, hal ini juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia Barat, namun memang ketidakadilan sosial terbesar terjadi terhadap daerah di Indonesia Timur. Lebih lanjut kita lihat ada beberapa hal yang telah menjadi sebuah aturan baku yang kurang lebih telah menjadi rahasia umum, bahwa yang menjadi alat pemersatu bangsa adalah etnis Jawa, dan agama Islam, yang menjadi presiden harus orang Jawa, dan Bergama Islam. Hal ini memang bukan aturan baku, namun ini telah menjadi sebuah aturan tidak tertulis dan memiliki legitimasi namun terjadi di dalam perpolitikan Indonesia, seperti yang diungkapkan dalam beberapa pertemuan kuliah di pascasarjana Universitas Nasional dalam kuliah budaya dan pemikiran politik Indonesia dan matakuliah kekutan-kekutan politik Indonesia. Jika hal ini merupakan sebuah kebenaran mutlak maka mampu menimbulkan tambahan kecemburuan sosial dari kelompok sosial lainnya, karena kita tahu bahwa Indonesia bukan hanya etnis Jawa dan agama Islam, meskipun kedua hal tersebut adalah kelompok mayoritas.
B. Identitas dan Diferensiasi
Pembahasan tentang pluralisme dan multikulturalisme adalah politik diferensiasi. Fakta tentang pluralitas dan keoeksistensi di tengah perbedaan mulai disadari, kesadaran tersebut berangkat dari sejarah ketika fakta tentang pluralitas dan perbedaan ditengarai sebagai sumber konflik juga pertentangan antarsesama manusia. Semua ini disebabkan oleh gerakan liberalism politik yang memerjuangkan keadilan universal. Seperti yang pernah dikatakan oleh Francis Fukuyama, bahwa akan selalu terjadi revolusi (perubahan sistem sosial) di setiap masa akibat kecintaan pada kesetaraan. Politik diferensiasi telah berkembang menjadi kekuatan yang juga melawan liberalism yang buta akan perbedaan. Hal ini berkaitan dengan perjuangan untuk mengakui hak-hak dan identitas partikular dari kelompok-kelompok minoritas. Sehingga tidak mengherankan d Indonesia yang sangat beragam ini dalam sejarahnya hingga saat ini sering dan selalu terjadi pergesekan sosial bahkan konflik yang berbau etnis atau agama. Konflik-konflik atau pergesekan ini tidak saja hanya disebabkan oleh ketidakadilan ekonomi maupun politik, namun juga disebabkan oleh identitas mereka yang diabaikan. Menurut Will Kymlicka, mungkin lebih adil jika kelompok-kelompok sosial yang berbeda diberi juga aturan khusus yang berbeda, Kymlicka menganggap di tengah pluralitas aturan-aturan yang diciptakan sebaiknya tidak boleh mengabaikan perbedaan[5].
Di Indonesia dengan berbagai macam kemajemukkan dalam masyarakat, menurut beberapa ahli perlu diubah masyrakat yang majemuk ini menjadi masyarakat multikultural, dengan cara mengadopsi ideologi multikulturalisme sebagai pedoman hidup dan sebagai keyakinan bangsa Indonesia untuk diaplikasikan dalam berbagai aspek sosial. Persoalan ini di Indonesia tidak hanya sebatas pada pengakuan tentang adanya perbedaan dalam masyarakat tetapi lebih dari itu, yaitu melegitimasi perbedaan-perbedaan tersebut agar dapat diterima sehingga terciptanya keadilan sosial. Yang terjadi di Indoensia adalah semua kelompok maupun individu sosial diberi kesempatan yang sama untuk berkembang, namun hal ini tidak seiring dengan pembangunan infrastruktur maupun kebijakan publik yang merata di setiap daerah, maupun jenjang sosial. Selama masa orde baru, kesemuanya itu hanya dititikberatkan pada daerah di Indonesia bagian barat, sedangkan Indonesia Timur seolah ditinggalkan sebagai daerah pinggiran yang harus berjuang sendiri. Sehingga ribuan kelompok majemuk di Indonesia Timur merasa telah dabaikan, dan identitas keIndonesiaan mereka hanya merupakan lambing belaka, namun SDA mereka dieksplorasi untuk kepentingan negara, perusahaan asing maupunkelompok-kelompok tertentu.
Apa yang terjadi di masa orde baru baru tidak jauh berbeda dengan di masa pasca reformasi ini. Sistem perpolitikan dan ekonomi yang masih sentralistik, dan penguasaan jabatan-jabatan politis oleh kelompok-kelompok tertentu, telah menempatkan ketidakpuasan kelompok sosial lainnya, sehingga dalam berbagai isu-isu nasional selalu ditanggapi dengan aksi demonstrasi besar-besaran, hal ini memang sudah sepatutnya terjadi di negara demokrasi seperti Indonesia, namun yang terjadi adalah sering terjadinya aksi anarkis oleh masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya. Hal ini merupakan cerminan bahwa hak-hak masyarakat, perbedaan-perbedaan dalam masyarakat belum benar-benar diakomodir secara baik oleh pemerintah. Jika kita lihat dari hakikat demokrasi, langkah awal yang harus dijalani adalah pemerintahan oleh, untuk, dan dari rakyat, lalu negara hukum[6]. Namun yang terjadi adalah lompatan langsung ke negara hukum ala Indonesia, sedangkan pemerintahan oleh rakyat, untuk rakyat, dan dari rakyat, diabaikan begitu saja.
C. Alat Pemersatu Bangsa
Sebagai sebuah negara yang telah berdiri hampir 70 tahun tentu pada awal pendiriannya di tahun 1945 terdapat simbol-simbol atau nilai pemersatu etnis-etnis, agama-agama, dan kelompok-kelompok sosial yang ada pada saat itu. Jika ditilik dari sejarah, masyarakat Indonesia memiliki persamaan nasib yang sama yaitu dijajah oleh Portugis, Belanda, dan Jepang, persamaan nasib menjadi alat pemicuawal bersatunya bangsa Indonesia. Selanjutnya adalah bahasa, pancasila, pembukaan UUD 1945, UUD 1945, tokoh, etnis melayu, dan agama islam[7]. Dua poin terakhir dikatakan sebagai alat pemersatu karena merupakan kelompok mayoritas yang hampir ada di seluruh nusantara. Pancasila merupakan hasil kesepakatan parapendiri bangsa ini, yang isinya telah mengakomodir atau telah menjamin berbagai kemajemukkan bangsa Indonesia. Pancasila merupakan nilai dasar negara Indonesia, namun juga sering disebut sebagai filsafat bangsa Indonesia, falsafah bangsa Indonesia, maupun sebagai hukum positif tertinggi bangsa Indonesia. Tentunya semuanya memiliki penjelasan-penjelasan masing-masing, namun dalam perjalanannya pancasila seolah ditinggalkan dan hanya menjadi simbol belaka, hal ini yang disadari oleh Soeharto yang kemudian membuat program P4 yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pancasila itu sendiri. Pada masa kini, pancasila jelas-jelas bukan lagi menjadi dasar negara, atau hukum positif tertinggi yang harus dipatuhi oleh setiap bangsa Indonesia. Praktek KKN, keadilan hanya untuk yang memiliki uang, hak-hak rakyat kecil diabaikan, separatisme, organisasi agama melakukan aksi anarkis, merupakan hal-hal yang terjadi dan seolah menjadi lazim saat ini yang menunjukkan bahwa nilai-nilai dalam pancasila dan UUD 1945 telah diabaikan.
Arus globalisasi juga memiliki peran penting dalam mempengaruhi budaya bangsa Indonesia. Kata-kata dalam Bahasa Inggris telah menggantikan beberapa bahasa Indonesia dalam interaksi sesama orang Indonesia, dan hal ini dianggap biasa. Globalisasi yang tidak bisa dikendalikan telah melanda bangsa Indonesia telah sangat mempengaruhi identitas bangsa Indonesia, nilai-nilai kearifan lokal setiap etnis mulai ditinggalkan. Hal ini menjadi permasalahan yang semakin kompleks ketika bangsa Indonesia saat ini tidak memiliki seorang tokoh nasional yang memiliki dukungan mayoritas penduduk Indonesia selayaknya Soekarno dan Moh. Hatta yang mendapat dukungan seluruh masyarakat Indonesia pada awal kemerdekaan. Paling tidak seorang tokoh yang memiliki pengaruh besar, kharisma, bekerja untuk rakyat dan memiliki reputasi yang baik serta menjunjung nilai-nilai demokrasi. Mengapa tokoh pemersatu menjadi pentig, jika dilihat dari persepktif psikologi komunikasi, seorang tokoh yang memiliki beberapa hal di atas akan sangat mudah mempengaruhi opini publik dan mendapat dukungan dalam mengadakan perubahan sosial.
Pemimpin politik saat ini baik dalam pemerintahan, maupun dalam lembaga-lembaga politik maupun kelompok-kelompok kepentingan tidak mampu menciptakan bentuk masyarakat madani seperti yang digariskan dalam nilai-nilai demokrasi. Masyarakat menjadi acuh terhadap isu-isu nasional maupun segala macam kebijakan pemerintah, hal ini bukan karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan budaya politik parokial, tetapi masyarakat sudah bosan dengan pemerintahnya sendiri karena didasarkan pada pengalaman dan perjalanan bangsa ini yang tidak urung menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial meskipun terus berganti pemimpin bangsa[8]. Segala macam permasalahan bangsa Indonesia yang tidak pernah terselesaikan telah menimbulkan sikap antipati masyarakat terhadap pemerintah yang hampir menyeluruh di seluruh Indonesia dalam setiap pemberitaan di media massa, setiap kali presiden atau wakil presiden berkunjung ke daerah selalu saja mendapat sambutan berupa demonstrasi baik oleh mahasiswa maupun masyarakat. Hal ini menunjukkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin bangsa Indonesia, dan semua ini sangat membahayakan sistem demokrasi, lebih jauh lagi membahayakan integritas bangsa.
Vitalnya pluralisme di Indonesia semakin berada di ujung tanduk apabila pemimpin agama tidak mampu menempatkan perbedaan sosial sebaga sesuatu yang harus dijunjung tinggi untuk dihargai, karena kita tahu bahwa pemimpin agama di Indonesia memiliki pengaruh yang cukup besar di tengah masyarakat dalam kaitannya dengan moral dan norma-norma sosial. Pada tanggal 28 Juli 2005, MUI menerbitkan fatwa yang melarang pluralisme. Dalam fatwa tersebut, pluralisme agama,sebagai obyek persoalan yang ditanggapi, didefinisikan sebagai: "Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga". Dengan demikian, MUI menyatakan bahwa Pluralisme dalam konteks yang tertera tersebut bertentangan dengan ajaran Agama Islam[9]. Dengan adanya definisi pluralisme yang berbeda tersebut, semakin timbul polemik panjang mengenai pluralisme di Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Segala macam kompleksitas dan permasalahan bangsa Indonesia mengenai keberagaman etnik, agama, ras, dan budaya telah memunculkan disintegrasi nasional yang membahayakan negara kesatuan Republik Indonesia. Masalah-masalah yang diungkapkan secara lugas dalam makalah ini bukan untuk mendiskreditkan kelompok sosial tertentu, atau bahkan menjadikan kita bangsa Indonesia menjadi frustasi dan semakin membenci satu sama lain termasuk membenci pemerintah, hal tersebut akan semakin menambah persoalan sosial yang akan semakin rumit. Kesimpulan yang bisa diambil dari makalah ini antara lain :
1. Sebagai sebuah negara yang mengklaim diri sebagai satu-satunya negara kepulauan terbesar dengan berbagai kemajemukan budayanya, Indonesia tidak mampu memenuhi nilai-nilai dasar dari paham demokrasi itu sendiri.
2. Kesadaran secara umum, dalam hal ini kesadaran nasional akan realitas sosial yang seharusnya diakomodir dan diunifikasi dalam sebuah wadah politik yang mampu mencakup semua kepentingan kelompok sosial di Indonesia sangat minim.
3. Nilai-nilai kearifan lokal bangsa yang sebagian besar menyangkut nilai kolektif semakin ditinggalkan berganti menjadi sekularisme sebagai akibat dari globalisasi dan tuntutan hidup yang semakin tinggi, sehingga pluralisme di Indonesia semakin berada di ujung tanduk, dalam artian tidak memiliki tempat d tengah masyarakat untuk dijunjung sebagai suatu kebanggaan. Hal ini dikarenakan oleh rendahnya pemahaman substansi demokrasi baik oleh elit politik, maupun masyarakat luas.
4. Kesadaran moral dan etika politik tidak dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai akibat oleh terlalu lamanya bangsa Indonesia hidup di dalam sistem pemerintahan yang mengkultuskan penguasa, sehingga ketika diberi kebebasan pada masa reformasi masyarakat Indonesia mengalami kebingungan dan mulai membentuk dan menjadikan kelompok sosial sebagai tempat mengapresiasikan keinginannya berdasarkan kesamaan ideologi, agama, budaya, dan etnis.
B. Saran
Berdasarkan makalah ini dan kesimpulan yang diambil, maka penulis dapat memberikan saran kepada masyarakat Indonesia, pemerintah dan siapapun yang berwenang, agar pluralitas seharusnya menjadi sarana penguat demokrasi dan integrasi bangsa, yaitu :
1. Pemerintah, lembaga-lembaga politik, dan kelompok kepentingan harus melaksanakan proses sosialisasi politik berkaitan dengan nilai-nilai demokrasi sehingga mampu menciptakan kelompok-kelompok sosial yang ada menjadi kelompok matau organisasi masyarakat madani.
2. Pemerintah perlu menyelesaikan masalah-masalah nasional yang menyimpang dari konstitusi, terutama praktek KKN sehingga mampu meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
3. Perlu ditingkatkan program pendidikan politik terutama pemahaman tentang demokrasi di dalam pendidikan formal maupun nonformal, sehingga dapat tercipta generasi-generasi baru atau pemimpin-pemimpin politik masa depan yang mengerti dan memahami demokrasi secara baik sehingga mampu juga menerima kemajemukan bangsa sebagai sebuah kekuatan bangsa.
Daftar Pustaka
Saleh, Hassan, Civic Education, Audi Grafika, 2009; Jakarta.
Kymlicka, Will, Kewarganegaraan Multikultural, Teori Liberal Mengenai Hak-Hak Minoritas, Jakarta; LP3ES, 2003.
Munandar, Haris, Pembangunan Politik, Situasi Global, dan Hak Asasi di Indonesia (kumpulan esai guna menghormati Prof. Miriam Budiardjo), Gramedia Pustaka Utama; 1994, Jakarta.
Dhae, D. Daniel, artikel reflektif yang dimuat dalam majalah Tempo dengan judul pemimpin yang menyesatkan, Tempo edisi maret 2009.
Wikipedia Indonesia, diakses pada tanggal 30 april 2013.
[1] Meskipun sudah diredam dengan MOU antara pemerintah dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2004 salah satunya adalah diberikannya status sebagai daerah otonomi khusus, pada bulan april tahun 2013 terjadi pengibaran bendera dengan lambing GAM di Aceh. Sedangkan Papua dengan gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM) hingga saat ini masih melakukan aksi-aksinya dengan melakukan konfrontasi di daerah pegunungan tengah Papua. Maluku dengan gerakannya Republik Maluku Selatan (RMS) melakukan pergerakannya dari Belanda hingga ke Propinsi Maluku, gerakan ini cukup kuat di antara kalangan masyarakat Maluku yang beragama Kristen Protestan.
[2] Hassan Saleh, Civic Education, Audi Grafika, 2009; Jakarta. Hal. 131.
[3] Ibid. hal. 132
[4] Ibid., Hal. 241.
[5] Will Kymlicka, Kewarganegaraan Multikultural, Teori Liberal Mengenai Hak-Hak Minoritas, Jakarta; LP3ES, 2003. Hal. 51.
[6] Istilah negara hukum di Indonesia hampir dianggap hanya ketika seseorang melakukan pelanggaran hukumdan harus dihukum sesuai aturan yang berlaku, bukan lagi keadaan dimana hak-hak setiap warga negara dakui dan dilindungi oleh negara. Bisa kita lihat dari salah satu contoh di Jawa Timur ketika seorang nenek tua yang mencuri ayam tetangganya dihukum penjara 5 tahun, namun pemerintah tidak menyadari bahwa nenek tersebut melakukan pencurian tersebut disebabkan oleh kemiskinan yang sudah sangat kuat mencengkram hidup nenek tua tersebut, hingga untuk makan satu kali saja tidak mampu. Padahal dalam UUD 1945 Pasal 32 telah diatur bahwa kaum miskin menjadi tanggungjawab pemerintah.
[7] Haris Munandar, Pembangunan Politik, Situasi Global, dan Hak Asasi di Indonesia (kumpulan esai guna menghormati Prof. Miriam Budiardjo), Gramedia Pustaka Utama; 1994, Jakarta. Hal. 200
[8] Daniel D. Dhae, artikel reflektif yang dimuat dalam majalah Tempo dengan judul pemimpin yang menyesatkan, Tempo edisi maret 2009, kolom 3, hal 15.
[9] Wikipedia Indonesia, diakses pada tanggal 30 april 2013.
A. Geopolitik, Geostrategi, dan Wawasan Nusantara
Sebelum kita membahas judul sub bab di atas, perlu kita bahas terlebih dahulu adalah kondisi geografi dan demografi Indonesia. Secara geografis Indonesia merupakan negara kepualuan yang luas dimana laut merupakan faktor yang dominan. Terdapat 17. 504 pada saat proklamasi kemerdekaan berdasarkan ordonasi 1939 dengan luas wilayah sekitar 1,9 juta km2. Kini setelah deklarasi Juanda 1957 mencapai lebih dari 5 juta km2 yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Bahkan sejak mendapat hak negara pantai berupa Zona Ekonomi Ekonomi Eksklusif berdasarkan konvensi hukum laut PBB pada tahun 1982 luas Indonesia mencapai 8 juta km2, dari semua luas wilayah Indonesia hanya 1/3 nya merupakan wilayah daratan sedangkan 2/3nya lautan[4]. Menyangkut kondisi demografi, berdasarkan data tahun 2008 jumlah penduduk Indonesia telah melampaui angka 220 juta jiwa dengan perkembangan penduduk setiap tahun 2.24%. konsentrasi penduduk terbesar ada di pulau Jawa dan Madura alu diikuti oleh Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, kepulauan Maluku, dan Papua. Berdasarkan data-data di atas dapat kita bayangkan betapa kompleksnya kondisi geografi dan demografi Indonesia, kesemuanya itu memiliki kultur yang berbeda-beda, baik berupa bahasa, adat istiadat, tampilan fisik, agama, dan etnis. Sehingga di lain pihak pemerintah berusaha untuk mencapai atau berjuang untuk mencapai cita-cita bangsa, di lain pihak tidak kalah penting terdapat persoalan vital yaitu, tingkat kemampuan produksi nasional yang rendah.
Geopolitik merupakan politik yang berlandaskan pada pengaruh kondisi dan letak geografi suatu negara. Kita tahu bahwa puluhan tahun sejak awal kemerdekaan hingga awal-awal reformasi, seistem politik dan ekonomi Indonesia bersifat sentralistik, yaitu Jakarta dan Jawa. Pusat pemerintahan ada di Jakarta begitupula pusat ekonomi, hal ini secara otomatis mempengaruhi daerah-daerah di sekitarnya atau di puau Jawa menjadi bergeliat seiring perkembangan ibukota. Berdasarkan pada hal tersebut, seiring waktu pulau Jawa terutama Jakarta menjadi pusat tujuan urbanisasi bagi sebagian masyarakat Indonesia, hal ini telah menciptakan berbagai macam kekompleksan masalah sosial. Sehingga pemerintah merasa perlu untuk membuat kebijakan bagi pulau Jawa berupa pembangunan infrastruktur dan sebagainya. Perkembangan di Pulau Jawa juga sangat mempengaruhi perkembangan di Madura, Bali, Sumatera dan Kalimantan, sehingga pembangunan infrastruktur secara langsung telah menganaktrikan daerah-daerah di Indonesia Bagian Timur. Berbagai program transmigrasi keluar dari pulau Jawa ternyata tidak menjadikan pulau lain seperti Jawa, hal ini yang disadari oleh pemerintahan setelah reformasi sehingga membangun beberapa pusta kota-kota besar di beberapa titik di Indonesia seperti Medan, Surabaya, Bali, dan Makassar.
Setelah berbagai masalah geografi dan demografi Indonesia yang sangat majemuk telah menjadi semacam ancaman bagi integritas bangsa, hal ini tidak benar-benar didukung dengan kebijakan-kebjikan pemerintah yang mampu mengintegrasi bangsa secara politik dan ekonomi. Sentralistik bukanlah jawabannya, sentralistik hanya akan menimbulkan kecemburuan. Hal inilah yang terjadi, jika kita lihat dari contoh yang sederhana, rata-rata tingkat kelulusan SMA daerah-daerah di Indonesia Barat selalu lebih baik daripada daerah dari Indonesia Timur. Hal ini jelas-jelas dipengaruhi oleh perbedaan sarana prasana pendukungnya. Contoh lain, jika kita lihat permasalahan premanisme di Jakarta, preman-preman yang paling banyak adalah yang berasal dari Indonesia Timur, apa alasannya?. Ketidakmampuan mereka mendapatkan pendidikan yang layak akibat tidak didukung dengan sarana prasarana yang memadai serta biaya pendidikan yang tinggi telah membuat sebagian besar orang Indonesia Timur putus sekolah, dan mereka pun terpaksa merantau. Di rantauan mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang layak karena tidak memiliki ijazah, sehingga mereka menjadi kuli kasar yang kemudian berujung pada profesi yang berbau kekerasan. Ini bukan keinginan mereka, ini terjadi secara sistematis, meskipun ada beberapa alasan tertentu namun alasan ini merupakan alasan utamanya.
Kesemuanya itu telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan sosial akibat kebijakan pemerintah Indonesia sendiri. Ketimpangan sosial ini memang bukan hanya terhadap daerah di Indonesia Timur, hal ini juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia Barat, namun memang ketidakadilan sosial terbesar terjadi terhadap daerah di Indonesia Timur. Lebih lanjut kita lihat ada beberapa hal yang telah menjadi sebuah aturan baku yang kurang lebih telah menjadi rahasia umum, bahwa yang menjadi alat pemersatu bangsa adalah etnis Jawa, dan agama Islam, yang menjadi presiden harus orang Jawa, dan Bergama Islam. Hal ini memang bukan aturan baku, namun ini telah menjadi sebuah aturan tidak tertulis dan memiliki legitimasi namun terjadi di dalam perpolitikan Indonesia, seperti yang diungkapkan dalam beberapa pertemuan kuliah di pascasarjana Universitas Nasional dalam kuliah budaya dan pemikiran politik Indonesia dan matakuliah kekutan-kekutan politik Indonesia. Jika hal ini merupakan sebuah kebenaran mutlak maka mampu menimbulkan tambahan kecemburuan sosial dari kelompok sosial lainnya, karena kita tahu bahwa Indonesia bukan hanya etnis Jawa dan agama Islam, meskipun kedua hal tersebut adalah kelompok mayoritas.
B. Identitas dan Diferensiasi
Pembahasan tentang pluralisme dan multikulturalisme adalah politik diferensiasi. Fakta tentang pluralitas dan keoeksistensi di tengah perbedaan mulai disadari, kesadaran tersebut berangkat dari sejarah ketika fakta tentang pluralitas dan perbedaan ditengarai sebagai sumber konflik juga pertentangan antarsesama manusia. Semua ini disebabkan oleh gerakan liberalism politik yang memerjuangkan keadilan universal. Seperti yang pernah dikatakan oleh Francis Fukuyama, bahwa akan selalu terjadi revolusi (perubahan sistem sosial) di setiap masa akibat kecintaan pada kesetaraan. Politik diferensiasi telah berkembang menjadi kekuatan yang juga melawan liberalism yang buta akan perbedaan. Hal ini berkaitan dengan perjuangan untuk mengakui hak-hak dan identitas partikular dari kelompok-kelompok minoritas. Sehingga tidak mengherankan d Indonesia yang sangat beragam ini dalam sejarahnya hingga saat ini sering dan selalu terjadi pergesekan sosial bahkan konflik yang berbau etnis atau agama. Konflik-konflik atau pergesekan ini tidak saja hanya disebabkan oleh ketidakadilan ekonomi maupun politik, namun juga disebabkan oleh identitas mereka yang diabaikan. Menurut Will Kymlicka, mungkin lebih adil jika kelompok-kelompok sosial yang berbeda diberi juga aturan khusus yang berbeda, Kymlicka menganggap di tengah pluralitas aturan-aturan yang diciptakan sebaiknya tidak boleh mengabaikan perbedaan[5].
Di Indonesia dengan berbagai macam kemajemukkan dalam masyarakat, menurut beberapa ahli perlu diubah masyrakat yang majemuk ini menjadi masyarakat multikultural, dengan cara mengadopsi ideologi multikulturalisme sebagai pedoman hidup dan sebagai keyakinan bangsa Indonesia untuk diaplikasikan dalam berbagai aspek sosial. Persoalan ini di Indonesia tidak hanya sebatas pada pengakuan tentang adanya perbedaan dalam masyarakat tetapi lebih dari itu, yaitu melegitimasi perbedaan-perbedaan tersebut agar dapat diterima sehingga terciptanya keadilan sosial. Yang terjadi di Indoensia adalah semua kelompok maupun individu sosial diberi kesempatan yang sama untuk berkembang, namun hal ini tidak seiring dengan pembangunan infrastruktur maupun kebijakan publik yang merata di setiap daerah, maupun jenjang sosial. Selama masa orde baru, kesemuanya itu hanya dititikberatkan pada daerah di Indonesia bagian barat, sedangkan Indonesia Timur seolah ditinggalkan sebagai daerah pinggiran yang harus berjuang sendiri. Sehingga ribuan kelompok majemuk di Indonesia Timur merasa telah dabaikan, dan identitas keIndonesiaan mereka hanya merupakan lambing belaka, namun SDA mereka dieksplorasi untuk kepentingan negara, perusahaan asing maupunkelompok-kelompok tertentu.
Apa yang terjadi di masa orde baru baru tidak jauh berbeda dengan di masa pasca reformasi ini. Sistem perpolitikan dan ekonomi yang masih sentralistik, dan penguasaan jabatan-jabatan politis oleh kelompok-kelompok tertentu, telah menempatkan ketidakpuasan kelompok sosial lainnya, sehingga dalam berbagai isu-isu nasional selalu ditanggapi dengan aksi demonstrasi besar-besaran, hal ini memang sudah sepatutnya terjadi di negara demokrasi seperti Indonesia, namun yang terjadi adalah sering terjadinya aksi anarkis oleh masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya. Hal ini merupakan cerminan bahwa hak-hak masyarakat, perbedaan-perbedaan dalam masyarakat belum benar-benar diakomodir secara baik oleh pemerintah. Jika kita lihat dari hakikat demokrasi, langkah awal yang harus dijalani adalah pemerintahan oleh, untuk, dan dari rakyat, lalu negara hukum[6]. Namun yang terjadi adalah lompatan langsung ke negara hukum ala Indonesia, sedangkan pemerintahan oleh rakyat, untuk rakyat, dan dari rakyat, diabaikan begitu saja.
C. Alat Pemersatu Bangsa
Sebagai sebuah negara yang telah berdiri hampir 70 tahun tentu pada awal pendiriannya di tahun 1945 terdapat simbol-simbol atau nilai pemersatu etnis-etnis, agama-agama, dan kelompok-kelompok sosial yang ada pada saat itu. Jika ditilik dari sejarah, masyarakat Indonesia memiliki persamaan nasib yang sama yaitu dijajah oleh Portugis, Belanda, dan Jepang, persamaan nasib menjadi alat pemicuawal bersatunya bangsa Indonesia. Selanjutnya adalah bahasa, pancasila, pembukaan UUD 1945, UUD 1945, tokoh, etnis melayu, dan agama islam[7]. Dua poin terakhir dikatakan sebagai alat pemersatu karena merupakan kelompok mayoritas yang hampir ada di seluruh nusantara. Pancasila merupakan hasil kesepakatan parapendiri bangsa ini, yang isinya telah mengakomodir atau telah menjamin berbagai kemajemukkan bangsa Indonesia. Pancasila merupakan nilai dasar negara Indonesia, namun juga sering disebut sebagai filsafat bangsa Indonesia, falsafah bangsa Indonesia, maupun sebagai hukum positif tertinggi bangsa Indonesia. Tentunya semuanya memiliki penjelasan-penjelasan masing-masing, namun dalam perjalanannya pancasila seolah ditinggalkan dan hanya menjadi simbol belaka, hal ini yang disadari oleh Soeharto yang kemudian membuat program P4 yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pancasila itu sendiri. Pada masa kini, pancasila jelas-jelas bukan lagi menjadi dasar negara, atau hukum positif tertinggi yang harus dipatuhi oleh setiap bangsa Indonesia. Praktek KKN, keadilan hanya untuk yang memiliki uang, hak-hak rakyat kecil diabaikan, separatisme, organisasi agama melakukan aksi anarkis, merupakan hal-hal yang terjadi dan seolah menjadi lazim saat ini yang menunjukkan bahwa nilai-nilai dalam pancasila dan UUD 1945 telah diabaikan.
Arus globalisasi juga memiliki peran penting dalam mempengaruhi budaya bangsa Indonesia. Kata-kata dalam Bahasa Inggris telah menggantikan beberapa bahasa Indonesia dalam interaksi sesama orang Indonesia, dan hal ini dianggap biasa. Globalisasi yang tidak bisa dikendalikan telah melanda bangsa Indonesia telah sangat mempengaruhi identitas bangsa Indonesia, nilai-nilai kearifan lokal setiap etnis mulai ditinggalkan. Hal ini menjadi permasalahan yang semakin kompleks ketika bangsa Indonesia saat ini tidak memiliki seorang tokoh nasional yang memiliki dukungan mayoritas penduduk Indonesia selayaknya Soekarno dan Moh. Hatta yang mendapat dukungan seluruh masyarakat Indonesia pada awal kemerdekaan. Paling tidak seorang tokoh yang memiliki pengaruh besar, kharisma, bekerja untuk rakyat dan memiliki reputasi yang baik serta menjunjung nilai-nilai demokrasi. Mengapa tokoh pemersatu menjadi pentig, jika dilihat dari persepktif psikologi komunikasi, seorang tokoh yang memiliki beberapa hal di atas akan sangat mudah mempengaruhi opini publik dan mendapat dukungan dalam mengadakan perubahan sosial.
Pemimpin politik saat ini baik dalam pemerintahan, maupun dalam lembaga-lembaga politik maupun kelompok-kelompok kepentingan tidak mampu menciptakan bentuk masyarakat madani seperti yang digariskan dalam nilai-nilai demokrasi. Masyarakat menjadi acuh terhadap isu-isu nasional maupun segala macam kebijakan pemerintah, hal ini bukan karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan budaya politik parokial, tetapi masyarakat sudah bosan dengan pemerintahnya sendiri karena didasarkan pada pengalaman dan perjalanan bangsa ini yang tidak urung menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial meskipun terus berganti pemimpin bangsa[8]. Segala macam permasalahan bangsa Indonesia yang tidak pernah terselesaikan telah menimbulkan sikap antipati masyarakat terhadap pemerintah yang hampir menyeluruh di seluruh Indonesia dalam setiap pemberitaan di media massa, setiap kali presiden atau wakil presiden berkunjung ke daerah selalu saja mendapat sambutan berupa demonstrasi baik oleh mahasiswa maupun masyarakat. Hal ini menunjukkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin bangsa Indonesia, dan semua ini sangat membahayakan sistem demokrasi, lebih jauh lagi membahayakan integritas bangsa.
Vitalnya pluralisme di Indonesia semakin berada di ujung tanduk apabila pemimpin agama tidak mampu menempatkan perbedaan sosial sebaga sesuatu yang harus dijunjung tinggi untuk dihargai, karena kita tahu bahwa pemimpin agama di Indonesia memiliki pengaruh yang cukup besar di tengah masyarakat dalam kaitannya dengan moral dan norma-norma sosial. Pada tanggal 28 Juli 2005, MUI menerbitkan fatwa yang melarang pluralisme. Dalam fatwa tersebut, pluralisme agama,sebagai obyek persoalan yang ditanggapi, didefinisikan sebagai: "Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga". Dengan demikian, MUI menyatakan bahwa Pluralisme dalam konteks yang tertera tersebut bertentangan dengan ajaran Agama Islam[9]. Dengan adanya definisi pluralisme yang berbeda tersebut, semakin timbul polemik panjang mengenai pluralisme di Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Segala macam kompleksitas dan permasalahan bangsa Indonesia mengenai keberagaman etnik, agama, ras, dan budaya telah memunculkan disintegrasi nasional yang membahayakan negara kesatuan Republik Indonesia. Masalah-masalah yang diungkapkan secara lugas dalam makalah ini bukan untuk mendiskreditkan kelompok sosial tertentu, atau bahkan menjadikan kita bangsa Indonesia menjadi frustasi dan semakin membenci satu sama lain termasuk membenci pemerintah, hal tersebut akan semakin menambah persoalan sosial yang akan semakin rumit. Kesimpulan yang bisa diambil dari makalah ini antara lain :
1. Sebagai sebuah negara yang mengklaim diri sebagai satu-satunya negara kepulauan terbesar dengan berbagai kemajemukan budayanya, Indonesia tidak mampu memenuhi nilai-nilai dasar dari paham demokrasi itu sendiri.
2. Kesadaran secara umum, dalam hal ini kesadaran nasional akan realitas sosial yang seharusnya diakomodir dan diunifikasi dalam sebuah wadah politik yang mampu mencakup semua kepentingan kelompok sosial di Indonesia sangat minim.
3. Nilai-nilai kearifan lokal bangsa yang sebagian besar menyangkut nilai kolektif semakin ditinggalkan berganti menjadi sekularisme sebagai akibat dari globalisasi dan tuntutan hidup yang semakin tinggi, sehingga pluralisme di Indonesia semakin berada di ujung tanduk, dalam artian tidak memiliki tempat d tengah masyarakat untuk dijunjung sebagai suatu kebanggaan. Hal ini dikarenakan oleh rendahnya pemahaman substansi demokrasi baik oleh elit politik, maupun masyarakat luas.
4. Kesadaran moral dan etika politik tidak dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai akibat oleh terlalu lamanya bangsa Indonesia hidup di dalam sistem pemerintahan yang mengkultuskan penguasa, sehingga ketika diberi kebebasan pada masa reformasi masyarakat Indonesia mengalami kebingungan dan mulai membentuk dan menjadikan kelompok sosial sebagai tempat mengapresiasikan keinginannya berdasarkan kesamaan ideologi, agama, budaya, dan etnis.
B. Saran
Berdasarkan makalah ini dan kesimpulan yang diambil, maka penulis dapat memberikan saran kepada masyarakat Indonesia, pemerintah dan siapapun yang berwenang, agar pluralitas seharusnya menjadi sarana penguat demokrasi dan integrasi bangsa, yaitu :
1. Pemerintah, lembaga-lembaga politik, dan kelompok kepentingan harus melaksanakan proses sosialisasi politik berkaitan dengan nilai-nilai demokrasi sehingga mampu menciptakan kelompok-kelompok sosial yang ada menjadi kelompok matau organisasi masyarakat madani.
2. Pemerintah perlu menyelesaikan masalah-masalah nasional yang menyimpang dari konstitusi, terutama praktek KKN sehingga mampu meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
3. Perlu ditingkatkan program pendidikan politik terutama pemahaman tentang demokrasi di dalam pendidikan formal maupun nonformal, sehingga dapat tercipta generasi-generasi baru atau pemimpin-pemimpin politik masa depan yang mengerti dan memahami demokrasi secara baik sehingga mampu juga menerima kemajemukan bangsa sebagai sebuah kekuatan bangsa.
Daftar Pustaka
Saleh, Hassan, Civic Education, Audi Grafika, 2009; Jakarta.
Kymlicka, Will, Kewarganegaraan Multikultural, Teori Liberal Mengenai Hak-Hak Minoritas, Jakarta; LP3ES, 2003.
Munandar, Haris, Pembangunan Politik, Situasi Global, dan Hak Asasi di Indonesia (kumpulan esai guna menghormati Prof. Miriam Budiardjo), Gramedia Pustaka Utama; 1994, Jakarta.
Dhae, D. Daniel, artikel reflektif yang dimuat dalam majalah Tempo dengan judul pemimpin yang menyesatkan, Tempo edisi maret 2009.
Wikipedia Indonesia, diakses pada tanggal 30 april 2013.
[1] Meskipun sudah diredam dengan MOU antara pemerintah dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2004 salah satunya adalah diberikannya status sebagai daerah otonomi khusus, pada bulan april tahun 2013 terjadi pengibaran bendera dengan lambing GAM di Aceh. Sedangkan Papua dengan gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM) hingga saat ini masih melakukan aksi-aksinya dengan melakukan konfrontasi di daerah pegunungan tengah Papua. Maluku dengan gerakannya Republik Maluku Selatan (RMS) melakukan pergerakannya dari Belanda hingga ke Propinsi Maluku, gerakan ini cukup kuat di antara kalangan masyarakat Maluku yang beragama Kristen Protestan.
[2] Hassan Saleh, Civic Education, Audi Grafika, 2009; Jakarta. Hal. 131.
[3] Ibid. hal. 132
[4] Ibid., Hal. 241.
[5] Will Kymlicka, Kewarganegaraan Multikultural, Teori Liberal Mengenai Hak-Hak Minoritas, Jakarta; LP3ES, 2003. Hal. 51.
[6] Istilah negara hukum di Indonesia hampir dianggap hanya ketika seseorang melakukan pelanggaran hukumdan harus dihukum sesuai aturan yang berlaku, bukan lagi keadaan dimana hak-hak setiap warga negara dakui dan dilindungi oleh negara. Bisa kita lihat dari salah satu contoh di Jawa Timur ketika seorang nenek tua yang mencuri ayam tetangganya dihukum penjara 5 tahun, namun pemerintah tidak menyadari bahwa nenek tersebut melakukan pencurian tersebut disebabkan oleh kemiskinan yang sudah sangat kuat mencengkram hidup nenek tua tersebut, hingga untuk makan satu kali saja tidak mampu. Padahal dalam UUD 1945 Pasal 32 telah diatur bahwa kaum miskin menjadi tanggungjawab pemerintah.
[7] Haris Munandar, Pembangunan Politik, Situasi Global, dan Hak Asasi di Indonesia (kumpulan esai guna menghormati Prof. Miriam Budiardjo), Gramedia Pustaka Utama; 1994, Jakarta. Hal. 200
[8] Daniel D. Dhae, artikel reflektif yang dimuat dalam majalah Tempo dengan judul pemimpin yang menyesatkan, Tempo edisi maret 2009, kolom 3, hal 15.
[9] Wikipedia Indonesia, diakses pada tanggal 30 april 2013.
Penulis : Gian Tue Mali
Post a Comment