Teringat hingar bingar kampanye pilkada di Nagekeo tahun 2008. Kegaduhannya merangsek hingga Jakarta. Suatu saat, pesan bernada kampanye mampir ke ‘telepon bergerak’ saya. Sudah bisa ditebak isinya, ajakan untuk memilih figur tertentu sebagai bupati di kabupaten baru yang baru saja memisahkan diri dari induknya, Ngada.
Alasan yang dibeberkan pun menarik. Yang boleh menjadi bupati, demikian pesan itu, adalah mereka yang benar-benar mosalaki. Pengirim sms itu lalu merinci, mana calon-calon yang mosalaki, mana yang tidak. Fantastis.
Terus terang, saya — dan mungkin sebagian warga Nagekeo yang lain –saat itu tak berselera untuk memeriksa apakah nama-nama calon bupati dan wakilnya kali ini adalah keturunan mosalaki atau tidak.
Mestinya, kalau mau, amat mudah menelusuri kemosalakian mereka. Tinggal merunut silsilah, lalu ketahuan, apakah mereka itu berasal dari trah mosalaki, atau orang biasa-biasa saja, atau mungkin dari kelompok hamba sahaya.
Kemudian saya bertanya, setelah mengetahui status mereka, lalu apa? Beberapa pertanyaan yang lain pun datang beruntun. Apa yang dimaksud dengan pengirim sms ini dengan mosalaki? Apakah pemahaman mosalaki semua orang Nagekeo sama? Kalau kemudian yang menjadi bupati Nagekeo nantinya adalah mosalaki, apa lalu dia akan menjadi bupati yang berhasil? Masih banyak litani pertanyaan lain yang terus membatin.
Mosalaki dan Tanah
Mosalaki atau mosadaki/mosa rakhi (dari kata mosa=jantan besar, laki=jantan) adalah konsep stratifikasi sosial yang berlaku di masyarakat Flores Tengah, yaitu Lio, Ende, Nagekeo dan Ngada. Mosalaki berarti kepala sebuah komunitas sosial (suku), tuan di sebuah wilayah adat, atau pemimpin di sebuah tanah ulayat.
Mosalaki itu adalah tuan tanah (lord of the land). Demikianlah pemahaman di hampir semua wilayah Flores Tengah. Mosalaki tak pernah tidak selalu dilekatkan pada penguasaan wilayah tanah. Para peneliti kebudayaan Flores Tengah seperti Paul Ardnt, Louis Fontjene, Gregory Forth, Satoshi Nakagawa, Petrus Sareng Oringbao (Piet Petu) atau Philiphus Tule sampat berkutat dengan tema ini.
Fontjine misalnya pernah meneliti masyarakat Kelimado, di wilayah Nage terkait dengan fungsi mereka sebagai tuan atau penjaga tanah (Lord of The Land). Dari tulisan Fontjine dengan judul Grondvoogden in Kelimado (Guardians of the land in Kelimado) kemudian menjadi inspirasi bagi Gregory Forth untuk melakukan sebuah penelitian yang lebih komprehensif di wilayah Nagekeo.
Seperti pemahaman tentang tanah di Flores pada umumnya, tanah itu hidup, memiliki kepala (ulu) dan ekor (eko). Dia harus dijaga, jangan sampai ada yang mengambil atau melukainya. Tanah itu menghidupkan, maka mempertahanakannya adalah urusan mati atau hidup.
Perhatikan syair adat dari dialek Lio yang menggambarkan persekutuan tanah Flores (Nusa Nipa). Masyarakat Lio tidak hanya memberi nama, tetapi juga memuja pulau yang berbentuk ular raksasa itu.
Dalam ritualnya yang memuja Ular Raksasa (baca: Naga) dengan sesajen mereka selalu mengulangi kata-kata berikut: Ulu gheta Kowe Jawa, kami paa kau ka. Eko ghale Bajo Bima, kami rewu kau rue (Kepalanya di Kowe Jawa, yaitu tempat berlabuhnya perahu-perahu Jawa di perairan Solor-Adonara– kawasan di bagian timur pulau dan kepulauan sekitarnya yang dihuni etnis Lamaholot–kami beri kau makan. Ekornya di Bajo Bima, kami serahkan sesajen).
Syair ritual itu kemudian berlanjut dalam satu kesatuan dengan seruan berikut: Ata eo kolu mbou ulu; Geto lima kai; Pusu kai tuu leka puu tubu; Lema kai tuu leka fii kanga (Mereka yang merusak bagian kepala; Pancungkan lehernya; Mereka yang mengonarkan bagian ekor; Potonglah tangannya; Jantungnya letakkan di tugu sesajen; Lidahnya letakkan di tiang kurban).
Ketika menjaga dan mempertahankan tanah itu, mosalaki memiliki peran sentral. Merekalah yang harus mengorganisir dan memimpin anggota komunitas untuk mempertahankan tanahnya. Mereka adalah para pemimpin perang.
Dalam dimensi religius pun, para mosalaki inilah yang mewakili anggota komunitas dalam berhubungan dengan Tuhan mereka, Bapak Langit, Ibu Bumi. Begitulah mereka menyebut Tuhannya, Dewa Reta, Nggae Rade/Dewa Zeta, Nitu Zale/Dua Lulu Wula, Nggae Wena Tana (Dewa yang di atas, Tuhan yang di bawah/Tuhan yang di atas Bulan, Tuhan yang di bawah tanah).
Terkait dengan fungsi kepemimpinan, mari kita perhatikan pemahaman mosalaki di wilayah Keo Tengah yang ditulis oleh Philiphus Tule (We are Children of The Land: A Keo Perspective/Kami adalah Anak-Anak Tanah: Sebuah Perspektif Masyarakat Keo)
Dalam fungsi itu, ada mosalaki yang termasuk dalam kelompok tuan tanah tingkat pertama (ine tana, ame watu, ibu tanah, bapak batu). Gelar yang biasa diberikan kepada mereka dalam komunitas Keo Tengah adalah mosa tana, daki watu.
Otoritas ini diperoleh bisa karena nenek moyang mereka adalah orang-orang yang pertama yang mendiami dan kemudian menguasai wilayah itu. Atau bisa saja, mereka menguasai wilayah tersebut dengan memerangi orang pribumi awal.
Di bawah kelompok ini, masih ada jenis mosalaki yang menguasai sebuah wilayah tanah yang lebih kecil (ine ku, ame lema/ibu kebun, bapak ladang). Mereka adalah pemimpin di salah satu wilayah kampung (village leader) yang langsung berhubungan dengan para penggarap lahan.
Kemudian ada kelompok penggarap ini adalah orang kebanyakan yang tidak termasuk dalam kelompok mosalaki. Mereka adalah para petani yang mengelola ladang yang lahannya dibatasi dengan pohon kelapa (nio tiko) dan pinang (eu tako).
Kita bisa membandingkan dengan mosalaki yang berlaku di wilayah Toto-Tana Rea. Ketika nenek moyang orang Dodo (kunu atau suku Dodo), Digo dan Ratja, tampil sebagai pemimpin perang untuk menguasai wilayah itu, maka turunan merekalah yang mewarisi fungsi sebagai ine tana, ame watu (mosa tana, daki watu atau mosa tana mere, daki watu dewa).
Lalu, sejumlah suku lain yang bahu-membahu bersama Digo dan Ratja berperang, kemudian mendapat otoritas untuk menjaga wilayah yang lebih kecil (puu muku, doka dea, wilayah kebun pisang dan halia). Kemosalakian mereka bertugas menopang (mosa sike, laki sani) otoritas orang Dodo dengan fungsi penguasaaan tanah yang lebih luas.
Kita kembali kepada pemahaman orang Keo. Mosalaki pada tingkat ine ku, ame lema — karena otoritasnya sebagai memimpin di wilayah kampung — adalah pemimpin di kampung (nua oda) itu. Makanya, mereka disebut mosa nua, daki oda.
Misalnya, mereka bertugas untuk mengumumkan atau mengumpulkan anggota kampung untuk sebuah upacara maka adat bersama (nado mere, perjamuan besar). Mereka juga bertugas mengurusi harta kekayaan di wilayahnya setelah mendapat upeti dari para penggarap tanah. Makanya mereka disebut mosa kamba, daki wea (mosalaki yang dikaitkan dengan kerbau (kamba) dan emas (wea).
Dengan bantuan penelitian para ilmuwan di atas, kita masih bisa berpanjang-panjang berwacana apa yang dipahami orang Nagekeo tentang mosalaki. Di kampung-kampung, terutama di kalangan generasi tua, ungkapan itu masih kental dan dikenal luas.
Memaknai Secara Baru
Tapi, bagi masayarakat Nagekeo saat ini, menurut hemat penulis, yang terpenting adalah memakanai mosalaki secara kontekstual. Kendati, pemaknaan mosalaki secara baru tidak serta merta menghilangkan status dan peran mosalaki yang saat ini masih hidup di tengah masayarakat.
Walaupun di pihak lain, kita harus jujur mengakui kalau peran mosalaki dalam pemahaman tradisional kian terkikis seiring hilangnya peran tanah di kampung. Saat ini, tanah tidak lagi menjadi satu-satunya modal ekonomis dan sumber kehidupan.
Tambahan lagi, fungsi mosalaki sebagai pemimpin religius sudah dilakoni para imam agama modern (pastor, kiai dan pendeta). Sebagian besar peran mereka yang lain, juga diambil oleh petugas-petugas pemerintahan mulai dari tingkat yang paling rendah hingga para bupati.
Peran mereka masih tersisa pada urusan tanah dan acara-acara adat yang di sejumlah tempat hampir kehilangan wibawa dan tuahnya. Apalagi, ketika uang menjadi komoditas dan alat pembayaran yang sentral saat ini, tanah adalah persoalan transaksional. Artinya dengan uang, tanah — yang sebelumnya menjadi penopang utama urusan adat dan otoritas mosalaki — bisa dibeli dan dikuasai sendiri. Anda bisa menjadi tuan tanah dalam arti yang sebenarnya, tanpa harus mewarisi trah mosalaki dari para leluhurnya.
Dalam jaman modern saat ini, seorang bisa menjadi mosalaki (pemimpin yang bisa mengatur dan mempengaruhi orang lain) tanpa Anda sendiri harus berasal dari keluarga mosalaki. Yang diperlukan adalah kemampuan manajerial dan kecerdasan dalam mengelola informasi sehingga bisa memberikan solusi bagi masyarakat di sekitarnya.
Atau, status kemosalakian seseorang bisa tergerus oleh kemalasan sehingga tidak bisa memberikan kenyamaman secara ekonomis bagi keluarga maupun sanak saudara. Perhatikan syair dari kampung Rendu bertajuk Mae Taku Mo (Jangan Takut Lelah): Babho ngusa nge ghawo, Solo ngusa ne mo. Kema woso mae taku mo. Mae tau mea ebu kajo. Ngaza kita taku mo; Ka tuka mona boo; Pedi weki mona noto; ana rita fai nobo; Ngai zede mona oko; Moslaki bale roo.
Dalam pemahaman dengan paradigma baru ini, mosalaki tidak bisa lagi dikaitkan dengan tanah (mosa tana, laki watu), tetapi kecerdasan, baik intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual maupun kecerdasan sosial. Mereka yang menangkap pergeseran makna mosalaki menandainya dengan ungakapan mosa rende, daki ngai (rende/yende/zende=pikiran, kecerdasan ngai=napas, kebijaksanaan). Atau ada ungkapan lain yang mirip, yaitu mosa ote, daki ngai (ote=otak, kecerdasan).
Visi dan misi para calon pemimpin yang diumbar dalam kampanye merupakan cerminan dari kualitas ‘ote’ dan ‘ngai’ mereka. Kepatuhan dan kelayakan (fit and proper) seorang menjadi pemimpin akan membuktikan apakah dia itu memiliki kecerdasan dan kebijaksaaan dalam memimpin. Pikirannya harus terang (sia) dan putih (mbara, bara bhala/bhaya). Ngai sia rende mbara/bhala. Kehadirannya meyakainkan karena memberi jalan pada kebuntuan, mendatangkan solusi pada persoalan.
Di pihak lain, pemimpin yang rakus dan hanya memperhatikan kepentingan sendiri diberi sindiran, mosa ka, daki pesa (pemimpin hanya berpikir pada kesenangan makan (ka) dan pesta pora (pesa). Kerakusan merupakan akan korupsi yang sangat digemari kebanyakan pemimpin masa kini.
Lalu, pemimpin yang tidak mampu memberi ketentraman dan mencari keuntungan dari percekcokan, konflik, klik, adu domba, akan disebut mosa ko loa, daki ko wawi, pemimpin yang berperilaku seperti kera (loa) dan babi (wawi).
Atau untuk pemimpin yang menggunakan kekuasaannya untuk merampas hak dan milik orang lain, akan disebut mosa kasa kappa, daki engge mere. Ini jenis pemimpin yang mengandalkan diri pada kekuatan fisik, bukan otak (kasa kappa=dada tebal, engge mere=pinggang besar dan perkasa).
Ketika pilkada Nagekeo digelar, masyarakat sedang memilih mosalaki bagi mereka. Di sana ada pasangan calon Servatius Podhi-Frans Eritonga, Lukas Tonga-Bruno Bu’u, Yohanes S. Aoh-Paulus Kaju, Yohanes Don Bosco Do-Theofilus Woghe, dan Aloysius Dando-Firmus Madhu Denghi.
Mungkin saja mereka adalah mosalaki dalam arti yang sesungguhnya. Mereka tuan tanah di daerah asalnya masing-masing. Tapi, apa manfaatnya kemosalakian mereka ini bagi Nagakeo? Sama sekali tidak.
Justru yang harus diperiksa adalah kecerdasan dan kebijaksanaan mereka yang pada masa lalu terungkap dalam apa yang sudah mereka buat. Itulah sebabnya, kita perlu memeriksa rekam jejaknya (track record).
Kalau sebelumnya, sang calon pernah menjadi bupati atau birokrat di daerah, pertanyaanya, apa yang pernah dibuatnya sehingga masyarakat menjadi lebih baik, lebih sejahtera. Jangan-jangan ketika memimpin, waktunya habis untuk petantang petenteng, tanpa mempedulikan pendapatan masyarakat.
Kepada para calon yang sudah puluhan tahun merantau dan mencari nafkah di tempat yang jauh, pertanyaannya, mengapa baru sekarang dia pulang kampung? Apakah mereka pulang kampung karena tidak bisa optimal di perantauan, atau benar-benar mau mengabdi? Lalu, mampukah mereka beradaptasi lagi dengan ‘situasi kampung’ yang sudah lama ditinggalkan?
Sebagai warga kabupaten, adalah hak untuk mencek secara kritis, meneliti secara seksama para calon pemimpin kita. Masyarakat harus yakin bahwa kehadiran mereka harus membuat Nagekeo lebih baik, lebih sejahtera, lebih aman dan tertib. Jangan sampai terjadi, pada saat memimpin nanti, mereka hanya berleha-leha dan membiarkan warga Nagekeo tetap miskin dan tak berdaya.
Rekam jejak mereka harus diuji lagi dengan visi dan misi yang mereka miliki. Mereka tidak hanya cerdas dan bijaksana, tetapi juga bertenaga (sehat, kuat dan energik) serta memiliki banyak kiat untuk mewujudkan visi dan misi mereka itu. Flores, Nagaekeo pada khususnya adalah medan yang berat dan bergunung-gunung. Tidak cukup bupati hanya berlalu lalang dengan mobil plat merah sambil menebar pesona.
Jangan sampai terjadi, orang Nagekeo, sama seperti warga di kabupaten lain merayakan pesta demokrasi dan memilih bupati, tetapi setelah lima tahun, kabupaten lain kian maju, sementara Nagekeo tetap berjalan di tempat.
Kalau begini yang terjadi, maka syair bernada sinis dari masyarakat adat Ute Toto patut dikumandangkan kembali: kema uma, kita sama-sama. Ata urha todu, kita derha tapha. Kei moke, kita lai mogha, ata didi deko, kita wado bogha. (Kita sama-sama berkebun dan bercocok tanam, kebun orang disirami hujan (sehingga panen berlimpah), punya kita diterpa kemarau panjang (sehingga tak menghasilkan apa-apa). Mengiris tuak kita juga suka, orang lain membawa bambu penuh arak ke rumah, kita pulang melenggang dengan tangan hampa).
Alasan yang dibeberkan pun menarik. Yang boleh menjadi bupati, demikian pesan itu, adalah mereka yang benar-benar mosalaki. Pengirim sms itu lalu merinci, mana calon-calon yang mosalaki, mana yang tidak. Fantastis.
Terus terang, saya — dan mungkin sebagian warga Nagekeo yang lain –saat itu tak berselera untuk memeriksa apakah nama-nama calon bupati dan wakilnya kali ini adalah keturunan mosalaki atau tidak.
Mestinya, kalau mau, amat mudah menelusuri kemosalakian mereka. Tinggal merunut silsilah, lalu ketahuan, apakah mereka itu berasal dari trah mosalaki, atau orang biasa-biasa saja, atau mungkin dari kelompok hamba sahaya.
Kemudian saya bertanya, setelah mengetahui status mereka, lalu apa? Beberapa pertanyaan yang lain pun datang beruntun. Apa yang dimaksud dengan pengirim sms ini dengan mosalaki? Apakah pemahaman mosalaki semua orang Nagekeo sama? Kalau kemudian yang menjadi bupati Nagekeo nantinya adalah mosalaki, apa lalu dia akan menjadi bupati yang berhasil? Masih banyak litani pertanyaan lain yang terus membatin.
Mosalaki dan Tanah
Mosalaki atau mosadaki/mosa rakhi (dari kata mosa=jantan besar, laki=jantan) adalah konsep stratifikasi sosial yang berlaku di masyarakat Flores Tengah, yaitu Lio, Ende, Nagekeo dan Ngada. Mosalaki berarti kepala sebuah komunitas sosial (suku), tuan di sebuah wilayah adat, atau pemimpin di sebuah tanah ulayat.
Mosalaki itu adalah tuan tanah (lord of the land). Demikianlah pemahaman di hampir semua wilayah Flores Tengah. Mosalaki tak pernah tidak selalu dilekatkan pada penguasaan wilayah tanah. Para peneliti kebudayaan Flores Tengah seperti Paul Ardnt, Louis Fontjene, Gregory Forth, Satoshi Nakagawa, Petrus Sareng Oringbao (Piet Petu) atau Philiphus Tule sampat berkutat dengan tema ini.
Fontjine misalnya pernah meneliti masyarakat Kelimado, di wilayah Nage terkait dengan fungsi mereka sebagai tuan atau penjaga tanah (Lord of The Land). Dari tulisan Fontjine dengan judul Grondvoogden in Kelimado (Guardians of the land in Kelimado) kemudian menjadi inspirasi bagi Gregory Forth untuk melakukan sebuah penelitian yang lebih komprehensif di wilayah Nagekeo.
Seperti pemahaman tentang tanah di Flores pada umumnya, tanah itu hidup, memiliki kepala (ulu) dan ekor (eko). Dia harus dijaga, jangan sampai ada yang mengambil atau melukainya. Tanah itu menghidupkan, maka mempertahanakannya adalah urusan mati atau hidup.
Perhatikan syair adat dari dialek Lio yang menggambarkan persekutuan tanah Flores (Nusa Nipa). Masyarakat Lio tidak hanya memberi nama, tetapi juga memuja pulau yang berbentuk ular raksasa itu.
Dalam ritualnya yang memuja Ular Raksasa (baca: Naga) dengan sesajen mereka selalu mengulangi kata-kata berikut: Ulu gheta Kowe Jawa, kami paa kau ka. Eko ghale Bajo Bima, kami rewu kau rue (Kepalanya di Kowe Jawa, yaitu tempat berlabuhnya perahu-perahu Jawa di perairan Solor-Adonara– kawasan di bagian timur pulau dan kepulauan sekitarnya yang dihuni etnis Lamaholot–kami beri kau makan. Ekornya di Bajo Bima, kami serahkan sesajen).
Syair ritual itu kemudian berlanjut dalam satu kesatuan dengan seruan berikut: Ata eo kolu mbou ulu; Geto lima kai; Pusu kai tuu leka puu tubu; Lema kai tuu leka fii kanga (Mereka yang merusak bagian kepala; Pancungkan lehernya; Mereka yang mengonarkan bagian ekor; Potonglah tangannya; Jantungnya letakkan di tugu sesajen; Lidahnya letakkan di tiang kurban).
Ketika menjaga dan mempertahankan tanah itu, mosalaki memiliki peran sentral. Merekalah yang harus mengorganisir dan memimpin anggota komunitas untuk mempertahankan tanahnya. Mereka adalah para pemimpin perang.
Dalam dimensi religius pun, para mosalaki inilah yang mewakili anggota komunitas dalam berhubungan dengan Tuhan mereka, Bapak Langit, Ibu Bumi. Begitulah mereka menyebut Tuhannya, Dewa Reta, Nggae Rade/Dewa Zeta, Nitu Zale/Dua Lulu Wula, Nggae Wena Tana (Dewa yang di atas, Tuhan yang di bawah/Tuhan yang di atas Bulan, Tuhan yang di bawah tanah).
Terkait dengan fungsi kepemimpinan, mari kita perhatikan pemahaman mosalaki di wilayah Keo Tengah yang ditulis oleh Philiphus Tule (We are Children of The Land: A Keo Perspective/Kami adalah Anak-Anak Tanah: Sebuah Perspektif Masyarakat Keo)
Dalam fungsi itu, ada mosalaki yang termasuk dalam kelompok tuan tanah tingkat pertama (ine tana, ame watu, ibu tanah, bapak batu). Gelar yang biasa diberikan kepada mereka dalam komunitas Keo Tengah adalah mosa tana, daki watu.
Otoritas ini diperoleh bisa karena nenek moyang mereka adalah orang-orang yang pertama yang mendiami dan kemudian menguasai wilayah itu. Atau bisa saja, mereka menguasai wilayah tersebut dengan memerangi orang pribumi awal.
Di bawah kelompok ini, masih ada jenis mosalaki yang menguasai sebuah wilayah tanah yang lebih kecil (ine ku, ame lema/ibu kebun, bapak ladang). Mereka adalah pemimpin di salah satu wilayah kampung (village leader) yang langsung berhubungan dengan para penggarap lahan.
Kemudian ada kelompok penggarap ini adalah orang kebanyakan yang tidak termasuk dalam kelompok mosalaki. Mereka adalah para petani yang mengelola ladang yang lahannya dibatasi dengan pohon kelapa (nio tiko) dan pinang (eu tako).
Kita bisa membandingkan dengan mosalaki yang berlaku di wilayah Toto-Tana Rea. Ketika nenek moyang orang Dodo (kunu atau suku Dodo), Digo dan Ratja, tampil sebagai pemimpin perang untuk menguasai wilayah itu, maka turunan merekalah yang mewarisi fungsi sebagai ine tana, ame watu (mosa tana, daki watu atau mosa tana mere, daki watu dewa).
Lalu, sejumlah suku lain yang bahu-membahu bersama Digo dan Ratja berperang, kemudian mendapat otoritas untuk menjaga wilayah yang lebih kecil (puu muku, doka dea, wilayah kebun pisang dan halia). Kemosalakian mereka bertugas menopang (mosa sike, laki sani) otoritas orang Dodo dengan fungsi penguasaaan tanah yang lebih luas.
Kita kembali kepada pemahaman orang Keo. Mosalaki pada tingkat ine ku, ame lema — karena otoritasnya sebagai memimpin di wilayah kampung — adalah pemimpin di kampung (nua oda) itu. Makanya, mereka disebut mosa nua, daki oda.
Misalnya, mereka bertugas untuk mengumumkan atau mengumpulkan anggota kampung untuk sebuah upacara maka adat bersama (nado mere, perjamuan besar). Mereka juga bertugas mengurusi harta kekayaan di wilayahnya setelah mendapat upeti dari para penggarap tanah. Makanya mereka disebut mosa kamba, daki wea (mosalaki yang dikaitkan dengan kerbau (kamba) dan emas (wea).
Dengan bantuan penelitian para ilmuwan di atas, kita masih bisa berpanjang-panjang berwacana apa yang dipahami orang Nagekeo tentang mosalaki. Di kampung-kampung, terutama di kalangan generasi tua, ungkapan itu masih kental dan dikenal luas.
Memaknai Secara Baru
Tapi, bagi masayarakat Nagekeo saat ini, menurut hemat penulis, yang terpenting adalah memakanai mosalaki secara kontekstual. Kendati, pemaknaan mosalaki secara baru tidak serta merta menghilangkan status dan peran mosalaki yang saat ini masih hidup di tengah masayarakat.
Walaupun di pihak lain, kita harus jujur mengakui kalau peran mosalaki dalam pemahaman tradisional kian terkikis seiring hilangnya peran tanah di kampung. Saat ini, tanah tidak lagi menjadi satu-satunya modal ekonomis dan sumber kehidupan.
Tambahan lagi, fungsi mosalaki sebagai pemimpin religius sudah dilakoni para imam agama modern (pastor, kiai dan pendeta). Sebagian besar peran mereka yang lain, juga diambil oleh petugas-petugas pemerintahan mulai dari tingkat yang paling rendah hingga para bupati.
Peran mereka masih tersisa pada urusan tanah dan acara-acara adat yang di sejumlah tempat hampir kehilangan wibawa dan tuahnya. Apalagi, ketika uang menjadi komoditas dan alat pembayaran yang sentral saat ini, tanah adalah persoalan transaksional. Artinya dengan uang, tanah — yang sebelumnya menjadi penopang utama urusan adat dan otoritas mosalaki — bisa dibeli dan dikuasai sendiri. Anda bisa menjadi tuan tanah dalam arti yang sebenarnya, tanpa harus mewarisi trah mosalaki dari para leluhurnya.
Dalam jaman modern saat ini, seorang bisa menjadi mosalaki (pemimpin yang bisa mengatur dan mempengaruhi orang lain) tanpa Anda sendiri harus berasal dari keluarga mosalaki. Yang diperlukan adalah kemampuan manajerial dan kecerdasan dalam mengelola informasi sehingga bisa memberikan solusi bagi masyarakat di sekitarnya.
Atau, status kemosalakian seseorang bisa tergerus oleh kemalasan sehingga tidak bisa memberikan kenyamaman secara ekonomis bagi keluarga maupun sanak saudara. Perhatikan syair dari kampung Rendu bertajuk Mae Taku Mo (Jangan Takut Lelah): Babho ngusa nge ghawo, Solo ngusa ne mo. Kema woso mae taku mo. Mae tau mea ebu kajo. Ngaza kita taku mo; Ka tuka mona boo; Pedi weki mona noto; ana rita fai nobo; Ngai zede mona oko; Moslaki bale roo.
Dalam pemahaman dengan paradigma baru ini, mosalaki tidak bisa lagi dikaitkan dengan tanah (mosa tana, laki watu), tetapi kecerdasan, baik intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual maupun kecerdasan sosial. Mereka yang menangkap pergeseran makna mosalaki menandainya dengan ungakapan mosa rende, daki ngai (rende/yende/zende=pikiran, kecerdasan ngai=napas, kebijaksanaan). Atau ada ungkapan lain yang mirip, yaitu mosa ote, daki ngai (ote=otak, kecerdasan).
Visi dan misi para calon pemimpin yang diumbar dalam kampanye merupakan cerminan dari kualitas ‘ote’ dan ‘ngai’ mereka. Kepatuhan dan kelayakan (fit and proper) seorang menjadi pemimpin akan membuktikan apakah dia itu memiliki kecerdasan dan kebijaksaaan dalam memimpin. Pikirannya harus terang (sia) dan putih (mbara, bara bhala/bhaya). Ngai sia rende mbara/bhala. Kehadirannya meyakainkan karena memberi jalan pada kebuntuan, mendatangkan solusi pada persoalan.
Di pihak lain, pemimpin yang rakus dan hanya memperhatikan kepentingan sendiri diberi sindiran, mosa ka, daki pesa (pemimpin hanya berpikir pada kesenangan makan (ka) dan pesta pora (pesa). Kerakusan merupakan akan korupsi yang sangat digemari kebanyakan pemimpin masa kini.
Lalu, pemimpin yang tidak mampu memberi ketentraman dan mencari keuntungan dari percekcokan, konflik, klik, adu domba, akan disebut mosa ko loa, daki ko wawi, pemimpin yang berperilaku seperti kera (loa) dan babi (wawi).
Atau untuk pemimpin yang menggunakan kekuasaannya untuk merampas hak dan milik orang lain, akan disebut mosa kasa kappa, daki engge mere. Ini jenis pemimpin yang mengandalkan diri pada kekuatan fisik, bukan otak (kasa kappa=dada tebal, engge mere=pinggang besar dan perkasa).
Ketika pilkada Nagekeo digelar, masyarakat sedang memilih mosalaki bagi mereka. Di sana ada pasangan calon Servatius Podhi-Frans Eritonga, Lukas Tonga-Bruno Bu’u, Yohanes S. Aoh-Paulus Kaju, Yohanes Don Bosco Do-Theofilus Woghe, dan Aloysius Dando-Firmus Madhu Denghi.
Mungkin saja mereka adalah mosalaki dalam arti yang sesungguhnya. Mereka tuan tanah di daerah asalnya masing-masing. Tapi, apa manfaatnya kemosalakian mereka ini bagi Nagakeo? Sama sekali tidak.
Justru yang harus diperiksa adalah kecerdasan dan kebijaksanaan mereka yang pada masa lalu terungkap dalam apa yang sudah mereka buat. Itulah sebabnya, kita perlu memeriksa rekam jejaknya (track record).
Kalau sebelumnya, sang calon pernah menjadi bupati atau birokrat di daerah, pertanyaanya, apa yang pernah dibuatnya sehingga masyarakat menjadi lebih baik, lebih sejahtera. Jangan-jangan ketika memimpin, waktunya habis untuk petantang petenteng, tanpa mempedulikan pendapatan masyarakat.
Kepada para calon yang sudah puluhan tahun merantau dan mencari nafkah di tempat yang jauh, pertanyaannya, mengapa baru sekarang dia pulang kampung? Apakah mereka pulang kampung karena tidak bisa optimal di perantauan, atau benar-benar mau mengabdi? Lalu, mampukah mereka beradaptasi lagi dengan ‘situasi kampung’ yang sudah lama ditinggalkan?
Sebagai warga kabupaten, adalah hak untuk mencek secara kritis, meneliti secara seksama para calon pemimpin kita. Masyarakat harus yakin bahwa kehadiran mereka harus membuat Nagekeo lebih baik, lebih sejahtera, lebih aman dan tertib. Jangan sampai terjadi, pada saat memimpin nanti, mereka hanya berleha-leha dan membiarkan warga Nagekeo tetap miskin dan tak berdaya.
Rekam jejak mereka harus diuji lagi dengan visi dan misi yang mereka miliki. Mereka tidak hanya cerdas dan bijaksana, tetapi juga bertenaga (sehat, kuat dan energik) serta memiliki banyak kiat untuk mewujudkan visi dan misi mereka itu. Flores, Nagaekeo pada khususnya adalah medan yang berat dan bergunung-gunung. Tidak cukup bupati hanya berlalu lalang dengan mobil plat merah sambil menebar pesona.
Jangan sampai terjadi, orang Nagekeo, sama seperti warga di kabupaten lain merayakan pesta demokrasi dan memilih bupati, tetapi setelah lima tahun, kabupaten lain kian maju, sementara Nagekeo tetap berjalan di tempat.
Kalau begini yang terjadi, maka syair bernada sinis dari masyarakat adat Ute Toto patut dikumandangkan kembali: kema uma, kita sama-sama. Ata urha todu, kita derha tapha. Kei moke, kita lai mogha, ata didi deko, kita wado bogha. (Kita sama-sama berkebun dan bercocok tanam, kebun orang disirami hujan (sehingga panen berlimpah), punya kita diterpa kemarau panjang (sehingga tak menghasilkan apa-apa). Mengiris tuak kita juga suka, orang lain membawa bambu penuh arak ke rumah, kita pulang melenggang dengan tangan hampa).
Post a Comment