Seperti yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes dan Jhon Locke sebelumnya tentang
keadaan manusia yang dikenal dengan istilah State
of Nature (Keadaan Alamiah). Dalam
pandangan Rousseau keadaan alamiah adalah keadaan non-sosial, ketika manusia,
yang dalam banyak hal masih mirip dengan binatang, tanpa akal maupun bahasa,
hidup terpisah dari sesamanya. Manusia alamiah menurut Rousseau tidak baik dan
tidak buruk, tidak egois dan tidak altruis;
ia hidup dengan polos dan mencintai diri secara spontan. Ia juga bebas dari
segala wewenang orang lain dan karena itu secara hakiki sama kedudukannya. Satu
kesimpulan penting yang ia tegaskan dalam bukunya ini kemudian, bahwa
ketidaksetaraan antar manusia bersumber dan disebabkan oleh masyarakat dan
negara. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang menjadi dasar argumentasi Rousseau
sampai pada kesimpulan itu?.
Mulai
dari awal, bagi Rousseau yang paling kuno tentang semua masyarakat, dan
satu-satunya yang alami, adalah keluarga: bahkan agar anak tetap melekat pada
ayahnya hanya selama mereka membutuhkan dia preservasi mereka. Begitu kebutuhan
ini berhenti, ikatan alami dibubarkan. Anak-anak, dibebaskan dari ketaatan
mereka berutang kepada ayah, dan ayah, dibebaskan dari peduli ia berhutang pada
anak-anaknya. Jika mereka tetap bersatu, mereka terus sehingga tidak lagi
alami, tetapi secara sukarela; dan keluarga itu sendiri kemudian dipertahankan
hanya oleh konvensi. Keluarga kemudian dapat disebut model pertama dari
masyarakat politik, penguasa sama dengan seorang ayah, dan masyarakat seperti anak
dan semua, dilahirkan bebas dan sama, mengasingkan kebebasannya hanya untuk
keuntungan mereka sendiri. Seluruh perbedaan adalah bahwa, dalam keluarga,
cinta ayah untuk anak-anaknya hanya untuk merawat hingga mereka mencapai usia
dewasa, sementara, di Negara, penguasa tidak memiliki hak atas orang yang ada
dibawahnya. Negara hanya mengatur kehidupan masyarakat umum, sedangkan utuk
menentukan pilihan, masyarakat mengambil keputusannya sendiri.
Sama
dengan dua pendahulunya, Rousseau memulai teorinya dengan menunjukkan sifat
kodrati manusia. “Man is born free”[2],
demikianlah penilaian Rousseau terhadap setiap pribadi manusia. Setiap
orang diciptakan dengan kodrat yang sama dan memiliki kebebasan. Dalam keadaan
alamiah, kebebasan diartikan dalam dua arti, yakni ia dapat bertindak mengikuti
perasaan hatinya; dan ia tidak berada di
bawah kekuasaan orang lain sehingga memiliki hak yang sama dengan mereka. Dalam
keadaan ini pula, tindakan manusia didasarkan pada ‘egosime’ (amour de soi), dan rasa ‘belas kasihan’
(commiseration) pada sesamanya, yang
dalam hal ini merupakan naluri-naluri dasar yang tertanam secara alamiah dalam
diri manusia[3].
Namun, keadaan jaman yang terus bergulir membuat manusia jatuh kepada egoisme.
Ketika manusia menjadi egois, ia tidak akan lagi mengindahkan orang lain.
Kehendak dan kepentingannyalah yang harus dikedepankan. Ketika hal itu terjadi
pada banyak sekali manusia, maka yang ada adalah persaingan untuk saling
memenuhi kepentingan pribadi.
Rousseau
berpendapat bahwa yang ada pada masanya itu ialah body of politics belum sebagai negara. Kemudian juga terdapat voluntary general atau kehendak umum,
dimana merupakan kesadaran seutuhnya terhadap komunitas. Rousseau juga
berpendapat bahwa manusia itu baik, bebas merdeka, namun dapat menjadi buruk
ketika menjadi body of politics, dimana
bahwa semua properti milik manusia semua, namun manusia tidak dapat mengklaimnya.
Manusia menjadi serakah dan mengejar kemewahan ketika pada masa pemerintahan
gereja dan monarki. Ketika manusia memasuki fase itu, yakni egoisme, mereka
akan kehilangan sifat kodratinya. Oleh karena itu, Rousseau menggagas suatu
pemikiran yang dinamakan “Retournous a la
nature!” (kembai ke alam). Artinya, manusia hendaknya kembali pada kodrat
alamiahnya.
Rousseau
membantah anggapan bahwa lahirnya pemimpin politik merupakan akibat dari hak
alami yang paling kuat untuk menguasai sesamanya yang lebih lemah. Sebab, tanpa
penerimaan yang dikuasai untuk wajib menuruti yang terkuat, kekuasaan pemimpin
politik akan bersifat sangat sementara. “Begitu orang bisa membangkang tanpa
dihukum, orang dapat melakukannya secara sah, dan karena si terkuat selalu di
pihak yang benar, maka yang harus diusahakan adalah menjadi si terkuat itu,”
tulis Rousseau (Hal 5). Tanpa merubah kekuatan menjadi hukum dan ketaatan
menjadi kewajiban, orang yang kuat tidak cukup untuk selalu menjadi pemim
Rousseau
juga membantah anggapan ahli hukum Belanda Grotius (1583-1645) yang menyebutkan
kekuasaan raja berasal dari alienasi kebebasan pribadi untuk menjadi subyek
seorang raja. Menurut Rousseau, alienasi semacam itu tidaklah mungkin terjadi
karena rakyat tidak memiliki alasan kuat untuk melakukan itu. Rousseau
membantah dengan alasan, tidak akan ada keuntungan diterima rakyat dari menyerahkan
diri secara cuma-cuma. Terlebih, banyak raja rakus gemar berperang dengan
mengorbankan rakyat untuk kekuasaan, harta, dan kejayaan mereka. “Mengatakan
bahwa manusia memberikan dirinya secara cuma-cuma, sama dengan mengatakan
sesuatu yang absurd dan mustahil. Akta seperti itu tidak sah dan tidak berlaku”.
Gagasan
selanjutnya agar dapat memperoleh kembali kebebasan dan kesamaan hak manusia
adalah dengan mendirikan negara yang berdasarkan “kontrak sosial”[4].
Kontrak sosial didasarkan atas kehendak bebas yang dimiliki oleh setiap
individu. Menurut Rousseau bahwa setiap manusia tidak akan mampu bertahan hidup
jika ia tetap pada cara hidup lama. Ia harus bekerja sama dengan orang lain
agar mampu bertahan hidup. Oleh karena itu, perlu diadakan kesepakatan diantara
manusia-manusia itu. Dari kesepakatan-kesepakan itu akan diketahuilah kehendak
umum (volonte generale) dari kumpulan orang-orang itu. Kehendak umum
adalah kehendak bersama semua individu yang mengarah kepada kepentingan
bersama. Dari kehendak umum itu, kemudian setiap orang membuat perjanjian
diantara mereka yang berkenaan dengan kepentingan bersama. Perjanjian itulah
yang disebut sebagai kontrak sosial. Kontrak sosial berarti setiap individu
memberikan dirinya sepenuhnya, sehingga kondisi tiap pribadi mejadi sama.
Apabila setiap orang memberikan diri sepenuhnya untuk umum, tidak akan lagi
dijumpai individu yang berdiri sendiri.
Dengan
uraian itu, Rousseau menggambarkan kontrak sosial merupakan sebuah ikatan
penyerahan semua orang untuk semua orang. Kontrak sosial itu kemudian
melahirkan kedaulatan (sovereign).
Kedaulatan ini merupakan bentukan dari penyerahan anggota-anggota komunitas
politik dan selanjutnya mencerminkan kehendak umum. Kekuasaan kedaulatan
merupakan pengejawantahan dari kehendak umum dan tidak dapat dialihkan. Dengan
kata lain, kedaulatan mutlak berada di tangan rakyat dan tidak bisa
dipindahkan. Kedaulatan juga tidak dapat bersumber dari Tuhan, institusi agama,
ataupun sumber selain rakyat. Rakyat merupakan sumber kedaulatan tertinggi. Kedaulatan
hanya dapat mengambil keputusan secara umum tentang hal umum.
Untuk
menghadapi realitas yang ada di hadapan Rousseau maka dia memandang
diperlukannya suatu institusi negara yang dapat menjamin dengan sungguh-sunguh
akan kebebasan setiap warga negara. Dalam hal ini antara kehendak negara dengan
kehendak warganya tidak ada perbedaan ataupun pertentangan, melainkan ditandai
oleh suatu identitas di mana spontanitas alamiah manusia tidak dipatahkan,
melainkan ditampung. Dengan keadaan seperti itu individu yang masuk kedalam
negara itu tidak kehilangan apa-apa dari individualitas alamiahnya. Sarana
untuk merancang negara yang ideal menurutnya adalah paham kehendak umum
Dengan
penggambaran sebagaimana telah dikemukan maka adanya identitas individu
masyarakat dan identitas negara akan teratasi dengan baik. Menurut keterangan
ini manusia itu secara keseluruhan memasukkan dirinya ke dalam negara tanpa
hilangnya sama sekali kebebasan dan kepolosan manusia itu. Keadaan yang seperti
adanya kontras antara kepentingan negara dengan keadaan akan kebebasan
individual manusia dapat teratasi dengan adanya suatu mekanisme yang mengatur
supaya tidak bersentuhan antara keduanya. Mekanisme ini diatur oleh Rousseau
dengan cara yang ideal yaitu pelepasan total manusia ke dalam negara. Rakyat
tetap berdaulat sepenuhnya di mana kedaulatannya itu tidak diserahkannya kepada
negara tetapi tetap menjadi miliknya yang hakiki. Masyarakat dapat menjalankan
kebebasannya sepenuhnya berada dalam ikatan adanya suatu negara tanpa ada pambatasan
yang dilakukan oleh negara.
Dengan
alasan yang seperti ini Rousseau menolak adanya lembaga perwakilan rakyat. Dia
berpendapat bahwa kedaulatan itu tidak dapat diwakilkan dengan cara apapun
juga. Setiap bentuk perwakilan sebagaimana yang dihasilkan dalam pemilihan umum
dengan sendirinya sudah mencampuri identitas dengan memasukkannya ke dalam
kehendak negara yang dengan demikian terdapat keterasingan yang dialami oleh
individu tersebut. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya sistem perwakilan
langsung sebagaimana yang terdapat di Yunani Kuno. Undang-undang dan segala
kebijaksanaan yang berkenaan dengan negara diputuskan secara bersama-sama dalam
suatu pertemuan yang dihadiri oleh seluruh masyarakat. Upaya yang seperti ini
memungkinkan kebebasan dari setiap orang itu dapat dibatasi karena mereka
mempunyai kehendak dan kebebasan yang sama-maka kehendak itu perlu disalurkan
dengan bebas. Untuk itu, Rousseau secara implisit menolak
pendirian berbagai partai politik dalam sebuah kedaulatan. Masyarakat juga bisa
tidak dapat melihat kehendak umum ketika ia tidak mendapatkan informasi yang
cukup. Keterbatasan akses informasi menipu anggota komunitas politik sehingga
mengesankan kehendak pribadi atau golongan sebagai kehendak umum.
Kehendak
umum merupakan kepentingan bersama dan maka tidak bergantung pada jumlah suara.
Dengan begitu, kehendak umum tidak memihak satu atua kelompok lain. Rousseau
beranggapan, ”Kehendak umum harus dihasilkan oleh semua orang, agar dapat
berlaku bagi semua orang”. Karena bersifat untuk kepentingan umum, anggota
komunitas politik wajib memenuhi kehendak. Rousseau menggambarkan kelebihan
gagasan kedaulatan rakyat itu sebagai berikut; “Bukan konvensi antara atasan
dengan bawahan, melainkan konvensi antara suatu korps dengan setiap anggotanya.
Konvensi tersebut sah, karena dasarnya kontrak sosial; adil, karena berlaku
bagi semuanya; berguna, karena tujuannya tak lain adalah kebaikan bersama; dan
kokoh, karena dijamin oleh kekuatan umum dan kekuasaan tertinggi”.
Negara
yang tidak lain merupakan penjelmaan kehendak umum itu haruslah merupakan
negara yang pemerintahannya (para magistrat dan pri agung dalam istilah khusus
Rosseau) dibentuk bersama-sama oleh rakyat dan kemudian hadir untuk mengurus
kepentingan umum. Pemerintahan itu bukan bagian dari peserta kontrak sosial,
melainkan alat yang dibentuk untuk melayani kehendak rakyat sekaligus
melaksanakan kehendak umum. Itulah Republik (Res Publica = “Urusan Umum”), satu-satunya bentuk negara yang
kekuasaannya sah menurut Rousseau, bukan hanya karena disepakati oleh rakyat
atau karena disimpulkan oleh semua teori lain yang sebelum kontrak sosial.
Melainkan lebih mendasar lagi, karena kekuasaannya bersumber dari rakyat.
Republik dengan demikian merupakan penjelmaan dari kedaulatan rakyat. Dan
karena rakyat itu berdaulat, maka sekali lagi, negara harus menjadi urusan
seluruh rakyat.
Bagi
Rousseau kedaulatan rakyat itu melahirkan dua implikasi yang ujungnya seperti
saling menegasikan. Di satu sisi adalah penolakan terhadap segala wewenang
diatas rakyat yang bukan berasal dari rakyat, tapi di sisi lain adalah tuntutan
agar segala kekuasaan yang ada harus identik dengan kehendak rakyat. Implikasi
yang pertama tentu bukan persoalan, karena begitulah sejatinya dasar faham
republikan. Tetapi implikasi yang kedua menjadi persoalan, karena tesis bahwa
“kekuasaan harus identik dengan kehendak rakyat” berarti terjadi proses
identifikasi total antara kehendak rakyat dengan kehendak negara. Individu,
bahkan rakyat secara keseluruhan secara total masuk kedalam negara.
Pada
titik ini Rousseau dengan sadar telah menganjurkan secara tegas faham
Totalitarisme negara sebagaimana diuraikannya pada Bab VI Pakta Sosial (Buku
Pertama), bahwa dalam pakta sosial warga negara melakukan alienasi total kepada
masyarakat; masing-masing mengalienasi diri tanpa syarat sehingga kondisinya
menjadi sama bagi semua. Karena kondisinya sama bagi semua, maka tak seorangpun
berkepentingan untuk membuatnya menyusahkan orang lain. Kehendak umum yang
dimaksudkan oleh Rousseau adalah kehendak
yang disuarakan oleh mayoritas. Suara atau keputusan mayoritas adalah
kehendak umum yang didapat melalui voting. minoritas adalah individu-individu
yang sangat mungkin tidak sependapat dengan suara mayoritas dalam urusan-urusan
publik. Bagi Rousseau gejala ini tidak boleh dibiarkan terjadi untuk menjamin
terjaganya kemurnian kehendak bersama atau kepentingan umum itu. Jika terjadi,
dan ini tentu sangat mungkin dan lumrah dalam masyarakat plural, kaum minoritas
harus dipaksa untuk mengikuti kehendak bersama atau kehendak mayoritas. Caranya
adalah dengan “mendidik” minoritas sedemikian rupa sehingga mereka bisa
menerima kehendak bersama. Jika individu-individu itu tetap membangkang,
prinsip totalitarisme Rousseau membuka kemungkinan bagi tindakan paksa oleh
negara, jika diperlukan hingga batas yang paling mengerikan : pengusiran atau
penyingkiran.
Dalam
kaitan “mendidik” kaum minoritas inilah, dalam bukunya Rousseau menguraikan tentang Agama Sipil. Hal pertama yang harus
segera dikemukakan dalam konteks relasi negara-agama Rousseau ini adalah, bahwa
ia tidak setuju dengan pemisahan antara agama dengan kekuasaan politik.
Rousseau kemudian menguraikan tiga jenis karakteristik agama. Pertama agama yang bersifat individual,
yang semata-mata hanya berurusan dengan ibadah ritual berupa pemujaan terhadap
Tuhan. Kedua agama sosial yang dianut
oleh seluruh rakyat, penganut agama ini menyembah Tuhan dari bangsanya sendiri.
Ketiga agama menurut Rousseau, agama
ini mengajarkan kepatuhan dan loyalitas ganda, yakni kepada dua undang-undang,
dua tanah air dan dua kewajiban. Dalam kerangka relasi negara-agama, kesemua
agama itu buruk dalam pandangan Rousseau. Yang pertama buruk karena agama jenis
ini bertentangan dengan jiwa sosial; menjauhkan penganutnya dari kehidupan politik
sebagai warga negara. Yang kedua buruk karena agama jenis ini mempersatukan
pemujaan Tuhan dengan kecintaan kepada undang-undang. Yang ketiga paling buruk
karena agama jenis mengajarkan rakyat untuk setia dan patuh pada agama dan
negara sekaligus. Karena semua jenis agama itu buruk dalam pandangan Rousseau,
maka ia menyarankan varian keempat agama yang disebutnya sebagai Agama Sipil (La Religion Civile). Dalam pikiran
Rousseau, agama sipil adalah agama yang dapat membangkitkan spirit bersama
warga negara sekaligus menjadi inspirasi bersama untuk membangun
kebaikan-kebaikan kolektif, dan tidak mempersoalkan bentuk keyakinan theologis
dari masing-masing agama. Rousseau melihat gagasannya tentang agama sipil ini
penting untuk “mendidik dan menyadarkan” terutama kaum minoritas tadi agar
mereka secara sadar dan sukarela masuk kedalam kehendak bersama, menyesuaikan
diri dengan kehendak umum, dan tidak menjadi para penyimpang yang akan
mengganggu kemurnian kehendak umum itu.
Dalam
pandangannya, Rousseau berangkat dari situasi alami manusia. Rousseau
menggambarkan manusia alami dengan sangat mulia. Istilah ini mirip dengan
gambaran tentang kaum tak beradab yang mulia (noble savage). Manusia alami ini tidak mengenal bahasa karena bukan
merupakan bagian dari kehidupan sosial peradaban. Selain itu, ia tidak mengenal
moralitas baik dan buruk karena kehidupannya sekedar menghindari rasa sakit.
Manusia alami juga tidak mengenal kepemilikan karena ia menggunakan sumber daya
secukupnya untuk memenuhi kebutuhan. Gagasan manusia yang mulia ini sekaligus
membantah gagasan pemikir sebelumnya, Thomas Hobbes, yang mengangap manusia
pada dasarnya jahat. Hobbes merumuskan keadaan alami sebagai Bellum Omnium Contra Omnes atau
peperangan semua orang melawan semua orang. Rousseau bagaimanapun menolak
anggapan manusia alami sebagai fakta sejarah. Ia lebih menganggap itu sebagai
hipotesa semata.
Rousseau
tidak menjelaskan lebih jelas tentang apa itu kehendak umum. Tapi disebutkan
bahwa kehendak umum adalah sebuah kehendak yang dimiliki oleh negara sebagai
pribadi publik. Negara (lembaga politik) tentunya mempunyai kehendaknya sendiri
yang selaras dengan kehendak setiap anggotanya, hal ini mudah dimengerti jika
memahami sistem politik yang dikemukakan oleh David Easton. Dimana negara
berhak mengambil atau membuat kebijakan atau keputusan yang berkaitan dengan
kepentingan umum jika tidak adanya input
dari masyarakat, hal ini dinamakan withinput.
Seperti sudah disebutkan di bahasan kontrak sosial, kehendak umum adalah fondasi
awal mengapa orang mau membangun negara. Kehendak ini adalah segala bentuk
kehendak yang mengacu kepada kepentingan umum. Nilai kebenarannya dapat dilihat
secara moral, apabila suatu kehendak itu benar secara moral masyarakat maka
bisa jadi itu kehendak umum. Makna kehendak umum jangan disalahartikan dengan
deliberasi masyarakat. Kehendak umum sendiri selalu mengacu kepentingan umum
sementara deliberasi massa bisa disebut kehendak semua. Karena dalam
kenyataannya, hasil dari deliberasi massa hanyalah sebuah kehendak yang
merupakan kumpulan kehendak khusus.
Tapi
terkadang kebaikan yang sesungguhnya tidak bisa dilihat masyarakat secara
jernih akibat kurangnya informasi yang didapat. Harus diakui dalam dunia nyata,
banyak “pihak kepentingan” yang dapat dengan mudah menggunakan kuasanya untuk
mengolah info yang berkembang di masyarakat. Sebagai contoh, media massa yang
berperan besar dalam memberikan informasi pada masyarakat dewasa ini sudah
terjerat oleh kepentingan gurita-gurita bisnis kaum jetset. Hal ini juga akan memengaruhi kehendak masyarakat. Teori badan artifisial negara dari Rousseau
sedikit berbeda dengan Platon. Platon menurut Schmandt terkesan memberikan
kelas (strata) sosial dimana kelas tertinggi diduduki filsuf sebagai kepala
negara dan diibaratkan kepala dari badan artifisial negara diikuti kaum
prajurit dan produsen[5].
Rousseau dalam hal ini masih berpegang teguh pada prinsip persamaan, setiap
anggota dari negara berkedudukan sama karena negara berdiri diatas kehendak
umum. Konsep kontrak sosial ini sesungguhnya melahirkan sebuah kesulitan
tersendiri, karena di satu sisi rakyat tetap dijamin kebebasannya namun di lain
sisi rakyat harus tunduk pada pada kontrak sosial.
Kelemahan
dari Rousseau dalam pemikirannya adalah
lupa akan sifat alami manusia, yaitu ketidakpuasan dan serakah. Pemikiran yang
terlalu positif yang dikemukakannya berpendapat bahwa pasca adanya kehendak
umum dari rakyat yang diwujudkan dalam kontrak sosial, apakah 2 sifat alami
manusia itu hilang?. Serakah dan ketidakpuasan memang bisa dikntrol oleh orang
lain asalkan sifat ini tidak dimiliki oleh mayoritas kelompok masyarakat
berpengaruh. Namun Rousseau menyarankan adanya
sistem totaliterisme hingga terbentuk dan bersatunya kehendak umum
barulah dibubarkan sistem ini, namun karena adanya 2 sifat inilah kemungkinan
sistem totaliterisme atau paling tidak oligarkis akan menjadi sangat lama atau
tidak bisa dihilangkan. Kehendak umum sudah ada sejak terbentuknya masyarakat
sosial, yaitu keamanan dan kesejahteraan namun tidak ada satupun sistem negara
maupun pemerintahan yang mampu terbebas atau mewujudkan cita-cita Rousseau.
Rousseau lebih tonjol pada bagaimana usaha atau proses membentuk negara ideal
yang didasarkan pada kehendak umum, namun tidak menjelaskan secara lanjut seperti
apa negara idamannya dan bagaimana caranya menata berbagai macam kepentingan,
bukan hanya kebutuhan rakyat.
Fakta
lain yang diperoleh adalah baik Rousseau, Montesquieu, maupun Hobbes, mengakui
kalau manusia sebagai unsur terpenting dalam kehidupan sosialnya ternyata juga
merupakan penyebab utama rusaknya sebuah kelompok sosial politik yang mereka
buat sendiri. Ambisi telah membuat manusia menyelewengkan kekuasaan. Kembali lagi
semuanya gara-gara manusia. Sebenarnya dalam buku Discourse on the origin
and foundation of inequality yang ditulis Rousseau 7 tahun sebelum Du
contract sosial, manusia purba yang hidup primitif memiliki keadaan alamiah
yang baik. Berbanding terbalik dengan manusia modern. Mereka yang hidup dekat
dengan alam hari-harinya dipenuhi dengan kesederhanaan, kebahagiaan dan
ketenangan. Dalam keadaan primitif ini, manusia hanya menggunakan naluri maka
dari itu mereka tidak memiliki hasrat yang melebihi kebutuhan fisik. Bandingkan
dengan manusia modern yang rakus dan tamak. Manusia primitif punya dua insting
yaitu self-preservation dan pitie (simpati atau rasa kasihan atas
penderitaan orang lain) dengan kesadaran untuk membentuk komunitas dan
kemunculan teknologi. Keadaan primitif ini kian memudar digantikan rasionalitas
yang membawa sikap penuh curiga, self-seeking, hilangnya simpati, egoisme
sempit dan masih banyak lagi. Akibat hilangnya insting simpati (pitie)
ini manusia menjadi haus kekuasaan.[6]
Banyak
negara yang menggunakan gagasan Rousseau yakni menetapkan sistem pemerintahan
yang demokratis. Namun, sebaik-baiknya pikiran manusia, pasti ada kelemahan di
dalamnya. Dalam penerapannya, demokrasi menjunjung tinggi suara dan aspirasi
rakyat banyak. Dengan demikian diusahakan bahwa yang menjadi arah kebijaksanaan
pemerintaan adalah demi banyak orang. Namun, tindakan itu bisa dinilai kurang
adil. Setiap warga negara berhak untuk mengeluarkan pendapat dan dibela
hak-haknya. Negara bukanlah milik mayoritas, tetapi juga minoritas. Sistem
pemerintahan demokrasi seharusnya tidak mengedepankan pendapat mayotitas, namun
juga minoritas. Ciri-ciri negara demokrasi yang ideal adalah: Kedaulatan
rakyat; pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; kekuasaan
mayoritas; hak-hak minoritas; jaminan hak asasi manusia; pemilihan yang bebas
dan jujur; persamaan di depan hukum; proses hukum yang wajar; pembatasan
pemerintah secara konstitusional; pluralisme sosial, ekonomi, dan politik; nilai-nilai tolerensi, pragmatisme,
kerja sama, dan mufakat.
Tetapi dalam kenyataanya tidak akan
semua orang menyetujui suatu kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah
dari suatu negara. Menurut Rousseau keadaan ini akan dapat mengancam konstruksi
negara secara keseluruhan. Untuk tujuan itu ada dua masalah yang hendak
dipecahkannya, yakni : Pertama, bahwa
bagaimana fakta ketidak sepakatan itu dapat diatasi sehingga kehendak negara
tetap satu. Kedua, bagaimana fakta
ketidak sepakatan itu dijelaskan dalam teorinya. Untuk itu dia berupaya memberi
penjelasan bahwa kehendak umum muncul dalam kehendak mayoritas. Kalau ada
pertentangan dalam kehendak maka yang lebih diutamakan adalah kehendak urnum di
mana kehendak umum itu ditafsirkan sebagai kehendak mayoritas pendapat ini
merupakan kelemahan utama dari teorinya, karena dengan demikian pendapat kaum minoritas
tidak diperhatikan atau tertampung lagi. Padahal untuk keadaan seperti ini dia
menolak dengan tegas akan kebebasan warga negara di mana tak seorangpun warga
negara itu tidak tertampung kehendaknya dalam negara sehingga tak setuju juga
dengan konsep perwakilan, karena kedaulatan tidak dapat diwakilkan kepada
siapapun juga.
Dengan demikian terlihat adanya
kontradiksi yang besar dalam faham kebebasan ini. Dia rnelihat kebebasan yang
diperoleh dari alam hendaknya dipertahankan terus di lain pihak dikatakannya
juga bahwa negara sebagai suatu kondisi yang tak dapat dihindarkan, sehingga
wujud kebebasan yang diinginkan dengan terbentuknya negara itu semakin kabur. Benar
bahwa vox populi, vox Dei (suara
rakyat adalah suara Tuhan) adalah buah dari teori “kontrak sosial” dari JJ
Rouseau. Yang menjadi masalah pada masa kini bahwa, suara rakyat tidak lagi
merupakan suara Tuhan. Suara rakyat pada masa kini banyak dilatar belakangi
oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Lalu bagaimana agar buah dari
teori kontrak sosial ini kembali berarti seperti semula yakni, suara rakyat
adalah suara Tuhan?, Jawabannya tidak lain juga terdapat dalam gagasan Rousseau
sendiri. Gagasannya tentang kembali ke alam (retournous a la nature) kiranya dapat menjadi pemecahannya. Dalam
gagasan ini manusia kembali pada keadaan alamiah (etat de nature). Dalam keadaan ini manusia adalah seorang
penyendiri. Ia hidup sederhana dalam keselarasan dengan lingkungan alam.
Manusia yang bebas ada dua arti yaitu, ia tidak bertindak mengikuti perasaan
hatinya; dan ia tidak berada di bawah kekuasaan orang lain, sehingga memiliki
hak yang sama dengan mereka[7].
DAFTAR
PUSTAKA
Rousseau, J.J.
1987, The Social Contract and Discourses,
editor: Ernest Rhys, London: Aldine House Bedford.
Rousseau, J.J.
1968. The Social Contract, Translated
Maurice Cranston. Maryland; Penguin Books.
Schmandt, Hendri
J. 2002, Filsafat Politik, Terjemahan Ahmad Baehaqi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tjahyadi, Simon
Petrus. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta:
Kanisius.
[1] Rousseau, J.J. 1968. The Social Contract, Translated Maurice Cranston.
Maryland; Penguin Books.
[2]
JJ Rousseau, The Social Contract and
Discourses, editor: Ernest Rhys, London: Aldine House Bedford, 1913. hlm. 3.
[3]
Simon Petrus L Tjahyadi, Petualangan
Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004. hlm. 260.
[4]
Ibid, hlm.263
[5] Hendri J. Schmandt. Filsafat
Politik, Terjemahan Ahmad Baehaqi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. hlm.
64.
[6] Ibid., hlm. 392.
Post a Comment