Selain ikan, siput, lobster dan kepiting
yang merupakan hasil buruan laut, masyarakat di kecamatan Nangaroro
juga mengais rejeki guna menambah penghasilan dengan mencari nener.
Berbeda halnya dengan ikan, udang, atau kepiting yang dijual dan
dijadikan lauk pauk, nener hanya dijual kepada penadah dalam keadaan
hidup.
Nener sangat mudah ditemukan di lautan
yang dangkal atau di pinggiran muara sepanjang pantai Nangaroro.Nener
adalah bakal dari ikan bandeng dengan ukuran yang sangat kecil,
kira-kira seukuran jentik nyamuk. Setiap saat penadah membutuhkan
bibit-bibit ikan bandeng tersebut, kami mulai ramai berbondong-bondong
membawa alat penangkap tradisional menuju pantai mencari dan
mengumpulkan nener sebanyak mungkin.
Nener memang lebih mudah ditangkap
dengan perlengkapan tradisional. Alat tradisional yang kami gunakan
untuk menangkap nener adalah rangkaian jaring berlubang kecil yang
dijahit menyatu dengan dua batang bambu dengan dua bola plastik sebagai
pelampungnya. Di ujung jaring disambungkan dengan karung bekas yang
dilapisi plastik sehingga tidak ada celah bagi nener untuk lolos. Di
ujung karung juga diikat tali agar lebih mudah ketika memasukan hasil
tangkapan ke dalam wadah penampung. Hampir semua warga masyarakat di
kampung Nangaroro mengais rejeki tambahan tersebut, termasuk saya dan
keluarga.
Ayahku sangat pandai membuat jaring
penangkap nener dengan ukuran yang berbeda-beda. Untuk anak seusia saya
dan kakak yang masih duduk di SMP saat itu ayah mendesain jaring dengan
ukuran yang lebih kecil, sedangkan bagi mereka dibuat ukuran yang lebih
besar.
Setiap kali liburan sekolah atau hari
sabtu dan minggu pemandangan pantai tidak hanya dipenuhi oleh para
orangtua melainkan juga anak-anak usia sekolah seperti kami.
Mencari nener dalam bahasa kami biasa
disebut dorong nener, karena proses yang dilakukan untuk mendapatkan
nener hanya mendorong jaring berpelampung bola plastik tersebut
menyusuri pinggiran laut berbusa akibat pecahan ombak. Nener yang
terperangkap ke dalam jaring tentu tidak bisa meloloskan diri karena
jaring akan digerakan sambil berjalan berlawanan dengan arah gerak
nener. Setelah merasa sudah banyak yang terperangkap maka jarring pun
diangkat lalu simpul tali pun dibuka dan dituangkan ke dalam wadah
penampung.
Nener yang dibutuhkan para penadah
adalah nener yang masih dalam kondisi segar dan hidup. Oleh karena itu,
wadah penampung yang dibutuhkan harus lebih dari satu. Kami biasa
menggunakan dua wadah besar untuk menampung.
Setelah nener-nener terperangkap jaring,
nener pun dimasukan ke dalam wadah pertama untuk memisahkanya dari
kotoran atau ikan-ikan kecil lain yang juga ikut terjaring. Nener yang
mati juga dibuang agar tidak berpengaruh pada nener-nener yang masih
hidup. Setelah itu, nener yang masih dalam kondisi segar dimasukan ke
dalam wadah penampung kedua yang berisi air tawar bercampur sedikit air
laut yang sudah bersih dari kotoran.
Sekali menjaring bisa sampai ratusan
ekor dan bahkan lebih bergantung pada cuaca dan kondisi air laut. Dalam
sehari saja bisa sampai puluhan ribu ekor nener hidup yang didapatkan
dan dijual kepada penadah.
Di Nangaroro saat itu terdapat dua rumah
penadah atau distributor kecil-kecilan. Menurut informasi dari para
penadah Om Simon dan Om Sinyo saat itu bahwa nener yang dibeli akan
dikirimkan ke Surabaya. Saat itu nener dihargai Rp.5 per ekornya.
Bayangkan saja dari satu orang pencari nener saja mengumpulkan hingga
puluhan ribu ekor per harinya, apalagi jika penadah membeli semua nener
dari sekian banyak pencari nener setiap harinya dengan harga yang bisa
dikatakan cukup murah. Para penadah tentu meraup keuntungan yang cukup
tinggi ketika menjual lagi ke tangan kedua atau ketiga di Surabaya.
Biasanya nener yang telah dibeli dari para pencari akan dimasukan ke
dalam tabung dari bahan plastik dengan ruang udara yang cukup agar nener
tidak mudah mati.
Kemungkinan besar pengiriman nener
melalui perjalanan laut dengan kapal penumpang atau kapal barang untuk
tiba di Surabaya. Para penadah di Surabaya menjual bibit bandeng
tersebut kepada pengrajin tambak ikan air tawar di Surabaya untuk
dikembangbiakan menjadi bandeng dewasa. Hanya butuh waktu sekitar tiga
sampai empat bulan nener-nener kecil tersebut tumbuh hingga menjadi
bandeng dewasa yang siap dipanen untuk dikonsumsi. Permintaan pasar
bandeng dewasa yang meningkat tentu mempengaruhi permintaan bibit ikan
tersebut.
Saat ini baru terpikir olehku, mengapa
ketika itu kami tidak membuat tambak bandeng sendiri? Jika
dipikir-dipikir logisnya adalah menangkap nener sendiri, dipelihara
ditambak sendiri hingga jadi bandeng dewasa lalu dijual dengan harga
sendiri. Soal pengalaman tentang ikan sudah tidak diragukan lagi,
mungkin karena minimnya SDM untuk memahami proses pemasaran. Oleh karena
itu pemerintah saat ini harus mampu melihat potensi SDA yang bisa
dikembangkan secara jujur di daerah sendiri.
Post a Comment