Sejumlah orang bersenjata yang mengaku sebagai tentara Kerajaan Sulu dari Filipina selatan memasuki daerah Lahad Datu di negara bagian Sabah, Malaysia. Setelah lebih dua pekan mereka dikepung pihak keamanan Malaysia, terjadi bentrok dan kontak senjata yang menewaskan dua polisi Malaysia dan 12 tentara Sulu. Ada apa sebenarnya?
Seperti laga dalam film di layar lebar, dengan penuh keberanian, sekitar 100-300 warga Filipina Selatan yang mengaku sebagai penerus Kesultanan Sulu datang di kawasan Lahad Datu, Sabah, 9 Februari lalu. Mereka mengklaim wilayah itu sebagai bagian dari Kesultanan Sulu, dengan membawa sejumlah dokumen dari 1800-an, sebelum kolonialisme Barat meruntuhkan kerajaan Muslim di Filipina Selatan itu.
Para penyusup, yang sebagian bersenjata itu, kemudian dikepung aparat keamanan Malaysia. Pemerintah Malaysia dan Filipina sudah mengimbau mereka untuk segera kembali ke tempat asal mereka, tetapi imbauan itu diabaikan.
Sebanyak 12 pengikut Sultan Sulu Jamalul Kiram III yang ikut bertempur melawan pasukan Malaysia dan tewas dalam bentrokan itu. Dua tentara Malaysia juga tewas. Orang-orang Kiram itu pergi ke Sabah tiga pekan lalu untuk mengklaim negara bagian Malaysia yang kaya minyak dan mineral itu.
Malaysia memperingatkan jika sisa-sisa pengikut Kiram tidak menyerah, mereka harus menghadapi konsekuensi yang tidak diinginkan. Orang-orang Sulu itu berbekal memori sejarah, warisan masa lalu dari kebesaran Islam di Sulu.
Tidak hanya belasan orang Sulu itu, sebab sejatinya sudah ratusan warga Filipina itu mengaku datang ke Sabah atas perintah Sultan Jamalul Kiram III. Kiram (74) mengaku sebagai penerus takhta Kesultanan Sulu yang dulu pernah menguasai kawasan selatan Filipina dan sebagian Pulau Kalimantan.
Kekuasaan kesultanan itu pudar sejak seabad silam, dan kini wilayah Sulu menjadi bagian dari negara Filipina dan Malaysia. Meski demikian, Pemerintah Malaysia masih terus membayar sejumlah uang kepada penerus kesultanan itu sebagai kelanjutan perjanjian sewa wilayah sejak era kolonial Inggris. Kolonialisme Barat telah meruntuhkan kebesaran Kesultanan Sulu yang Muslim. Pertumpahan arah pekan lalu itu adalah efek lanjutan dari kolonialisme di masa lalu.
Juru bicara Kiram, Abraham Idjirani, menegaskan, warga Sulu itu akan tetap bertahan di Sabah. Idjirani mengatakan, kematian para pengikut Sultan itu justru memperkuat tekad mereka untuk terus mempertahankan hak-hak orang Filipina atas Sabah.
Anak perempuan Kiram, Jacel Kiram, menambahkan, ini adalah persoalan kehormatan.
"Mereka tak akan kembali ke sini karena kehormatan lebih berharga daripada nyawa. Apalah artinya hidup tanpa kehormatan?" tegasnya.
Orang-orang Sulu itu bergerak dengan ingatan sejarah di kepala mereka, mesti langkah itu salah.
Presiden Filipina Benigno S Aquino III sudah mendesak pengikut Sultan Sulu yang bersembunyi di Lahad Datu, negara bagian Sabah, Malaysia, menyerah tanpa syarat guna mencegah jumlah korban lebih banyak.
Benigno membuat imbauan itu dalam pernyataan yang dikeluarkan, Sabtu (2/3), setelah ia bertemu dengan beberapa anggota kabinet dan pejabat keamanan di Istana Presiden Malacanang untuk kedua kali sejak bentrokan di Sabah meletus pada Jumat pagi.
"Jika Anda memiliki keluhan, jalan yang Anda tempuh adalah salah. Dan memang, satu-satunya hal yang benar untuk Anda lakukan adalah menyerah," kata Aquino dalam imbauannya.
“Bagi mereka yang memiliki pengaruh dan kapasitas untuk alasan dengan orang-orang di Lahad Datu, saya meminta Anda untuk menyampaikan pesan ini: menyerah sekarang, tanpa syarat," tambahnya. Namun seruan Aquino itu masih diabaikan dari pertimbangan orang-orang Sulu yang ''hidup'' dari sejarah masa lalu.
Akibat konflik itu, ratusan TKI Indonesia yang bekerja di perkebunan Sabah terkena dampaknya. Konsulat Jenderal Republik Indonesia bekerja sama dengan Felda dan Kepolisian Daerah Sabah mulai mengungsikan pekerja sejak 12 Februari lalu. Dengan demikian, saat terjadi kontak senjata kemarin, tak ada seorang pun warga negara kita yang menjadi korban.
Walaupun mereka tidak bekerja hingga menunggu kondisi aman, gaji mereka diupayakan dibayar penuh. Sejumlah 600 pekerja ladang sawit yang mayoritas berasal dari Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur tersebut bekerja di Felda Sahabat Blok 17, tempat terjadinya kontak senjata. Jumlah seluruh perkebunan ada 52 blok dan pekerja Indonesia ada 8.000 orang. Namun yang bekerja di blok 17, tempat konflik, sebanyak 600 orang, dan semua sudah diungsikan.
Kembali pada kasus orang-orang Muslim Sulu itu, ada baiknya mereka meminta bantuan Indonesia untuk menengahi konflik itu, agar pertumpahan darah bisa dicegah.
Mantan Wapres M Jusuf Kalla, adalah negarawan potensial untuk memediasi konflik-konflik di Asia Tenggara (misalnya, Aceh, Thailand Selatan dan Rohingya Burma) dan ia sangat tepat jika memediasi konflik regional yang melibatkan kaum muslim di perbatasan antara Filipina dan Malaysia itu.
Ini tragedi akibat kolonialisme Barat di Asia Tenggara, terutama Sulu dan Filipina Selatan yang membekaskan luka sangat dalam, dimana konflik-konflik lokal timbul tenggelam. Harus ada dialog dan solusi damai, agar kekerasan karena berebut wilayah itu tidak menjadi bara dalam sekam.
Seperti laga dalam film di layar lebar, dengan penuh keberanian, sekitar 100-300 warga Filipina Selatan yang mengaku sebagai penerus Kesultanan Sulu datang di kawasan Lahad Datu, Sabah, 9 Februari lalu. Mereka mengklaim wilayah itu sebagai bagian dari Kesultanan Sulu, dengan membawa sejumlah dokumen dari 1800-an, sebelum kolonialisme Barat meruntuhkan kerajaan Muslim di Filipina Selatan itu.
Para penyusup, yang sebagian bersenjata itu, kemudian dikepung aparat keamanan Malaysia. Pemerintah Malaysia dan Filipina sudah mengimbau mereka untuk segera kembali ke tempat asal mereka, tetapi imbauan itu diabaikan.
Sebanyak 12 pengikut Sultan Sulu Jamalul Kiram III yang ikut bertempur melawan pasukan Malaysia dan tewas dalam bentrokan itu. Dua tentara Malaysia juga tewas. Orang-orang Kiram itu pergi ke Sabah tiga pekan lalu untuk mengklaim negara bagian Malaysia yang kaya minyak dan mineral itu.
Malaysia memperingatkan jika sisa-sisa pengikut Kiram tidak menyerah, mereka harus menghadapi konsekuensi yang tidak diinginkan. Orang-orang Sulu itu berbekal memori sejarah, warisan masa lalu dari kebesaran Islam di Sulu.
Tidak hanya belasan orang Sulu itu, sebab sejatinya sudah ratusan warga Filipina itu mengaku datang ke Sabah atas perintah Sultan Jamalul Kiram III. Kiram (74) mengaku sebagai penerus takhta Kesultanan Sulu yang dulu pernah menguasai kawasan selatan Filipina dan sebagian Pulau Kalimantan.
Kekuasaan kesultanan itu pudar sejak seabad silam, dan kini wilayah Sulu menjadi bagian dari negara Filipina dan Malaysia. Meski demikian, Pemerintah Malaysia masih terus membayar sejumlah uang kepada penerus kesultanan itu sebagai kelanjutan perjanjian sewa wilayah sejak era kolonial Inggris. Kolonialisme Barat telah meruntuhkan kebesaran Kesultanan Sulu yang Muslim. Pertumpahan arah pekan lalu itu adalah efek lanjutan dari kolonialisme di masa lalu.
Juru bicara Kiram, Abraham Idjirani, menegaskan, warga Sulu itu akan tetap bertahan di Sabah. Idjirani mengatakan, kematian para pengikut Sultan itu justru memperkuat tekad mereka untuk terus mempertahankan hak-hak orang Filipina atas Sabah.
Anak perempuan Kiram, Jacel Kiram, menambahkan, ini adalah persoalan kehormatan.
"Mereka tak akan kembali ke sini karena kehormatan lebih berharga daripada nyawa. Apalah artinya hidup tanpa kehormatan?" tegasnya.
Orang-orang Sulu itu bergerak dengan ingatan sejarah di kepala mereka, mesti langkah itu salah.
Presiden Filipina Benigno S Aquino III sudah mendesak pengikut Sultan Sulu yang bersembunyi di Lahad Datu, negara bagian Sabah, Malaysia, menyerah tanpa syarat guna mencegah jumlah korban lebih banyak.
Benigno membuat imbauan itu dalam pernyataan yang dikeluarkan, Sabtu (2/3), setelah ia bertemu dengan beberapa anggota kabinet dan pejabat keamanan di Istana Presiden Malacanang untuk kedua kali sejak bentrokan di Sabah meletus pada Jumat pagi.
"Jika Anda memiliki keluhan, jalan yang Anda tempuh adalah salah. Dan memang, satu-satunya hal yang benar untuk Anda lakukan adalah menyerah," kata Aquino dalam imbauannya.
“Bagi mereka yang memiliki pengaruh dan kapasitas untuk alasan dengan orang-orang di Lahad Datu, saya meminta Anda untuk menyampaikan pesan ini: menyerah sekarang, tanpa syarat," tambahnya. Namun seruan Aquino itu masih diabaikan dari pertimbangan orang-orang Sulu yang ''hidup'' dari sejarah masa lalu.
Akibat konflik itu, ratusan TKI Indonesia yang bekerja di perkebunan Sabah terkena dampaknya. Konsulat Jenderal Republik Indonesia bekerja sama dengan Felda dan Kepolisian Daerah Sabah mulai mengungsikan pekerja sejak 12 Februari lalu. Dengan demikian, saat terjadi kontak senjata kemarin, tak ada seorang pun warga negara kita yang menjadi korban.
Walaupun mereka tidak bekerja hingga menunggu kondisi aman, gaji mereka diupayakan dibayar penuh. Sejumlah 600 pekerja ladang sawit yang mayoritas berasal dari Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur tersebut bekerja di Felda Sahabat Blok 17, tempat terjadinya kontak senjata. Jumlah seluruh perkebunan ada 52 blok dan pekerja Indonesia ada 8.000 orang. Namun yang bekerja di blok 17, tempat konflik, sebanyak 600 orang, dan semua sudah diungsikan.
Kembali pada kasus orang-orang Muslim Sulu itu, ada baiknya mereka meminta bantuan Indonesia untuk menengahi konflik itu, agar pertumpahan darah bisa dicegah.
Mantan Wapres M Jusuf Kalla, adalah negarawan potensial untuk memediasi konflik-konflik di Asia Tenggara (misalnya, Aceh, Thailand Selatan dan Rohingya Burma) dan ia sangat tepat jika memediasi konflik regional yang melibatkan kaum muslim di perbatasan antara Filipina dan Malaysia itu.
Ini tragedi akibat kolonialisme Barat di Asia Tenggara, terutama Sulu dan Filipina Selatan yang membekaskan luka sangat dalam, dimana konflik-konflik lokal timbul tenggelam. Harus ada dialog dan solusi damai, agar kekerasan karena berebut wilayah itu tidak menjadi bara dalam sekam.
editor : Gian Tue Mali
Post a Comment