Oleh : Fransiskus X. Gian Tue Mali
gfrank25.gf@mail.com
Pemilihan umum sebagai
salah satu unsur penting demokrasi dalam usaha mewujudkan pemerintahan yang
dipilih oleh rakyat, dari rakyat, dan diharapkan pemerintahan yang dipilih
mampu bekerja untuk rakyat, merupakan perwujudan keikutsertaan rakyat dalam
aktivitas politik sebagai subjek dan juga objek politik. Pemilu juga diharapkan
sebagai wujud partisipasi rakyat untuk memilih pemimpin politik, pemimpin
lembaga negara baik eksekutif maupun legislatif baik di tingkat nasional maupun
daerah, merupakan representasi Hak Asasi rakyat dalam sistem demokrasi. Menurut
Robert Dahl, Pemilu merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu
pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilu menjadi suatu parameter dalam
mengukur demokratis atau tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi
sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu sistem politik dimana para
pembuat keputusan kolektif tertinggi di dalam sistem politik dipilih melalui Pemilu
yang adil, jujur dan berkala.
Pemilu di Indonesia
pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan yaitu DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD NRI Tahun 1945
pada tahun 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disepakati untuk langsung
dipilih oleh rakyat. Pilpres sebagai bagian dari rezim pemilu di adakan pertama
kali dalam pemilu Tahun 2004. Pada tahun 2007, berdasarkan undang-undang Nomor
22 Tahun 2007, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah juga dimasukkan
sebagai bagian dari rezim pemilu. Pemilukada sebagai turunan dari perwujudan
Pemilu tersebut tentu perlu mengedepankan nilai-nilai diatas. Sejak
dilangsungkannya Pemilukada pada tahun 2005, rakyat di daerah diberi hak
asasinya untuk memilih secara langsung kepala daerahnya sesuai dengan hati
nuraninya sendiri, asas one man one vote menunjukkan
diberinya hak yang sama bagi setiap individu untuk memilih. Suara seorang
tukang ojek di terminal Oebobo harganya sama dengan suara yang diberikan
seorang direktur perusahaan di gedung bertingkat, sama-sama dihitung satu. Suara
yang diberikan setiap individu menentukan siapa kepala daerah maupun wakilnya
untuk masa 5 tahun kedepan.
Nilai kesetaraan,
kejujuran, keadilan, hak asasi, dan partisipasi politik merupakan nilai-nilai
yang harus ada dalam Pemilu. Namun terkadang suara rakyat didengar dan dihargai
oleh elit politik hanya saat pemilu itu berlangsung. Termasuk di dalam
Pemilukada. Suara seorang mama tua di bawah kaki gunung Inerie dihargai begitu
tinggi oleh para elit politik pada saat Pemilu, namun ketika suara tersebut didapat
dan para elit menempati jabatan politis, suara mama tua tersebut tidak akan
pernah didengar lagi, apalagi dihargai. Mama tua di bawah kaki gunung Inerie
itu hanyalah miniatur kecil dari demokrasi di Indonesia selama ini. Ketika
pemilu berlangsung para elit dan agen-agen politiknya menyebar dari kampung ke
kampung mempromosikan paket calon kepala daerah yang diusungnya, mulai dari sosialisasi
persuasif, pendidikan politik, rayuan gombal penuh janji, hingga yang paling
buruk seperti aksi pemaksaan, isu SARA hingga praktek Money politics atau pemberian sembako hanya untuk mendapatkan suara
rakyat. Tetapi setelah pemilu selesai, suara-suara itu hanya ada di ruangan
kosong, diteriakan dijalan sekalipun tidak akan pernah didengar. Inilah
pengkhianatan terhadap nilai-nilai diatas.
Inilah perwujudan
demokrasi kita, demokrasi yang dilaksanakan hanya sebatas pada aspek prosedural
saja. Makna demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis.
Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat pemilih
dibutuhkan dan didulang hanya ketika pemilu datang. Pemilu termasuk Pemilukada merupakan sarana
bagi pemimpin yang terpilih untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat, oleh
karena itu ada tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi
politik bagi pemerintah yang berkuasa. Pertama,
melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui
kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu, pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku
rakyat. Tak mengherankan apabila menurut beberapa ahli politik aliran
fungsionalisme, pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi pemerintah untuk
meningkatkan respon rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, dan
pada saat yang sama memperkecil tingkat oposisi terhadapnya. Ketiga, dalam dunia modern para penguasa
dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan untuk
mempertahankan legitimasinya.
Setelah mendapatkan
legitimasi dari rakyat sebagai hasil pemilu maka pemimpin yang terpilih sudah
seharusnya mempertanggungjawabkan kepercayaan rakyat yang diberikan kepadanya
dalam bentuk menjalankan pemerintahan yang pro rakyat. Pro rakyat artinya terus
mendengarkan suara rakyat baik itu berupa keluhan, kritik, maupun saran yang
kemudian diwujudkan dalam bentuk kebijakan, program, dan keputusan. Karena
rakyat dan pemerintah adalah dua sisi mata uang yang tidak akan pernah
terpisahkan selama negara ini berdiri sebagai negara demokrasi, maka suara
rakyat adalah suara yang harus terus didengarkan dan dihargai, tidak hanya saat
pemilu saja, kemudian diartikulasikan oleh pemimpin terpilih. Suara rakyat
adalah beban yang harus dipikul, tanggungjawab yang harus diemban oleh setiap
orang yang mendapatkan suara mayoritas. Disinilah makna demokrasi itu
sesungguhnya.
Pemerintahan yang
demokratis dibangun diatas suara rakyat, dijalankan berdasarkan suara rakyat,
dan kembali kepada perwujudan dari suara rakyat itu sendiri. Oleh karena itu
tidak heran jika Jean Jacques Rousseau, pemikir Perancis pada masa Renaisance di Eropa, menyatakan bahwa Suara
rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi,
Vox Dei). Sehingga secara implisit demokrasi yang ingin dijalankan harus
mendengarkan suara rakyat, jika di dalam Agama suara Tuhan (wahyu) adalah
absolut, maka di dalam demokrasi suara rakyat adalah juga absolut, suara rakyat
adalah wahyu yang harus diterima oleh setiap pemimpin dan diejawantahkan dalam
kehidupan bernegara. Maka demokrasi yang didirikan bukanlah demokrasi yang
hanya berdasarkan peraturan atau prosedural semata dengan menghilangkan
susbtansi demokrasi itu sendiri.
Selamat kepada
masyarakat di Kab. Malaka, Kab. Belu, Kab. Manggarai Barat, Kab. Sumba Timur, Kab.
Manggarai, Kab. Ngada, Kab Sumba Barat, dan Kab Timor Tengah Utara yang pada
Rabu 9 Desember 2015 ini memilih para pelayan publiknya, tetap kawal demokrasi
agar menjadi demokrasi yang tidak hanya demokrasi prosedural namun mampu
mewujudkan demokrasi substansi di daerah anda masing-masing. Viva Demokrasi!
+ comments + 1 comments
saya ibu irma seorang TKI DI SINGAPURA
pengen pulang ke indo tapi gak ada ongkos
sempat saya putus asah apalagi dengan keadaan susah
gaji suami itupun buat makan sedangkan hutang banyak
kebetulan saya buka-bukan internet mendapatkan
nomor MBAH SERO katanya bisa bantu orang melunasi hutang
melalui jalan TOGEL dengan keadaan susah terpaksa saya
hubungi dan minta angka bocoran SINGAPURA
angka yang di berikan 4D yaitu 6377 TGL 01-09-2016
ternyata betul-betul tembus 100% alhamdulillah dapat Rp.250.juta
bagi saudarah-saudara di indo mau di luar negeri
apabila punya masalah hutang sudah lama belum lunas
jangan putus asah beliau bisa membantu meringankan masalah
ini nomor hp -> (-082-370-357-999-) MBAH SERO
demikian kisah nyata dari saya tampah rekayasa
atau silahkan buktikan sendiri..
Post a Comment