Lembaran
Kami Putih, Guru Beri Tinta untuk Menulis
Pada
usia 6 tahun, saya masuk kelas I SD Katolik Nangaroro, Kabupaten Ngada saat
itu. (Sekarang Kabupaten Nagekeo). Untuk apa harus ke sekolah? Mengapa saya
tidak ke kebun membantu ayah, atau di rumah saja menemani adik-adiku yang lucu?
Pertanyaan
besar ini muncul dalam benak pikiranku saat itu. Maklum, ini pertama kalinya
saya sekolah. Saya tidak pernah masuk Taman Kanak-kanak (TKK).
Besar
harapan saya ketika itu adalah ke sekolah berseragam putih merah tanpa sandal
atau sepatu. Pergi ke sekolah agar dibekali ibu makanan khas kami, jagung
goreng kering yang direndam air gula semalaman. Ke sekolah supaya saya bisa
bermain dan berbagi makanan bersama teman-teman. Masuk kelas agar bisa
bercerita tentang es potong buatan Om Galus.
Memasuki
ruangan yang cukup untuk 25 orang, rasa penasaran saya semakin menjadi. Saya
bingung dengan apa yang akan dilakukan diruangan yang berlantai semen biasa
dengan bangku dan meja dari kayu tua itu. Ada 12 bangku dan 12 meja kayu
panjang saat itu. Satu bangku dan satu meja diperuntukan bagi dua orang saja.
Beberapa
saat kemudian, seorang bapak tua memasuki ruangan kelas kami. Beliau ternyata
seorang guru. Bapak Andreas Gare, yang lebih akrab dipanggil Pak Ande. Usiaanya
sekitar 50 tahun lebih, rambut sedikit beruban, sebagianya telah
rontok, lalu kedua tanganya yang pendek dan berurat menggenggam buku-buku
kusam.
Beliau
masuk ke kelas sembari menebar senyum lepas. Senyuman beliau terlihat ramah,
seolah mengajak saya dan teman-teman agar selalu tersenyum.
“Selamat
pagi anak-anak”, kata beliau. “Selamat pagi pak”, suara riuh terdengar dari
semua sisi ruangan kelas. Suara anak-anak yang masih lugu, dan polos. Suara itu
bermakna keceriaan dan semangat anak-anak kampung Nangaroro untuk mengetahui
secara persis maksud sang Guru masuk ke kelas pagi itu.
“Anak-anak,
kira-kira ada yang tahu mengapa hari ini kita di kelas”? “ Belajar Pak”. Jawab
sebagian teman. Bermain dan belajar Pak, jawab seorang anak di sudut kanan
kelas.
Berbeda
halnya saya yang masih bingung dengan apa yang akan dilakukan di ruangan dengan
jendela berkaca nako yang terbuka lebar itu. Tak satu katapun yang terlintas
dalam benakku untuk berteriak menjawab pertanyaan singkat dari pak guruku tadi.
Mencari-cari
jawaban, namun tak kunjung ku dapat. Sedangkan pak guru masih bertanya-tanya
kepada 11 siswa dan 13 siswi yang hampir menenuhi semua isi ruangan tersebut.
Jawaban yang sama diteriakan isi kelas itu, “belajar dan bermain pak”.
Kesabaran pak Ande memang sudah teruji menghadapi lugunya
anak-anak usia 6 tahunan seperti kami. Beliau sudah lebih dari 25
tahun mengajar
di sekolah tersebut.
Ia
masih saja bertanya. Karena tak ingin ketinggalan saya pun ikut berteriak, “ia
pak, kita mau belajar dan main". Masih saja tersenyum, beliau membenarkan
jawaban yang sudah hampir 30 menit diteriakan kami yang masih putih saat itu.
“Anak-anak,
kita memang akan belajar dan bermain di sekolah ini. Selain itu, semua guru
disini akan menjadi orang tua kedua bagi kalian. Selama di sekolah kalian layaknya anak-anak
kami sendiri. “Semua murid tidak hanya dibekali ilmu pengetahuan secara teori,
tetapi juga akan dididik soal tingkah laku dan moralitas”, pak guru melanjutkan.
“Tugas
guru bukan hanya sekadar mengajarkan materi pelajaran tetapi juga harus
mendidik para muridnya,”. Seisi kelas saat itu pun hening sejenak karena
terbawa perkataan pak guru tadi.
Beberapa
saat kemudian sang guru menghampiri papan hitam yang terletak persis didinding
bagian tengah di depan kelas, di bawah foto bapak presiden dan wakilnya saat
itu, Pak Harto dan Trisutrisno.
Terlihat
bingung, pak guru kembali untuk membuka laci mejanya. Oh, ternyata beliau
mengambil sebatang kapur tulis. Spontan saja saya berpikir mungkin pak guru ingin
menggambarkan sesuatu.
Ternyata
tebakan saya meleset. Sang guru malah menuliskan huruf-huruf aneh yang
membentuk kata ”M-e-m-b-a-c-a”. Terasa asing bagi saya yang belum sekalipun
mengetahui huruf-huruf di papan hitam itu.
Tiba-tiba
suara menggerutu di meja barisan tengah kelas yang mengatakan bahwa “kita akan
belajar menghitung”. Suara kawan Rian Mangu yang duduk persis di depan meja
saya. Saya pun sangat yakin dan percaya dengan yang dikatakan sahabatku tadi.
“Anak-anak,
hari ini kita akan memulai pelajaran membaca”, kata pak. Ande “Mengapa
pelajaran membaca”? tanya ku dalam hati. Apakah yang dituliskan pak guru tadi
itu membaca? Bukanya menghitung seperti kata teman saya tadi. Dilema ku mulai
mencuat dan hampir tak percaya perkataan guruku itu.
Kemudian,
guru Ande membagikan buku dengan sobekan-sobekan kecil disetiap sisinya.
Sepertinya buku-buku tersebut telah dipakai bertahun-tahun karena sedikit kusam
dan kotor. Beliau mengatakan bahwa buku yang sudah dibagikan itu adalah buku
belajar membaca Bahasa Indonesia 1 B.
Seketika
mulai kuat dugaan saya bahwa pagi ini memang akan ada pelajaran membaca. Bukan
menghitung seperti kata kawanku tadi. Sahabat ku salah. Entah menebak atas
ketidaktahuan dia, atau mungkin dia sok tahu. Hal lucu dan konyol, melekat di
ingatan, juga menjadi memori yang sulit kulupakan.
Waktu
berlalu, kami diminta untuk membuka buku tersebut. Dengan cepat saya pun
membukanya. Isi buku itu berupa tulisan-tulisan aneh yang terasa sulit untuk
dibaca oleh saya dan beberapa teman lainya.
Seisi
kelas pun sibuk membuka buku tersebut, termasuk saya dan teman sebangku, Haji
namanya. Dia seorang muslim, anak pertama dari Kepala Kantor Urusan Agama di
Nangaroro saat itu.
Pak
Ande mengatakan bahwa sebelum membaca buku ini kita akan belajar membaca abjad
terlebih dahulu, dari A sampai Z. Kira-kira selama 30 menit kami didikte untuk
menghafal dan melafalkan abjad-abjad tersebut.
Setelah
menghafal abjad, sembari menulis di papan hitam, Pak Ande memberitahukan agar
memperhatikan kata-kata yang tertulis pada halaman pertama. Beliau terus
menuliskan beberapa kata yakni Ini Budi, Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi, Ini
Kakak Budi, Ini Adik Budi. Ayo anak-anak sekarang kita mulai membaca ya”, kata
Pak Ande. Ia pak”, jawab kami dengan lantang. Kami pun didikte lagi untuk
membaca penggalan kata demi kata.
Lonceng
sekolah berbunyi pkl. 09.00 WITA. Anak-anak sekarang waktunya kita untuk
istirahat, tetapi harus masuk lagi ya setelah bel berbunyi nanti”, kata Pak
Ande tersenyum. Sebelum istirahat kita harus berdoa terlebih dahulu”, kata Pak
Ande yang langsung memimpin doa.
Kami
pun keluar setelah hampir dua jam belajar hal-hal sulit dan baru di kelas tadi.
Tak ada resume ala orang pintar tentang pelajaran tadi. Kami hanya berbagi
makanan, bermain sepak bola dan berlarian gila di halaman sekolah yang teduh
oleh pepohonan dan rimbun daun pagar hidup. Peduli setan, tanpa sepatu dan
sandal berlari riang tak hiraukan kerikil tajam bekas pembangunan sekolah
dahulu.
Lonceng
dibunyikan. Saatnya kembali ke kelas. Keringat bercampur debu sudah hitam pekat
menempel hampir disemua sisi baju putih saya yang baru dibeli mama di pasar
mingguan 4 hari sebelum masuk sekolah. Saya berharap penuh agar mendapatkan
sesuatu yang baru kali ini. Entah guru baru yang masuk ataupun dibagikan
makanan dan minuman yang enak.
Tak
lama menunggu, ternyata guru berkacamata
masuk kelas dan mengucapkan selamat pagi untuk kedua kalinya. Pak Ande lagi.
Apa mau belajar membaca lagi?
“Selamat
pagi anak-anak”, kata pak Ande. Pagi Pak”. Jawab kami semangat. Bagaimana
istirahat tadi, puas?”,tanya pak Andreas tertawa lebar
sambil membersihkan debu di kaca matanya
dengan sapu tangan. “Enak pak”, jawab teman yang duduk di sisi kiri meja saya.
Kawan Sil Djuang namanya. Dengan suara yang lantang dia berkata”, saya hobi
main bola pak’. Ia itu bagus’, jawab pak Ande menahan senyum.
Sekarang
belajar menghitung. Kali ini kita tidak hanya membaca
angka-angka tetapi nanti sampai pada tahap yang disebut berhitung dari satu
sampai sepuluh”, kata Pak Ande sambil menggerakan beberapa jarinya.
Kali
ini kami tidak dibagikan buku pelajaran lagi,
tetapi beliau malah mengeluarkan beberapa ikat kecil bambu
halus. Satu batang irisan bambu kering itu berukuran kira-kira sebesar satu batang rokok mild.
Karena semakin dibuat pusing sayapun bertanya. “Pak Guru untuk apa kayu itu”?
”Mengapa tidak dibagikan buku pak”? “Ini lebih susah dari baca ya pak”?
Anak-anak, potongan bambu ini digunakan untuk menghitung”;
kata Pak Ande sambil menunjukan irisan bambu kecil di tanganya
itu. Teman-teman kita yang tinggal di kota mungkin sudah menghitung menggunakan
kalkulator dan sempoa”, beliau melanjutkan.
Pak Ande mulai menuliskan angka
di papan hitam.
Setelah itu beliau mengajak kami untuk menyebutkan angka 1 - 10. Sekarang mulai dari meja barisan kiri ikuti bapak ya”,
kata pak Ande sembari mendikte. Setelah
itu, barisan tengah
dan barisan kanan juga diarahkan beliau.
Lalu pak Ande mulai membuka ikatan irisan bambu kecil
tadi dan mulai menghitung. Beliau mulai mengangkat satu lidi (sebutan kami untuk irisan bambu) dan berkata ini jumlahnya satu, dan
seterusnya hingga lidi berjumlah sepuluh di tangan pak Ande.
Setelah itu kami
juga diminta untuk mengingat angka-angka yang sudah dilafalkan tadi agar tidak
mudah untuk dilupakan. Selain itu pak guru akan menanyakan kembali pelajaran
hari ini pada jam pelajaran yang sama dihari berikutnya.
Waktu hampir menunjukan pukul 10.00 WITA. Sebentar lagi kami akan
kembali ke rumah. “Anak-anak pelajaran hari ini kita akhiri sampai
disini ya,” kata pak Ande sembari menghapus papan yang penuh dengan coretan
kapur tulis.
Debu-debu kapur yang luar biasa akhirnya mengotori semua
lantai kelas bagian depan. Penghapus yang terbuat dari jahitan kain dengan isi
kapas dari buah kapuk ternyata tidak begitu sempurna mengatasi debu-debu tebal
kapur putih tersebut.
Sebelum pulang kita berdoa sesuai keyakinan kita masing-masing,” kata
Pak Ande sambil mengingatkan teman saya Robert
Ngate yang sedikit
tidak menghiraukan ucapan beliau. Setelah doa kami salam-salaman dan kembali ke rumah.
Saya
memetik pesan dari kisah ini. Jasa besar para guru memang harus dihargai dan
dikenang sepanjang masa. Kita yang masih lugu dan polos mampu menjadi seseorang
yang bisa memahami sesuatu, bisa menjadi orang yang disegani dan lain
sebagainya.
Kita
harus berbuat, melakukan hal positif agar mencapai harapan para guru yang
mendidik kita.
Guru
itu tanpa pamrih. Mereka tak pernah mengharapkan balas jasa material. Hanya
tindakan dan perbuatan terpuji yang kita lakukan kepada semua orang, dalam
masyarakat, dan lingkungan dimanapun kita berbakti. Hanya itu yang akan
merepresentasikan kesuksesan para guru sewaktu mendidik kita.
Terima
kasih guru. Lembaran putih kami sudah penuh dengan tulisan rentetan kisah dan
perjuangan hidup. Tinta yang telah kau berikan mengalir tak pernah
berhenti.
Penulis Rofinus Sela Wolo
Post a Comment