Jika Anda menengok di sepanjang jalan dari Ende-Bajawa, tepatnya di sepanjang pantai Sarakaka, Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, Anda akan melihat tumpukan batu alam. Batu-batu itu sengaja dikumpulkan. Ada penadah tetap yang menghargai para pengumpul batu itu menjadi duit, sementara sesekali ada pendatang yang langsung datang untuk membeli.
“Pidi Watu”, begitulah dalam bahasa daerah sebagian besar masyarakat Nangaroro menyebut pekerjaan tersebut, yakni mengumpulkan batu di sepanjang pantai berpasir hitam dan dibatasi bebatuan membentang ke arah timur sepanjang pantai Sarakaka, Nangaroro, kabupaten Nagekeo hingga pesisir pantai kabupaten Ende dan seterusnya.
Selain nelayan, ada beberapa orang yang memang berkerja sebagai pengumpul batu. Ada juga yang datang dari penggarap kebun demi mencari alternatif penghasilan lain. Mereka biasanya menyisir dari pantai Sarakaka, Aeawe, Nangamboa di Kabupaten Nagekeo hingga pesisir pantai Ndao di Kabupaten Ende.
Batu-batu alam yang dikumpulkan ialah batu berwarna hijau, putih, dan hitam dengan berbagai ukuran. Batu hijau menjadi buruan utama karena harganya lebih tinggi dan yang paling laris. Batu-batu itu kebanyakan menjadi bahan pembuatan aksesoris, penghias taman perumahan, pemanis di kuburan dan pemanis dinding rumah.
Kala saya berusia dua belas tahun, sewaktu liburan tamat sekolah dasar, orang tua saya sering mengajak untuk mengumpulkan batu hijau, putih dan hitam di sepanjang pantai Sarakaka, Aeawe, hingga Nangamboa. Selain keluarga saya, sebagian masyarakat di kampung Aekana, Tongatei, dan Nangamboa juga menghabiskan hari-hari di pantai Aeawe untuk mengumpulkan batu sembari menantikan datangnya musim hujan untuk berladang. Pantai Aeawe adalah pantai yang hampir semua pesisirnya dipenuhi batu, mulai dari batu-batu kecil bercorak dan berwarna hingga bebatuan dengan ukuran yang cukup besar yang diperkirakan sudah berusia tua.
Selama masa liburan, hampir setiap hari saya dan teman-teman kecil menghabiskan waktu bersama orangtua kami untuk mengumpulkan batu. Pukul 05.00 WITA kami sudah menuju tempat pengumpulan batu. Berbekal makanan seadanya, kami berjalan beramai-ramai, bergerombol sembari bercerita tentang harga jual batu-batu tersebut. Biasanya kami langsung menuju pantai Aeawe karena kualitas batu yang menjajikan dengan jumlah yang lebih banyak ketimbang di pesisir pantai Sarakaka. Sembari mengumpulkan batu kami juga memancing, melepaskan pukat atau jala untuk menjaring ikan sebagai lauk teman makan pisang rebus, singkong, dan nasi jagung.
Mengumpulkan batu sebenarnya bukan pekerjaan yang sulit, hanya memilih batu-batu mulus tanpa cela dan berwarna cerah. Memang beban memindahkan atau mengangkat batu tentu lebih berat ketimbang mengangkat pasir atau “kayu kering” (kayu api). Batu yang telah dikumpulkan dipisahkan berdasarkan ukuran dan jenisnya. Saat itu kami mengumpulkan batu mulai dari ukuran terkecil (no 1) hingga ukuran paling besar (no 5). Batu yang dibutuhkan oleh penadah adalah batu halus sedikit mengkilap tanpa pecahan atau lubang berpori di setiap sisi batu-batu tersebut. Harga yang ditawarkan juga berbeda-beda. Untuk batu hijau nomor satu dihargai Rp.50 per kg, nomor dua Rp.25 per kg, nomor tiga Rp.15 per kg, nomor empat Rp.10 per kg dan nomor lima Rp.50 per kg. Berbeda lagi untuk jenis batu putih dan hitam yang tidak dipisahkan berdasarkan ukuran dipatok dengan harga Rp.10 per kilogramnya.
Batu-batu yang telah terkumpul akan ditimbang dan dibeli oleh penadah jika jumlah yang kami kumpulkan sudah cukup banyak. Biasanya para penadah menunggu hingga satu bulan. Setelah satu bulan lamanya, batu yang batu yang dikumpulkan dan terpisah berdasarkan ukuran tersebut dipindahkan dari tumpukan di bawah rindangnya pohon-pohon asam ke “pondok” yang sudah disediakan oleh penadah. Batu yang sudah dipindahkan akan ditimbang lalu dibeli oleh penadah dengan bayaran sesuai harga yang sudah ditentukan.
Saya harus menyebutkan satu nama dari Penadah batu hijau ini. Om Muhamad namanya atau yang lebih disering dipanggil Om Hema. Ia adalah seorang muslim yang santun dan senang bercanda ria dengan kami para pencari batu. Sosok beliau yang terbuka dan baik hati tentu membuka aura semangat kami untuk bekerja lebih giat untuk mengumpulkan lebih banyak batu guna menambah penghasilan. Om Hema pernah berkata bahwa situasi dan harga akan berubah setiap saat. Ketika bisnis dan usahanya membaik maka harga beli juga akan meningkat dan begitupula sebaliknya.
Keterbukaan antar kami sebagai produsen dengan distributor kecil-kecilan seperti om Hema tentu mengantarkan kami pada titik bahwa kami bisa saling percaya. Dinamika seperti ini tentu jarang terjadi di kota-kota besar yang penuh dengan manipulasi dan politisasi. Sebenarnya penghasilan yang didapat harus berdasarkan tingkat kesulitan dan resiko sebuah pekerjaan yang dilakukan. Di kota-kota besar, seperti Jakarta saat ini malah sebaliknya. Para buruh dan pekerja kasar yang tingkat kesulitan dan resiko kerja lebih tinggi diberikan penghasilan di bawah rata-rata, akan tetapi kepada mereka yang kerjanya tak menyita banyak waktu dan keringat diberikan gaji dan tunjangan yang sangat tinggi. Sungguh sangat disayangkan jika hal ini dibiarkan. Hukum dan peraturan di negara ini sungguh memalukan dan carut-marut.
Sekilas pandangan saya tentang hukum dan aturan di atas tentu hanya kata-kata dan sekedar basa-basi, sebatas pembicaraan yang timbul setiap saat mengingat nasib orang-orang kecil yang sering diabaikan.
Kembali lagi mengenai alam yang memberi berkah, pantai dengan batu indah yang memberi nafkah tambahan. Pantai-pantai di daerah kami, termasuk pantai Aeawe adalah pantai selatan yang berombak dengan arus lebih kuat bila dibandingkan dengan pantai bagian utara. Hempasan arus dan ombak yang cukup tinggi pada musim angin laut tentu mengubah siklus dan mempengaruhi struktur batu ditepi pantai termasuk batu-batu yang kami kumpulkan. Setiap bulan hamparan batu akan berubah karena ombak. “Stock” batu yang kami butuhkan selalu tersedia kapanpun karena mengais rejeki dari alam dengan tulus dan mencintai ciptaan Tuhan tersebut.
Yah, tentang Pidi Watu, kami belajar tiga hal: kerja keras, saling percaya dan menghargai usaha, dan menghormati berkah dari alam.(iF02)
“Pidi Watu”, begitulah dalam bahasa daerah sebagian besar masyarakat Nangaroro menyebut pekerjaan tersebut, yakni mengumpulkan batu di sepanjang pantai berpasir hitam dan dibatasi bebatuan membentang ke arah timur sepanjang pantai Sarakaka, Nangaroro, kabupaten Nagekeo hingga pesisir pantai kabupaten Ende dan seterusnya.
Selain nelayan, ada beberapa orang yang memang berkerja sebagai pengumpul batu. Ada juga yang datang dari penggarap kebun demi mencari alternatif penghasilan lain. Mereka biasanya menyisir dari pantai Sarakaka, Aeawe, Nangamboa di Kabupaten Nagekeo hingga pesisir pantai Ndao di Kabupaten Ende.
Batu-batu alam yang dikumpulkan ialah batu berwarna hijau, putih, dan hitam dengan berbagai ukuran. Batu hijau menjadi buruan utama karena harganya lebih tinggi dan yang paling laris. Batu-batu itu kebanyakan menjadi bahan pembuatan aksesoris, penghias taman perumahan, pemanis di kuburan dan pemanis dinding rumah.
Kala saya berusia dua belas tahun, sewaktu liburan tamat sekolah dasar, orang tua saya sering mengajak untuk mengumpulkan batu hijau, putih dan hitam di sepanjang pantai Sarakaka, Aeawe, hingga Nangamboa. Selain keluarga saya, sebagian masyarakat di kampung Aekana, Tongatei, dan Nangamboa juga menghabiskan hari-hari di pantai Aeawe untuk mengumpulkan batu sembari menantikan datangnya musim hujan untuk berladang. Pantai Aeawe adalah pantai yang hampir semua pesisirnya dipenuhi batu, mulai dari batu-batu kecil bercorak dan berwarna hingga bebatuan dengan ukuran yang cukup besar yang diperkirakan sudah berusia tua.
Selama masa liburan, hampir setiap hari saya dan teman-teman kecil menghabiskan waktu bersama orangtua kami untuk mengumpulkan batu. Pukul 05.00 WITA kami sudah menuju tempat pengumpulan batu. Berbekal makanan seadanya, kami berjalan beramai-ramai, bergerombol sembari bercerita tentang harga jual batu-batu tersebut. Biasanya kami langsung menuju pantai Aeawe karena kualitas batu yang menjajikan dengan jumlah yang lebih banyak ketimbang di pesisir pantai Sarakaka. Sembari mengumpulkan batu kami juga memancing, melepaskan pukat atau jala untuk menjaring ikan sebagai lauk teman makan pisang rebus, singkong, dan nasi jagung.
Mengumpulkan batu sebenarnya bukan pekerjaan yang sulit, hanya memilih batu-batu mulus tanpa cela dan berwarna cerah. Memang beban memindahkan atau mengangkat batu tentu lebih berat ketimbang mengangkat pasir atau “kayu kering” (kayu api). Batu yang telah dikumpulkan dipisahkan berdasarkan ukuran dan jenisnya. Saat itu kami mengumpulkan batu mulai dari ukuran terkecil (no 1) hingga ukuran paling besar (no 5). Batu yang dibutuhkan oleh penadah adalah batu halus sedikit mengkilap tanpa pecahan atau lubang berpori di setiap sisi batu-batu tersebut. Harga yang ditawarkan juga berbeda-beda. Untuk batu hijau nomor satu dihargai Rp.50 per kg, nomor dua Rp.25 per kg, nomor tiga Rp.15 per kg, nomor empat Rp.10 per kg dan nomor lima Rp.50 per kg. Berbeda lagi untuk jenis batu putih dan hitam yang tidak dipisahkan berdasarkan ukuran dipatok dengan harga Rp.10 per kilogramnya.
Batu-batu yang telah terkumpul akan ditimbang dan dibeli oleh penadah jika jumlah yang kami kumpulkan sudah cukup banyak. Biasanya para penadah menunggu hingga satu bulan. Setelah satu bulan lamanya, batu yang batu yang dikumpulkan dan terpisah berdasarkan ukuran tersebut dipindahkan dari tumpukan di bawah rindangnya pohon-pohon asam ke “pondok” yang sudah disediakan oleh penadah. Batu yang sudah dipindahkan akan ditimbang lalu dibeli oleh penadah dengan bayaran sesuai harga yang sudah ditentukan.
Saya harus menyebutkan satu nama dari Penadah batu hijau ini. Om Muhamad namanya atau yang lebih disering dipanggil Om Hema. Ia adalah seorang muslim yang santun dan senang bercanda ria dengan kami para pencari batu. Sosok beliau yang terbuka dan baik hati tentu membuka aura semangat kami untuk bekerja lebih giat untuk mengumpulkan lebih banyak batu guna menambah penghasilan. Om Hema pernah berkata bahwa situasi dan harga akan berubah setiap saat. Ketika bisnis dan usahanya membaik maka harga beli juga akan meningkat dan begitupula sebaliknya.
Keterbukaan antar kami sebagai produsen dengan distributor kecil-kecilan seperti om Hema tentu mengantarkan kami pada titik bahwa kami bisa saling percaya. Dinamika seperti ini tentu jarang terjadi di kota-kota besar yang penuh dengan manipulasi dan politisasi. Sebenarnya penghasilan yang didapat harus berdasarkan tingkat kesulitan dan resiko sebuah pekerjaan yang dilakukan. Di kota-kota besar, seperti Jakarta saat ini malah sebaliknya. Para buruh dan pekerja kasar yang tingkat kesulitan dan resiko kerja lebih tinggi diberikan penghasilan di bawah rata-rata, akan tetapi kepada mereka yang kerjanya tak menyita banyak waktu dan keringat diberikan gaji dan tunjangan yang sangat tinggi. Sungguh sangat disayangkan jika hal ini dibiarkan. Hukum dan peraturan di negara ini sungguh memalukan dan carut-marut.
Sekilas pandangan saya tentang hukum dan aturan di atas tentu hanya kata-kata dan sekedar basa-basi, sebatas pembicaraan yang timbul setiap saat mengingat nasib orang-orang kecil yang sering diabaikan.
Kembali lagi mengenai alam yang memberi berkah, pantai dengan batu indah yang memberi nafkah tambahan. Pantai-pantai di daerah kami, termasuk pantai Aeawe adalah pantai selatan yang berombak dengan arus lebih kuat bila dibandingkan dengan pantai bagian utara. Hempasan arus dan ombak yang cukup tinggi pada musim angin laut tentu mengubah siklus dan mempengaruhi struktur batu ditepi pantai termasuk batu-batu yang kami kumpulkan. Setiap bulan hamparan batu akan berubah karena ombak. “Stock” batu yang kami butuhkan selalu tersedia kapanpun karena mengais rejeki dari alam dengan tulus dan mencintai ciptaan Tuhan tersebut.
Yah, tentang Pidi Watu, kami belajar tiga hal: kerja keras, saling percaya dan menghargai usaha, dan menghormati berkah dari alam.(iF02)
Post a Comment