Damai
itu indah. Apakah semua damai itu indah?
Rofinus Sela Wolo
Sering
tertangkap mata telanjang kita slogan “Damai itu Indah”. Kalimat agitasi yang
persuasif itu biasa terpampang di
pinggiran jalan, di halaman perkantoran, dan media-media sosial.
Salam
damai juga sering dilagukan oleh komunitas Reggae. Tak jarang pula kata damai malang-melintang di kepala hingga mengganjal
otak dan pikiran kita.
Umumnya
damai dipahami sebagai suatu hal yang indah, menyenangkan dan sepenuhnya
bernilai positif. Paradigma masyarakat kita memandang semua persoalan sosial dapat diselesaikan secara damai. Apapun bisa
dilakukan, asalkan bisa berdamai. Sering pula muncul kata-kata “ damai ajalah”.
Perihal “damai ajalah” sungguh nyata dalam
realita kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Sudah kesekian kalinya kasus
suap terungkap ke publik. Ini berkaitan dengan paradigma mengenai “damai itu
indah”.
Beberapa kasus suap misalnya suap terdakwa
penipuan dan penggelapan uang, Edward M. Bunyamin kepada Jaksa Penuntut Sistoyo di Kejaksaan Negeri Cibinong, dengan
uang sebesar 100 juta agar tuntutan mereka diringankan. Kasus lain seperti kasus
suap wisma atlet dengan terdakwa Nazarudin.
Sungguh uang bisa menjadi alat perdamaian. Uang
sering menjadi alat untuk berdamai. Uang mampu mengusahakan agar kedua belah
pihak yang bertikai bisa berbaik kembali dan merundingkan agar mencapai
persesuaian atau kesepakatan.
Lalu
bagaimana dengan “damai” yang menjadi solusi seorang pengendara sepeda motor setelah
terjaring razia lalu-lintas?
Apakah
mengingkari kesalahan dengan berdamai agar seolah-olah tidak bersalah merupakan
tindakan terpuji? Ini menjadi pertanyaan reflektif!
Beberapa
waktu yang lalu, saya menyebrangi halte
bus transjakarta di Cempaka Putih, Jakarta Timur. Bukan mencari berita, namun
kebetulan saya sedang menuju Pulo Gadung. Menuruni tangga halte, saya
berpapasan dengan beberapa pasang mata tengah fokus pada sesuatu.
Ada
apa? Terlintas pertanyaan di benak saya ketika itu. Setelah berusaha untuk
memastikan, akhirnya terjawab. Sekitar tiga
puluh pengendara sepeda motor terjaring razia polantas.
Kemudian,
saya memastikan lebih dekat perihal razia lalu-lintas itu. Ternyata, para
pengendara sepeda motor ditilang karena memasuki jalur cepat khusus kendaraan
roda empat, dari arah Pasar Senen, Jakarta Pusat menuju Pulo Gadung, Jakarta
Timur.
Hampir
sepuluh polantas dengan tegas dan santun melakukan pemeriksaan kepada setiap pengendara
sepeda motor. Berawal dengan salam hormat, petugas lantas mulai menyampaikan
alasan tilang tersebut kepada para pengendara sepeda motor.
Seorang
pengendara dihentikan di bagian paling
belakang barisan, persis di gerbang masuk Indonesia Trade Center (ITC) Cempaka Putih. Saya lalu mendekat dan mengutip
dialog diantara polantas dan pengendara tersebut.
“Selamat
sore pak”, kata petugas lantas pada pengendara itu. Petugas lantas kemudian
mengeluarkan lembaran kertas dan pulpen dari balik celah antara sepatu dan celana
cokelatnya.
“Sore juga pak” jawab si pengendara.
“
Kendaraan anda harus kami tilang karena menerobos jalur cepat khusus mobil. “Anda
tahu itu salah kan?”, Kata petugas lantas melanjutkan.
“Aduh
pak, sorry tadi saya buru-buru mau ke
priok”, si pengendara terlihat gugup.
Cukup
lama saya mengutip percakapan diantara mereka. Si pengendara menolak identitas
dan kendaraanya dicatat. Sedangkan petugas lantas berusaha untuk tetap profesional.
Tak
lama berselang, si pengendara mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Entah
itu SIM atau STNK, atau sesuatu yang lain. Belum nampak jelas.
“Aduh
pak! Kita damai aja”, kata si pengendara sembari memberikan lembaran dari dalam
dompetnya tadi. Ternyata lembaran tadi adalah uang. Tak begitu jelas berapa
nilai rupiah yang diberikan. Namun, polantas menolak tawaran “uang damai”
tersebut.
“Maksud
anda apa?”, jawab polantas terheran-heran. “Anda mau membayar saya?” “Maaf pak,
kendaraan anda tetap kami tilang”! kata polantas tegas.
Dengan
sigap polantas mencatat nomor polisi sepeda motor tersebut dan memberikan surat
yang dipegang di tangan kananya. Rupanya surat itu adalah surat tilang. Pengendara
sepeda motor terlihat keberatan dengan profesionalisme polantas tadi. Namun apa
boleh buat, itulah aturan yang sesungguhnya. Kendaraan tetap ditilang.
Solusi
berdamai oleh pengendara tadi merupakan tindakan yang tidak bertanggungjawab. Perihal
damai seperti ini tentu tidak indah, dan sangat memalukan! Seharusnya kesadaran
berkendara dan tertib lalu-lintas harus sudah ditanamkan dalam diri setiap
orang.
Jika
polantas menerima sogokan, maka ia tidak professional. Jika si polantas
berdamai karena uang, ia tidak berwibawa.
Namun,
pada kasus ini, polantas mampu menunjukan profesionalitasnya sebagai seorang
penegak hukum. Ia menolak berdamai karena uang, tetapi harus melalui proses
hukum yang berlaku.
Memaknai
cerita kejadian ini, bisa dipahami bahwa tak selamanya damai itu indah dan
menyenangkan. Saya memetik pesan bahwa tak perlu salah menafsirkan sesuatu yang
sebenarnya positif. Membalikan keadaan dari sesuatu yang sudah dianggap benar
menjadi tindakan yang tidak terpuji adalah kesalahan besar. Semoga damai
kembali pada kesungguhan maknanya.
Rofinus Sela Wolo
+ comments + 1 comments
The Orleans Hotel & Casino - Mapyro
› maps › The-Olo › maps › The-Olo View detailed 3 photos 양주 출장마사지 of 포천 출장마사지 The Orleans Hotel & Casino, 김포 출장샵 including 3253 reviews, and 전라남도 출장마사지 find your way 전라남도 출장샵 around the casino, chevy restaurant, spa, casino,
Post a Comment