Home » , » Hugo Chavez, Penentang Kapitalis Semasa Hidup Hingga Wafat

Hugo Chavez, Penentang Kapitalis Semasa Hidup Hingga Wafat

Written By Unknown on March 18, 2013 | 5:18 AM

Hugo Chávez lahir pada tanggal 28 Juli 1954 di rumah nenek maternalnya, Rosa Inéz Chávez, rumah sederhana berkamar tiga yang terletak di desa Sabaneta, Barinas. Keluarga Chávez merupakan keturunan Amerindian, Afrika-Venezuela, dan Spanyol. Orang tuanya, Hugo de los Reyes Chávez dan Elena Frías de Chávez, adalah guru kelas pekerja-menengah bawah yang menetap di desa kecil Los Rastrojos. Hugo adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Adán Chávez adalah anak paling bungsu. Orang tua mereka hidup miskin, sehingga mereka mengirim Hugo dan Adán untuk tinggal bersama neneknya, Rosa, yang Hugo sebut sebagai "sosok yang murni... kasih sayang tulus, kebaikan sejati." Neneknya adalah penganut Katolik Roma dan Hugo menjadi putra altar di gereja setempat. Hugo menyebut masa kecilnya miskin dan sangat bahagia dan mengalami minder, kemiskinan, rasa sakit, kadang tidak bisa makan, serta ketidakadilan dunia. Mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Julián Pino, hobi Chávez adalah menggambar, melukis, bermain bisbol, dan mempelajari sejarah. Ia sangat tertarik dengan jenderal federalis abad ke-19 Ezequiel Zamora. Kakek buyutnya pernah berdinas bersama Zamora. Pada pertengahan 1960-an, Hugo, abang, dan neneknya pindah ke kota Barinas supaya keduanya bisa bersekolah di SMA satu-satunya di negara bagian pedesaan ini, SMA Daniel O'Leary Pada usia 17 tahun, Chávez masuk Akademi Ilmu Militer Venezuela di Caracas. Di Akademi, ia menjagi anggota kelas pertama yang mengikuti kurikulum baru bernama Andrés Bello Plan. Kurikulum ini dicetuskan oleh sekelompok perwira militer progresif dan nasionalis yang percaya militer butuh perubahan. Saat menetap di Caracas, ia malah melihat lebih banyak kemiskinan endemik yang dihadapi kaum pekerja Venezuela, mirip dengan kemiskinan yang dulu ia rasakan. Ia bersikeras bahwa pengalaman ini menjadikannya lebih semangat mengejar keadilan sosial. Ia juga mulai terlibat dalam serangkaian aktivitas lokal di luar sekolah militer, bermain bisbol dan sofbol bersama tim Criollitos de Venezuela, melaju bersama mereka ke Kejuaraan Bisbol Nasional Venezuela. Hobi lain yang ia jalankan pada masa itu adalah menulis puisi, cerita, dan drama teater, melukis, dan mempelajari kehidupan dan pemikiran politik revolusioner Amerika Selatan abad ke-19 Simón Bolívar. Ia juga tertarik dengan revolusioner Marxis Che Guevara (1928–67) setelah membaca memoarnya, The Diary of Che Guevara, padahal buku biografi yang ia baca sangat beragam. Tahun 1974, ia terpilih mewakili Venezuela dalam peringatan 150 tahun Pertempuran Ayacucho di Peru, yaitu konflik ketika letnan Simon Bolívar, Antonio José de Sucre, mengalahkan pasukan royalis pada Perang Kemerdekaan Peru. Di Peru, Chávez mendengarkan pidato presiden yang berpaham kiri, Jenderal Juan Velasco Alvarado (1910–1977). Ia terinspirasi oleh ide-ide Velasco bahwa militer harus memihak pada kaum pekerja jika kaum penguasa dianggap korup. Chávez membaca habis buku yang ditulis Velasco, bahkan nyaris hapal beberapa pidatonya. Karena berteman dengan putra Presiden Panama Omar Torrijos (1929–1981), jenderal militer berpaham kiri lainnya, Chávez berkunjung ke Panama. Di sana ia bertemu Torrijos dan terpesona dengan program reformasi lahan yang dirancang agar menguntungkan para petani. Setelah begitu terpengaruh oleh Torrijos dan Velasco, ia melihat potensi di kalangan jenderal militer untuk mengambil alih pemerintahan ketika otoritas sipil dianggap hanya memenuhi kepentingan kaum elit dan kaya. Berbeda dengan presiden militer seperti Torrijos dan Velasco, Chávez justru sangat kritis terhadap Augusto Pinochet, jenderal sayap kanan yang baru saja merebut kekuasaan di Chili dengan bantuan CIA Amerika Serikat. Chávez kemudian mengatakan, "Bersama Torrijos, aku menjadi seorang Torrijis. Bersama Velasco, aku menjadi seorang Velasquis. Dan bersama Pinochet, aku menjadi seorang anti-Pinochetis." Pada tahun 1975, Chávez lulus dari akademi militer dan menjadi satu dari delapan lulusan terbaik di angkatannya yang berjumlah 75 orang. Pasca kelulusannya, Chávez dipekerjakan sebagai petugas komunikasi di satuan kontrapemberontak di Barinas, walaupun pemberontak Marxis-Leninis yang menjadi target pasukan sudah diberantas dari negara bagian itu, sehingga mereka punya banyak waktu luang. Chávez sendiri aktif di tim bisbol setempat, menulis kolom di surat kabar lokal, mengadakan permainan bingo, dan menjadi juri kontes kecantikan. Pada satu saat, di dalam sebuah mobil penuh lubang peluru, ia menemukan tumpukan literatur Marxis yang kelihatannya dimiliki pihak pemberontak. Ia membaca buku-buku tersebut yang dikarang oleh para teoriwan seperti Karl Marx, Vladimir Lenin, dan Mao Zedong. Buku favoritnya adalah The Times of Ezequiel Zamora yang bercerita tentang jenderal federalis abad ke-19 yang merupakan tokoh favorit Chávez sejak kecil. Buku-buku ini semakin meyakinkan Chávez tentang perlunya mendirikan pemerintahan sayap kiri di Venezuela. Ia menyatakan resmi beralih ke paham kiri pada usia 21 atau 22 tahun

Tahun 1977, pasukan Chávez ditransfer ke Anzoátegui dan terlibat dalam pertempuran melawan Partai Bendera Merah, sebuah grup pemberontak Marxis-Hoxhais. Setelah ikut campur untuk mencegah pemukulan seorang terduga pemberontak oleh tentara lain, Chávez mulai meragukan Angkatan Darat dan metode penyiksaan mereka. Pada saat yang sama, ia semakin kritis terhadap korupsi di tubuh AD dan pemerintahan sipil. Ia percaya meski kekayaan datang dari cadangan minyak nasional, penduduk Venezuela yang miskin tidak kebagian. Ia merasa hal ini tidak demokratis. Demi mewujudkan tujuannya, ia mulai bersimpati dengan Partai Bendera Merah dan misi mereka, bukan metode kekerasannya.

Pada tahun 1977, ia mendirikan gerakan revolusi di dalam tubuh militer dengan harapan mampu mendirikan pemerintahan sayap kiri di Venezuela. Pasukan Pembebasan Rakyat Venezuela (Ejército de Liberación del Pueblo de Venezuela, atau ELPV) adalah sel rahasia di dalam militer yang terdiri dari Chávez sendiri dan sejumlah rekan tentaranya. Meski mereka tahu bahwa mereka menginginkan jalan tengah antara kebijakan sayap kanan pemerintah dan posisi sayap kiri Bendera Merah, mereka tidak punya rencana matang untuk beraksi pada saat itu. Sambil berharap mendapatkan aliansi dengan beberapa kelompok sipil kiri di Venezuela, Chávez bertemu sejumlah tokoh Marxis seperti Alfredo Maneiro (pendiri Radical Cause) dan Douglas Bravo, walaupun ada perbedaan politik di antara mereka. Pada masa itu, Chávez menikahi seorang wanita kelas pekerja bernama Nancy Colmenares. Mereka dikaruniai tiga anak: Rosa Virginia (l. September 1978), Maria Gabriela (l. Maret 1980) dan Hugo Rafael (l. Oktober 1983).

Lima tahun setelah pembentukan ELPV, Chávez membentuk sel rahasia baru di tubuh militer bernama Pasukan Revolusi Bolivarian-200 (EBR-200), yang kemudian berganti nama menjadi Gerakan Revolusi Bolivarian-200 (MBR-200). Terinspirasi dari tiga orang Venezuela yang sangat digemari Chávez, Ezequiel Zamora (1817–1860), Simón Bolívar (1783–1830), dan Simón Rodríguez (1769–1854), ketiga tokoh ini dijuluki "tiga akar pohon" MBR-200. Sambil menjelaskan dasar organisasinya, Chávez mengatakan bahwa "gerakan Bolivarian ini tidak mengusung tujuan politik... Tujuannya bersifat internal. Segala upayanya diarahkan untuk mempelajari sejarah militer Venezuela sebagai sumber doktrin militer kami sendiri yang sampai saat itu belum ada." Akan tetapi, ia selalu berharap Gerakan Bolivarian mendominasi dunia politik. Tentang pemikiran politiknya pada masa itu, Chávez menyatakan bahwa "Pohon ini [Bolívar, Zamora, dan Rodríguez] harus menjadi lingkaran. Pohon ini harus menerima semua jenis pemikiran, dari kanan, dari kiri, dari bekas ideologi sistem kapitalis dan komunis lama." Analis politik asal Irlandia Barry Cannon mengatakan bahwa ideologi awal Bolivarian jelas-jelas kapitalis, tetapi "doktrin tersebut masih dibangun, sebuah gabungan pikiran dan ideologi yang heterogen dari pemikiran universal, kapitalisme, Marxisme, tetapi menolak model neoliberal yang saat ini sedang diterapkan di Amerika Latin dan menolak model sosialis dan komunis Blok Soviet lama."

Pada tahun 1981, Chávez yang sudah menjadi kapten ditugaskan mengajar di akademi militer tempat ia belajar dulu. Ia langsung mendoktrin murid-muridnya dengan pemikiran "Bolivarian" dan merekrut beberapa orang yang bisa dijadikan anggota MBR-200, serta menyelenggarakan acara olahraga dan teater untuk para murid. Ia berhasil merekrut 30 dari 133 kadet. Tahun 1984, ia bertemu seorang janda Venezuela keturunan Jerman bernama Herma Marksman yang berprofesi sebagai guru sejarah. Karena banyak kesamaan di antara mereka, Marksman terlibat dalam gerakan Chávez dan keduanya saling jatuh cinta. Chávez sempat terlibat dalam perselingkuhan selama beberapa tahun. Figur lain yang terlibat dengan gerakan ini adalah Francisco Arias Cárdenas, seorang tentara yang tertarik dengan teologi pembebasan. Posisi Cárdenas dalam kelompok ini naik dengan cepat, meski memiliki konflik ideologi dengan Chávez. Chávez yakin mereka harus melancarkan aksi militer langsung untuk menggulingkan pemerintah, tetapi Cárdenas menganggap tindakan ini terburu-buru.

Sayangnya, sejumlah perwira militer senior curiga terhadap Chávez setelah mendengar rumor seputar MBR-200. Karena ia tidak bisa diberhentikan secara hormat tanpa bukti, mereka memindahtugaskannya supaya tidak bisa merekrut orang baru dari akademi. Ia diminta mengambil alih komando barak terpencil di Elorza, Apure. Di sana ia terlibat dalam penyelenggaraan acara sosial dan melakukan kontak dengan suku pribumi yang belum terjamah, Cuiva dan Yaruro. Walaupun mereka menjadi tidak percaya karena pasukan Venezuela sebelumnya menangani mereka dengan cara yang salah, Chávez mendapatkan kepercayaan mereka dengan bergabung dalam ekspedisi antropologi. Pengalamannya dengan mereka kelak menjadi alasan Chávez untuk memperkenalkan hukum yang melindungi hak-hak suku pribumi. Saat liburan, ia menapak tilas rute yang ditelusuri kakek buyutnya, revolusioner Pedro Pérez Delgado (dikenal sebagai Maisanta), untuk mempelajari sejarah keluarganya. Dalam perjalanan tersebut, ia bertemu wanita yang memberitahu Chávez bagaimana Maisanta menjadi pahlawan lokal setelah menyelamatkan seorang gadis yang diculik. Tahun 1988, setelah naik pangkat menjadi mayor, Jenderal Rodríguez Ochoa mulai menyukai Chávez dan mempekerjakannya sebagai asisten di kantornya di Caracas

Saat Chávez dan anggota senior MBR-200 dipenjara, hubungannya dengan Herma Marksman berakhir bulan Juli 1993. Marksman kemudain menjadi penentang Chávez. Pada tahun 1994, Rafael Caldera (1916–2009) dari Partai Konvergensi Nasional yang sentris terpilih sebagai presiden. Sesaat setelah menduduki jabatan, ia membebaskan Chávez dan anggota MBR-200 lainnya sebagai wujud janjinya sebelum pemilu. Caldera melarang mereka kembali ke militer demi mencegah kudeta selanjutnya. Pasca pembebasannya, Chávez mengadakan tur 100 hari ke seluruh penjuru Venezuela untuk mempromosikan revolusi sosial Bolivariannya. Ia saat itu hidup dari uang pensiun militernya yang sedikit ditambah sumbangan dari para pendukungnya. Ia terus menafkahi ketiga anak dan ibunya, Nanci Colmenares, meski sudah bercerai. Dalam turnya, ia bertemu Marisabel Rodríguez yang kelak melahirkan seorang putri sesaat sebelum dinikahi Chávez tahun 1997.

Selama tur keliling Amerika Latin untuk menggalang dukungan asing atas gerakan Bolivariannya, ia mengunjungi Argentina, Uruguay, Chili, Lolombia, dan terakhir Kuba. Di Kuba, pemimpin komunis Fidel Castro (1926–) menyusun jadwal untuk bertemu Chávez. Setelah beberapa hari menetap di Kuba, Chávez dan Castro menjadi sahabat. Chávez pun menganggap Castro sebagai sosok ayahnya. Sepulangnya ke Venezuela, Chávez gagal merebut perhatian media arus utama atas tujuan-tujuan politiknya. Sebaliknya, ia mendapatkan simpati dari surat kabar dan media lokal yang kecil. Sebagai bagian dari ketidaksukaannya terhadap pihak penguasa, Chávez semakin kritis terhadap Presiden Caldera yang kebijakan ekonomi neoliberalnya mengakibatkan inflasi. Caldera juga menahan jaminan konstitusional dan menahan sejumlah pendukung Chávez. Menurut PBB, pada tahun 1997, pendapatan per kapita warga Venezuela turun menjadi US$2.858 dari US$5.192 tahun 1990, sementara tingkat kemiskinan naik 17,65% sejak 1980. Tingkat pembunuhan dan kejahatan lain berlipat ganda sejak 1986, khususnya di Caracas. Standar hidup juga ikut jatuh. Ketidakpuasan yang meluas terhadap sistem demokrasi perwakilan di Venezuela menciptakan celah antara pihak penguasa dan yang dikuasai yang mengidam-idamkan pemimpin populis.

Gerakan Bolivarian kemudian berbeda pendapat apakah mereka harus memimpin dalam pemilu atau terus percaya bahwa tindakan militer adalah satu-satunya cara membawa perubahan politik. Chávez adalah pendukung pendapat yang terakhir. Ia yakin oligarki tidak akan mengizinkannya memenangkan pemilu, sementara Francisco Arias Cárdenas bersikukuh agar mereka ikut serta dalam proses demokrasi perwakilan. Cárdenas sendiri membuktikan kata-katanya dengan memenangkan pemilu gubernur negara bagian Zulia pada Desember 1995 setelah bergabung dengan partai sosialis Tujuan Radikal. Setelah berubah pikiran, Chávez dan para pendukungnya di gerakan Bolivarian memutuskan untuk mendirikan partai politiknya sendiri, Gerakan Republik Kelima (MVR – Movimiento Quinta República) pada Juli 1997 dengan tujuan mendukung pencalonan Chávez pada pemilihan umum presiden Venezuela 1998

Majalah Time memasukkan Hugo Chávez dalam daftar 100 tokoh paling berpengaruh di dunia tahun 2005 dan 2006. Dalam daftar "Pahlawan Sejarah" tahun 2006 yang disusun majalah New Statesman, ia menempati peringkat ke-11. Tahun 2010, majalah tersebut memasukkan Chávez dalam daftar tahunan 50 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia. Penulis biografinya, Marcano dan Tyszka, percaya bahwa dalam hitungan tahun masa pemerintahannya, ia "sudah mendapatkan tempat dalam sejarah sebagai presiden yang paling dicintai dan diagungkan rakyat Venezuela, presiden yang menginspirasi semangat terdalam dan perubahan terbesar secara bersamaan."

Seumur hidupnya, Chávez mendapatkan sejumlah gelar kehormatan:

1. Doktor Kehormatan dalam Ilmu Politik – Diberikan oleh Universitas Kyung Hee (Korea Selatan) pada 16 Oktober 1999.

2. Doktor Kehormatan dalam Yurisprudensi – Diberikan oleh Universidad Autónoma de Santo Domingo (Republik Dominika) pada 9 Maret 2001.

3. Doktor Kehormatan – Diberikan oleh Universitas Brasília (Brasil) pada 3 April 2001.

4. Doktor Kehormatan – Diberikan oleh Akademi Diplomatik Kementerian Luar Negeri (Federasi Rusia) pada 15 Mei 2001.

5. Doktor Kehormatan dalam Ilmu Ekonomi – Diberikan oleh Fakultas Ekonomi dan Perdagangan Universitas Beijing (Republik Rakyat Cina) pada 24 Mei 2001.

6. Hugo Chávez mendapatkan penghargaan purnawirawan Order of the Republic of Serbia

Pada tanggal 5 Maret 2013, Wakil Presiden Nicolás Maduro mengumumkan di televisi nasional bahwa Chávez telah meninggal dunia di Caracas pada pukul 16:25 waktu setempat. Wapres menyatakan Chávez meninggal "setelah berjuang melawan penyakit yang dideritanya selama hampir dua tahun." Wapres Maduro dan para pendukung Chávez mencurigai ada permainan di balik penyakit yang diderita Chávez dan kematiannya. Pemakaman Chávez rencananya akan dilakukan di Caracas. Maduro berspekulasi Chávez telah diracun. Pada pidato itu pula, Maduro memaksa pulang atase kedubes Amerika Serikat karena dianggap melakukan "plot terhadap pemerintah" Venezuela. Chávez sendiri mengklaim dirinya sebagai "korban upaya pembunuhan oleh A.S." Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyebut tuduhan tersebut "mengada-ada".

Sesuai konstitusi Venezuela, pemilu presiden harus diadakan dalam kurun 30 hari pasca kematian Chávez. Menteri Luar Negeri Venezuela menyatakan bahwa Wapres Nicolas Maduro akan menjabat sebagai presiden sementara.

editor : Gian Tue Mali
Share this article :

Post a Comment

 
Contact Us : Facebook | Twitter | Feeds
Copyright © 2011. Himappen Jabodetabek - All Rights Reserved
Great Created by Creating Website Modify by Agaz Santiago
Proudly powered by Blogger