Home » , , , » MEMAHAMI REFORMASI GEREJA DALAM PERSPEKTIF ILMU POLITIK: SUATU TINJAUAN KRITIS ATAS KARYA MCDONALD

MEMAHAMI REFORMASI GEREJA DALAM PERSPEKTIF ILMU POLITIK: SUATU TINJAUAN KRITIS ATAS KARYA MCDONALD

Written By Unknown on March 20, 2013 | 4:50 PM

himapenjakarta.blogspot.com
Setelah membaca dengan seksama buku karangan McDonald yang berjudul ‘Western Political Theory’ dengan kekhususan pada bagian 2, bab 9 tentang Reformasi dan Dampak Politiknya, maka dapat disusun suatu telaah kritis sebagai berikut.
Sebagai bahan kajian ilmiah, peristiwa reformasi agama di Eropa dapat ditempatkan sebagai peristiwa sejarah. Suatu peristiwa memiliki nilai sejarah apabila bersifat unik dan memiliki dampak yang luas bagi kehidupan manusia. Para teoritikus tradisional, seperti Sabine memandang pendekatan sejarah sebagai hal yang sangat penting. Teori politik menurut Sabine, senantiasa ‘mengacu pada situasi yang agak khusus’, sehingga rekontruksi, tempat dan keadaan yang melahirkan teori-teori politik itu sangat perlu dipahami. Kenyataan bahwa teori politik senantiasa berakar pada ‘situasi khusus’ tidak berarti bahwa ia tidak mempunyai keterkaitan dengan masa yang datang. Teori politik yang pokok tidak hanya meliputi analisa situasi sesaat, tetapi juga menunjuk pada situasi-situasi yang lain. Teori politik semacam itu, sekalipun merupakan produk dari keadaan sejarah tertentu, akan tetap mempunyai nilai dalam waktu-waktu mendatang. Inilah sifat universal teori politik yang menyebabkannya tetap ditoleh. Menurut Sabine, teori politik mempunyai tiga elemen dasar, yaitu: faktual, kausal dan penilaian. 
Beranjak dari pemikiran Sabine itu, maka kita dapat melihat dan memahami secara lebih jelas ‘situasi khusus’ Reformasi Agama di Eropa (abad XIV-XVI) dan pengaruhnya terhadap pemikiran politik serta pengaruhnya terhadap bidang-bidang lainnya sebagaimana dipaparkan oleh McDonald. Pemaparan McDonald dapat dianalisis dengan penghampiran sejarah. Di dalam sejarah lebih dari 2500 tahun yang lalu, tercatat ada dua tempat dimana filsafat politik telah berkembang dengan subur selama kurang lebih lima puluh tahun, yakni : 1) di Athena, antara tahun 350 SM sampai tahun 375 SM, pada saat Plato dan Aristoteles menulis karya besar mereka, dan 2) di Inggris, antara tahun 1640 sampai tahun 1690, pada saat Hobbes, Locke dan para pemikir lainya mengembangkan teori – teori politik mereka. Kedua periode ini merupakan periode perubahan penting dalam sejarah sosial dan intelektual di Eropa. 
Perkembangan yang kedua tersebut pada dasarnya merupakan implikasi dari perubahan radikal yang terjadi dalam peradaban bangsa Barat (Eropa). Perubahan radikal yang menandai terbentuknya peradaban politik modern tersebut adalah: pertama, gerakan Renaisans (Renaissance), suatu pencerahan dalam aspek kehidupan dunia yang inspirasi awalnya digerakkan oleh adanya penemuan (invention) baru dibidang sains dan teknologi. Kedua, gerakan Reformasi (reformation), suatu pencerahan dalam aspek kehidupan keagamaan yang inspirasi awalnya digerakan oleh adanya kesadaran baru di bidang teologi Kristiani dan aplikasi ajaranya.
Fokus kajian dalam analisa ini lebih ditekankan pada gerakan Reformasi agama di Eropa dan dampaknya terhadap pemikiran politik, terutama pemikiran politik Barat. Menurut Burn dan Ralp dalam bukunya, World Civilization (1964), bahwa kemunculan gerakan reformasi Protestan Eropa karena alasan-alasan keagamaan. Sekalipun demikian dampak dari refromasi tersebut menentukan perjalanan nasib seluruh dunia. Menurut Karen Amstrong, abad kelima belas dan keenam belas adalah abad paling menentukan bagi semua umat beragama. Periode ini merupakan periode paling krusial, khususnya bagi Kristen Barat, yang bukan hanya berhasil mengejar ketertingalannya dari kebudayaan-kebudayaan lain dalam oikume tetapi bahkan nyaris menaklukannya. Dua abad ini telah menjadi saksi bagi Renaisans Italia yang dengan cepat menyebar ke Eropa Utara, serta penemuan Dunia Baru dan awal revolusi ilmiah yang akan menimbulkan pengaruh sangat menentukan bagi perjalanan nasib seluruh dunia. Pada akhir abad keenam belas, Barat mulai menciptakan bentuk peradaban yang sangat berbeda. Periode ini merupakan sebuah masa transisi dan, karenanya, ditandai oleh kecemasan dan berbagai prestasi. 
Hal ini terlihat dengan jelas dalam konsepsi Barat tentang Tuhan pada peride tersebut. Kontradiksi konsepsi Tuhan inilah yang tampaknya menjadi substansi kunci terjadinya reformasi agama di Eropa. Di tengah keberhasilan sekular mereka, orang Barat semakin menaruh perhatian pada iman melebihi masa-masa sebelumnya. Kaum awam merasa tidak puas terhadap bentuk agama yang tak mampu lagi memenuhi kebutuhan mereka di dunia yang baru. Para reformis semisal Marthin Luther dan Calvin menyuarakan kegelisahan ini dan menemukan cara baru dalam memandang Tuhan dan penyelamatan. Akibatnya Eropa terpecah ke dalam dua kubu yang saling bertikai - Katolik dan Protestan – yang hingga kini tak pernah benar-benar bebas dari kebencian dan saling curiga satu sama lain. Selama masa Reformasi, kaum pembaharu Katolik dan Protestan menghimbau para penganutnya agar meninggalkan kesetiaan lahiriah kepada orang-orang suci dan para malaikat, dan memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Pada masa itu, Eropa tampaknya sedang terobsesi oleh Tuhan. Namun demikian, pada awal abad ketujuh belas, beberapa diantara mereka terobsesi tentang ‘ateisme’. 
Jika ditelusuri lebih jauh, Gerakan Reformasi agama pada mulanya hanya tindakan protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman terhadap kekuasaan imperium Katolik Roma saat itu. Dalam perkembangan selanjutnya gerakan tersebut menjadi gerakan keagamaan yang terorganisir yang memiliki perbedaan pandangan keagamaan dengan pandangan mainstream masa itu. Gerakan Reformasi Protestan ini dipelopori oleh Martin Luther, Johanes Calvin, Zwingli, Jhon Knox dan yang lainnya. Gerakan ini sangat berdampak luas tidak hanya dalam bidang teologi, tetapi juga merambah ke bidang lainnya, yaitu sosial, politik dan sejarah masyarakat Eropa. Para reformator menentang eksistensi kekuasaan yang absolut dari Paus sebagai pemegang tahta tertinggi Kristen yang berpusat di Vatikan, Roma. Fenomena menunjukkan adanya pergeseran yang demikian hebat dalam tubuh penganut keyakinan Kristiani di Eropa. Walaupun para reformator tetap mempertahankan prinsip-prinsip utama ajaran Katolik, yakni kepercayaan akan ketuhanan serta dua sifat Yesus serta Trinitas (Tuhan Allah, Bapak, dan Roh Kudus), gagasan mereka telah menumbuhkan paradigma baru di dalam ritus-ritus keagamaan dan etos Kapitalisme di Barat. Oleh karena itu tidak berlebihan bila dikatakan Niebuhr bahwa reformasi merupakan fase keagamaan modern bagi peradaban Barat dan sebagai kelanjutan dari gerakan Renaisans yang memiliki prinsip-prinsip seperti nikmat hidup, manusia pada hakikatnya baik, percaya pada akal, dan toleransi.
Gerakan pembaharuan apapun, termasuk gerakan reformasi senantiasa dimaksudkan untuk merekontruksi keadaan yang ada. Gerakan ini dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan yang ada, baik karena kebutuhan maupun sebagai korekasi atas penyimpangan yang terjadi. Bagi kalangan Kristiani yang menuntut reformasi atau pembaruan mereka melihat telah terjadi berbagai penyimpangan yang demikian hebat dalam tubuh keagamaan yang berlangsung selama berabad-abad.
Dominasi gereja yang dogmatis bukan hanya berpotensi menumbuhkan penyimpangan pihak Gereja, tetapi juga menghambat perkembangan peradaban yang bersandar pada rasionalitas. Pertentangan dunia gereja dengan intelektual atau rasionalitas, telah menimbulkan kritik dari beberapa pemikir, tetapi selalu gagal. Perlawanan itu, secara dramatis misalnya dialami G. Bruno yang tewas dibakar karena berusaha meluruskan penyimpangan itu. Penyimpangan itu terjadi dalam berbagai bentuk yang dapat di jelaskan sebagai berikut; pertama, banyak pemuka Katolik memperoleh posisi sosial keagamaan melalui cara-cara yang tidak etis dan amoral, dengan cara menyogok petinggi gereja untuk berkuasa. Sebagai contoh kasus paus Leo X, ia mendapatkan $5.250.000 (?) per tahun dari hasil penjualan jabatan-jabatan gerejani; 
Kedua, penjualan surat pengampunan dosa (indulgencies), merupakan penyimpangan lainya yang turut memicu lahirnya reformasi Protestan. Ketika membangun Gereja Sento Petrus di Roma Vatikan, Paus Leo X, mengumpulkan dana dengan menjual surat itu dan bagi yang membelinya akan memperoleh ampunan Tuhan. Besarnya ampunan berbanding lurus dengan besarnya uang yang dibayarkan. Lebih jauh lagi, Paus berani mendeklarasikan bahwa surat pengampunan itu dapat menghapus dosa orang-orang, yakni sanak keluarga, sahabat dan lainya yang telah meninggal dunia; ketiga, pada wilayah ritualitas, Gereja Katolik telah menjadi agen utama untuk veneration of relics; sakramen suci atau ritus pemujaan terhadap benda-benda keramat atau tokoh suci (Yesus,Bunda Maria, serta para santo) dalam sakramen suci. Para pemuka agama, pastor misalnya yang pada hakikatnya memiliki sifat-sifat manusia juga mengalami pengkultusan, dengan dianggap keramat. Bagi kalangan reformator, sakramen, pemujaan dan pengkultusan itu menimbulkan tahayul serta mitologisasi yang tidak masuk akal. Hal lainnya paham Agustianisme yang mengasumsikan manusia hanya sebagai objek penderita di hadapan Tuhan dianggap sebagai penyebab fatalisme sosial.
Keempa, masalah penetapan pajak yang diterapkan imperium gereja Katolik. Penerapan pajak dalam berbagai bentuk menyebabkan penduduk terutama kalangan kelas bawah (petani, pekerja) serta lainya dalam keadaan tertekan dan menimbulkan kisis ekonomi serius, ketimpangan sosial serta kecemburuan sosial di kalangan kaum bangsawan lokal yang kemudian menuntut agar pajak itu dihapuskan. Dalam hal pembangunan Gereja terjadi ketimpangan antara wilayah Vatikan dengan daerah lainnya, misalnya Jerman.

Lahirnya Gerakan Reformasi juga di dorong oleh faktor eksternal lainnya. Kapitalisme yang tumbuh di Eropa sejak masa renaisans saat itu telah mendorong digugatnya doktrin keagamaan serta krisis ekonomi di kawasan Roma telah menjadi katalisator lahirnya gerakan reformasi. Perkembangan Kapitalisme, menuntut reinterpretasi (penafsiran ulang) terhadap doktrin Katolikisme, seperti paham pembuangan uang, apakah dihalalkan atau diharamkan. Kegagalan gereja dalam mengantisipasi krisis ekonomi telah menimbulkan krisis kepercayaan. Peran kaum bangsawan (penguasa lokal) menjadi memiliki peranan penting dalam membidani lahirnya gerakan Reformasi Protestan bersama kalangan reformator. Dukungan dari masing-masing pihak bukan semata kesamaan cita-cita, juga adanya kesadaran akibat terjadinya penyimpangan dalam keagamaan Kristiani. Masalah cita-cita, ini berkaitan juga dengan semangat nasionalisme, yakni keinginan mereka untuk melepaskan diri dari ikatan kekuasaan spiritual maupun politik imperium Romawi Katolik dengan bermaksudmembentuk pemerintahan sendiri dengan batas wilayahnya sendiri. Cita-cita nasionalisme inilah yang kemudian mendorong untuk terbentuknya apa yang dikenal kemudian sebagai negara bangsa. 
Perkembangan dari Gerakan nasionalisme tersebut dapat dilihat dalam berbagai bentuk. Di Ingris, misalnya hak Paus untuk mengangkat pejabat gereja dihapuskan, di Perancis hak Paus menarik pajak dan mengangkat pejabat juga dihilangkan dan hakim sipil diberikan wewenang penuh untuk mengatur persoalan keagamaan di wilayahnya. Di Jerman semangat nasionalisme termanifestasi dalam bentuk pemberontakan terhadap pendeta serta penentangan yang gigih terhadap penjualan surat pengampunan dosa. 
Dengan demikian Reformasi Protestan menjadi menjadi agen utama perubahan sosial dan politik di Eropa. Runtuhnya imperium Roma yang diikuti lahirnya negara-negara otonom menandai lahirnya eksistensi negara sekuler. Disamping itu juga melahirkan absolutisme raja-raja di Eropa. 
Dari sisi hubungan penganut penganut agama, telah terjadi fragmentasi hubungan yang berujung pada pertikaian untuk masa yang berabad-abad lamanya. Bahkan pertentangan antara Calvinisme dengan Katolik telah melahirkan gerakan anti historical Christianity (agama Kristen yang termanifestasi dalam sejarah). Hal ini menyebabkan dihancurkanya berbagai karya seni dalam bentuk fisik yang berbau Katolisisme dihancurkan oleh kaum Protestan. Konflik seagama itu pada puncaknya hampir menghancurkan Prancis. Dalam catatan sejarah telah terjadi delapan kali perang saudara dari 1962-1593. Kota, desa, keluarga telah terjadi keretakan sosial keagamaan, bahkan pembantaian massal. 
Dengan adanya Reformasi Gereja, maka terjadi diversifikasi aliran di dalam tubuh Kristen. Aliran-aliran itu antara lain: Lutherisme, Calvinisme, Anglicanisme, Quakerisme, Katolikisme. Perkembangan aliran ini juga diikuti dengan terbentuknya sekat-sekat geografis. Hal itu dapat dilihat dengan tumbuhnya Lutherisme di Jerman Utara serta negara-negara Skandinavia (Swedia dan Norwegia). Sementara Skotlandia, Belanda, Switzerland dan Prancis menganut Calvinisme, Inggris menganut Anglicanisme, negara-negara Eropa lainya seperti Spanyol dan Italia menganut Katolikisme (Ortodoks). 

• Sumbangan Pemikiran Politik Para Reformator
Selain kontribusi Gerakan Reformasi secara keseluruhan terhadap perubahan peradaban di Eropa, perlu juga dikaji pemikiran para agen yang berperan menggulirkan terjadinya reformasi tersebut. Dalam konteks ini secara terbatas kita dapat mengkaji pemikiran politik Martin Luther (1483-1546) dan John Calvin (1509-1564). Keduanya memiliki perbedaan gagasan secara artifiasial, tetapi tidak secara subtansial. Gerakan yang dipelopori keduanya, sama-sama berakar pada tradisi protes, menentang aristokrasi, dan terkait penegakkan pemerintahan sekuler.
Perbedaan diantara keduanya, bahwa Luther pemikiranya lebih liberal daripada Calvin, ia telah mendirikan gereja-gereja negara yang dikuasai oleh kekuasaan politik yang bersifat sekuler, lebih-lebih dengan perpecahan dari gereja yang tunggal, penindasan terhadap lembaga kebiaraan dan badan-badan kepaderian serta penarikan kembali hukum Canon ini semua yang menghilangkan rintangan untuk mempercepat perubahan itu. Dalam istilah Peter L. Berger, apa yang dikerjakan oleh Luther di sebut debunking, penelanjangan segala mitos keagamaan dan sosial dalam lembaga keagamaan kristiani. Luther membongkar mitos gereja dan Paus. 
Di bidang politik, Luther secara tegas menolak doktrin universal Paus, menurutnya kekuasaan paus tidak universal sebab Paus harus mengakui kekuasaan para pangeran atau penguasa sekuler menurut prinsip-prinsip kenegaraaan yang berdasarkan nasionalisme. Tampaknya karena gagasan inilah yang membuat Luther memperoleh dukungan luas dari para pengauasa dan bangsawan. Akibatnya Imperium Katolik Roma tidak berani berbuat sewenang-wenang terhadap Luther sebagaimana para pengkritik sebelumnya. Misalnya Bruno dan Savanarola. Luther hanya dieksomunikasi (dipecat) dari jabatan keagamaannya.
Secara tegas dalam konteks hubungan negara dan agama, Luther menghendaki adanya pemisahan yang jelas. Paus harus mengakui otoritas politik penguasa negara dan tidak mencampuradukannya dengan otoritas agama. Tuntutan ini membuahkan hasil dengan ditempatkannya gereja menjadi subordinasi dan bagian integral negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tuntutan Luther secara keseluruhan berhasil. Negara-negara Eropa, terutama Jerman menjadi pendukung terwujudnya gagasan Luther. Gerakan Reformasi Kritiani ini yang kemudian terkenal sebagai Protestan membawa implikasi yang luas bagi tumbuhnya federalisme, nasionalisme dan separatisme yang mengakibatkan Imperium Roma mengalami demoralisasai. Eropa yang semula menjadi entitas politik dengan dengan Katolik Roma sebagai pusatnya, mulai mengalami disintegrasi politik yang terpecah-pecah ke dalam unit-unit negara yang otonom. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Luther telah mendorong lahirnya kekuasaan mutlak ke tangan kalangan bangsawan/pangeran/penguasa negara. Gagasan ini kemudian mempengaruhi praktek dan pemikiran politik Barat. 
Menurut Luther, seorang Kristiani yang benar hidup dan bekerja di dunia tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk tetangga, maka pedang sangat diperlukan dan memang perlu bagi seluruh dunia untuk memelihara perdamaian, untuk menghukum mereka yang berdosa dan untuk menghalangi kejahatan. Ia pun harus dengan suka rela benar tunduk pada pengaturan pedang, membayar pajak, membantu, dan berbuat apapun untuk melanjutkan keberadaan pemerintahan, sehingga ia dapat dipertahankan dan diakui dengan kehormatan dan rasa takut. Menurut G.H. Sabine, pandangan politik Luther lebih banyak dipengaruhi oleh filosofinya tentang ‘keadaan dan taat pasif’, baginya bahwa perlawanan terhadap kekuasaan sipil dalam semua keadaan moral adalah salah. 
Tokoh refromasi kedua yang perlu dikaji pemikirannya disini adalah John Calvin. Berbeda dengan Luther, pemikiran calvin jauh lebih konservatif. Ajaran Calvin sangat menentang liberalisme, konstitualisme atau asas-asas perwakilan. Tampaknya ajaran Calvin yang mengarah ke teokrasi, dan semacam Oligarki yang dijalankan persekutuan antara gereja dan bangsawan. Calvininisme tidak menyukai kebebasan, tetapi menyukai penjajahan dan bersifat reaksioner. Ciri pemerintahan semacam ini dapat dilihat di Jenewa dan pemerintahan puritan di Masschusetts. Jadi Calvin mendasarkan diri politiknya yang menggabungkan negara dengan gereja. Oleh karena itu kita dapat berkesimpulan bahwa teori Calvin tentang gereja lebih sesuai dengan semangat ajaran keagamaaan abad pertengahan yang ekstrem, serupa yang dianut kaum Katolik nasional, sebab itu pula bagi anggota gereja nasional Calvin dan Jessuit seakan-akan dua nama untuk hal yang sama. 
Dalam pandangan G.H. Sabine, bahwa gereja di Belanda, Irlandia, dan Amerika merupakan alat utama bagi penyebaran paham yang membenarkan perlawanan di seluruh Eropa Barat. Kenyataan bahwa aliran Calvin khususnya di Prancis dan Skotlandia, berlawanan dengan pemerintah, pada dasarnya dilakukan oleh pengikutnya untuk bertindak murtad suatu hal yang biasa di Jenewa dilakukan, sepanjang ada harapan akan menangnya gerakan reformasi di Perancis. Calvin lebih menempatkan dua pedang daripada adat Kristen dalam gereja, dan lebih memberikan pimpinan kekuasaan keduniawian kepada pejabat gereja daripada penguasa keduniawian. Hasilnya menyerupai pemerintahan para suci yang tidak mengenal toleransi. Ia lebih merupakan kepercayaan dalam ajaran keduniawian tentang disiplin yang bersifat kuasi-militer. Dengan demikian, Calvin menghabiskan kekayaan kata hukum Romawi untuk melukiskan kekuasaan tertinggi dari Tuhan atas dunia dan manusia. Kesusilaan tidak begitu banyak mengajar kasih terhadap sesamanya. Moral inilah yang menjadikan gereja-gereja Calvin bagian dari Protestan yang militan sekali. 
Pemikiran politik Calvin sendiri lebih condong ke arah oligarki daripada monarki, dalam ajaranya hanya ada ruang untuk seorang raja saja, yakni Tuhan itu sendiri. Prinsip dasar ajarannya yang terpenting adalah adanya hak gereja untuk menetapkan ajaran yang suci dan menjalankan pengawasan umum dengan bantuan keduniawian. Oleh sebab itu dalam pandangan gereja Calvin, apabila dalam suatu negara yang para penguasanya menolak untuk menerima kebenaran ajaranya serta memaksakan disiplinnya, makai ia harus melepaskan kewajiban untuk taat dan mempertahankan haknya untuk melawan. 
Sekalipun pemikiran calvin dan Luther berpengaruh terhadap praktek penyelenggaraan pemerintahan di Eropa, tetapi Gerakan Reformasi tidak menghasilkan teori politik protestan. Berbeda dengan Katolik yang menghasilkan ajaran politik Katolik pada abad pertengahan. Perbedaan dan persamaan tersebut karena keadaan dan peranan gereja di dalam agama. 
Pada akhirnya kita dapat kita dapat menarik kesimpulan bahwa Reformasi Agama di Eropa telah membawa perubahan di bidang keduniawaian, namun pada sisi teologis akan tetap menyisakan persoalan. Kedua kekuatan antara Katolik dan Protestan itu masing-masing kukuh pada pendiriannya masing-masing. Pertarungan ini tidak dapat diselesaikan melalui kalim kebenaran, melainkan oleh kekuasaan. Sejarah Barat maupun Timur telah membuktikan bahwa kebenaran yang dipaksakan dari penguasa di dalam bidang agama maupun politik akan cenderung ditolak, dan inilah pengalaman yang dituai oleh Gereja Katolik Roma. 


Daftar Pustaka
McDonald. 1968. Weatern Political Theory. New York: Harcourt Brace Jovanovic
B. Tambahan
Durant, Will. 1966. Story of Civilizaton, The Age of Reformaton. New York: Editon Service A. A. Geneva
Ernest Renant. 1968. Apakah Bangsa Itu (terj.). Jakarta: Erlangga
Amstrong, Karen. 1993. A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. New York: Ballantine Books
Kohn, Hans. 1969. The Idea of Nasionalism A. Study in Its Origins and Background. Toronto: Colier Books
Marshar, Burns Edwar dan Philip Loe Ralp. 1964. World Civilization from Ancient to Contemporary. New York: W. W. Norton And Company
Nisbet. 1983. The Social Philosopers, Community and Conflict in Western Thougt. New York: Washingtone Squre Press
Noer, Deliar. 1999. Pemikiran Politik Barat.Bandung: Mizan
H. Sabine, George. What is Political Theory, dalam Gould dan Thursby (eds), Journal of Politics, Vol. I, No. 1, Februari 1939
H. Sabine, George. 1981. Teori-Teori Politik 2; Pertumbuhan dan Perkembangannya. Bandung: Binacipta
H. Coates, Wilson dan Hayden V White. tt. The Emergence of Liberal Humanism. New York: Mc Graw-Hill
Sharma. 1982. Weatern Political Though (Plato to the Hugo Grotius). New Delhi Stering: Publisher Private Ltd.
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia
Varma, S.P. 1987. Teori Politik Modern (terj). Jakarta: Rajawali Pers

oleh : Gian Tue Mali
Share this article :

Post a Comment

 
Contact Us : Facebook | Twitter | Feeds
Copyright © 2011. Himappen Jabodetabek - All Rights Reserved
Great Created by Creating Website Modify by Agaz Santiago
Proudly powered by Blogger