Home » , , , , » PILKADA SERENTAK ANTARA DEMOKRASI SUBSTANSI DAN DEMOKRASI PROSEDURAL

PILKADA SERENTAK ANTARA DEMOKRASI SUBSTANSI DAN DEMOKRASI PROSEDURAL

Written By Unknown on December 10, 2015 | 12:37 PM




Oleh : Fransiskus X. Gian Tue Mali
gfrank25.gf@mail.com 

Pemilihan umum sebagai salah satu unsur penting demokrasi dalam usaha mewujudkan pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, dari rakyat, dan diharapkan pemerintahan yang dipilih mampu bekerja untuk rakyat, merupakan perwujudan keikutsertaan rakyat dalam aktivitas politik sebagai subjek dan juga objek politik. Pemilu juga diharapkan sebagai wujud partisipasi rakyat untuk memilih pemimpin politik, pemimpin lembaga negara baik eksekutif maupun legislatif baik di tingkat nasional maupun daerah, merupakan representasi Hak Asasi rakyat dalam sistem demokrasi. Menurut Robert Dahl, Pemilu merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilu menjadi suatu parameter dalam mengukur demokratis atau tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi di dalam sistem politik dipilih melalui Pemilu yang adil, jujur dan berkala.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disepakati untuk langsung dipilih oleh rakyat. Pilpres sebagai bagian dari rezim pemilu di adakan pertama kali dalam pemilu Tahun 2004. Pada tahun 2007, berdasarkan undang-undang Nomor 22 Tahun 2007, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pemilukada sebagai turunan dari perwujudan Pemilu tersebut tentu perlu mengedepankan nilai-nilai diatas. Sejak dilangsungkannya Pemilukada pada tahun 2005, rakyat di daerah diberi hak asasinya untuk memilih secara langsung kepala daerahnya sesuai dengan hati nuraninya sendiri, asas one man one vote menunjukkan diberinya hak yang sama bagi setiap individu untuk memilih. Suara seorang tukang ojek di terminal Oebobo harganya sama dengan suara yang diberikan seorang direktur perusahaan di gedung bertingkat, sama-sama dihitung satu. Suara yang diberikan setiap individu menentukan siapa kepala daerah maupun wakilnya untuk masa 5 tahun kedepan.
Nilai kesetaraan, kejujuran, keadilan, hak asasi, dan partisipasi politik merupakan nilai-nilai yang harus ada dalam Pemilu. Namun terkadang suara rakyat didengar dan dihargai oleh elit politik hanya saat pemilu itu berlangsung. Termasuk di dalam Pemilukada. Suara seorang mama tua di bawah kaki gunung Inerie dihargai begitu tinggi oleh para elit politik pada saat Pemilu, namun ketika suara tersebut didapat dan para elit menempati jabatan politis, suara mama tua tersebut tidak akan pernah didengar lagi, apalagi dihargai. Mama tua di bawah kaki gunung Inerie itu hanyalah miniatur kecil dari demokrasi di Indonesia selama ini. Ketika pemilu berlangsung para elit dan agen-agen politiknya menyebar dari kampung ke kampung mempromosikan paket calon kepala daerah yang diusungnya, mulai dari sosialisasi persuasif, pendidikan politik, rayuan gombal penuh janji, hingga yang paling buruk seperti aksi pemaksaan, isu SARA hingga praktek Money politics atau pemberian sembako hanya untuk mendapatkan suara rakyat. Tetapi setelah pemilu selesai, suara-suara itu hanya ada di ruangan kosong, diteriakan dijalan sekalipun tidak akan pernah didengar. Inilah pengkhianatan terhadap nilai-nilai diatas.
Inilah perwujudan demokrasi kita, demokrasi yang dilaksanakan hanya sebatas pada aspek prosedural saja. Makna demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat pemilih dibutuhkan dan didulang hanya ketika pemilu datang.  Pemilu termasuk Pemilukada merupakan sarana bagi pemimpin yang terpilih untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat, oleh karena itu ada tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa. Pertama, melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu, pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat. Tak mengherankan apabila menurut beberapa ahli politik aliran fungsionalisme, pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi pemerintah untuk meningkatkan respon rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, dan pada saat yang sama memperkecil tingkat oposisi terhadapnya. Ketiga, dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan untuk mempertahankan legitimasinya.
Setelah mendapatkan legitimasi dari rakyat sebagai hasil pemilu maka pemimpin yang terpilih sudah seharusnya mempertanggungjawabkan kepercayaan rakyat yang diberikan kepadanya dalam bentuk menjalankan pemerintahan yang pro rakyat. Pro rakyat artinya terus mendengarkan suara rakyat baik itu berupa keluhan, kritik, maupun saran yang kemudian diwujudkan dalam bentuk kebijakan, program, dan keputusan. Karena rakyat dan pemerintah adalah dua sisi mata uang yang tidak akan pernah terpisahkan selama negara ini berdiri sebagai negara demokrasi, maka suara rakyat adalah suara yang harus terus didengarkan dan dihargai, tidak hanya saat pemilu saja, kemudian diartikulasikan oleh pemimpin terpilih. Suara rakyat adalah beban yang harus dipikul, tanggungjawab yang harus diemban oleh setiap orang yang mendapatkan suara mayoritas. Disinilah makna demokrasi itu sesungguhnya.
Pemerintahan yang demokratis dibangun diatas suara rakyat, dijalankan berdasarkan suara rakyat, dan kembali kepada perwujudan dari suara rakyat itu sendiri. Oleh karena itu tidak heran jika Jean Jacques Rousseau, pemikir Perancis pada masa Renaisance di Eropa, menyatakan bahwa Suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei). Sehingga secara implisit demokrasi yang ingin dijalankan harus mendengarkan suara rakyat, jika di dalam Agama suara Tuhan (wahyu) adalah absolut, maka di dalam demokrasi suara rakyat adalah juga absolut, suara rakyat adalah wahyu yang harus diterima oleh setiap pemimpin dan diejawantahkan dalam kehidupan bernegara. Maka demokrasi yang didirikan bukanlah demokrasi yang hanya berdasarkan peraturan atau prosedural semata dengan menghilangkan susbtansi demokrasi itu sendiri.
Selamat kepada masyarakat di Kab. Malaka, Kab. Belu, Kab. Manggarai Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab Sumba Barat, dan Kab Timor Tengah Utara yang pada Rabu 9 Desember 2015 ini memilih para pelayan publiknya, tetap kawal demokrasi agar menjadi demokrasi yang tidak hanya demokrasi prosedural namun mampu mewujudkan demokrasi substansi di daerah anda masing-masing. Viva Demokrasi!
Share this article :

+ comments + 1 comments

September 3, 2016 at 7:34 AM

saya ibu irma seorang TKI DI SINGAPURA
pengen pulang ke indo tapi gak ada ongkos
sempat saya putus asah apalagi dengan keadaan susah
gaji suami itupun buat makan sedangkan hutang banyak
kebetulan saya buka-bukan internet mendapatkan
nomor MBAH SERO katanya bisa bantu orang melunasi hutang
melalui jalan TOGEL dengan keadaan susah terpaksa saya
hubungi dan minta angka bocoran SINGAPURA
angka yang di berikan 4D yaitu 6377 TGL 01-09-2016
ternyata betul-betul tembus 100% alhamdulillah dapat Rp.250.juta
bagi saudarah-saudara di indo mau di luar negeri
apabila punya masalah hutang sudah lama belum lunas
jangan putus asah beliau bisa membantu meringankan masalah
ini nomor hp -> (-082-370-357-999-) MBAH SERO
demikian kisah nyata dari saya tampah rekayasa
atau silahkan buktikan sendiri..

Post a Comment

 
Contact Us : Facebook | Twitter | Feeds
Copyright © 2011. Himappen Jabodetabek - All Rights Reserved
Great Created by Creating Website Modify by Agaz Santiago
Proudly powered by Blogger