Home » » Mengais Rejeki Nener

Mengais Rejeki Nener

Written By Puisi on March 3, 2013 | 11:24 PM



Selain ikan, siput, lobster dan kepiting yang merupakan hasil buruan laut, masyarakat di kecamatan Nangaroro juga mengais rejeki guna menambah penghasilan dengan mencari nener. Berbeda halnya dengan ikan, udang, atau kepiting yang dijual dan dijadikan lauk pauk, nener hanya dijual kepada penadah dalam keadaan hidup. 
Nener sangat mudah ditemukan di lautan yang dangkal atau di pinggiran muara sepanjang pantai Nangaroro.Nener adalah bakal dari ikan bandeng dengan ukuran yang sangat kecil, kira-kira seukuran jentik nyamuk. Setiap saat penadah membutuhkan bibit-bibit ikan bandeng tersebut, kami mulai ramai berbondong-bondong membawa alat penangkap tradisional menuju pantai mencari dan mengumpulkan nener sebanyak mungkin.
Nener memang lebih mudah ditangkap dengan perlengkapan tradisional. Alat tradisional yang kami gunakan untuk menangkap nener adalah rangkaian jaring berlubang kecil yang dijahit menyatu dengan dua batang bambu dengan dua bola plastik sebagai pelampungnya. Di ujung jaring disambungkan dengan karung bekas yang dilapisi plastik sehingga tidak ada celah bagi nener untuk lolos. Di ujung karung juga diikat tali agar lebih mudah ketika memasukan hasil tangkapan ke dalam wadah penampung. Hampir semua warga masyarakat di kampung Nangaroro mengais rejeki tambahan tersebut, termasuk saya dan keluarga.
Ayahku sangat pandai membuat jaring penangkap nener dengan ukuran yang berbeda-beda. Untuk anak seusia saya dan kakak yang masih duduk di SMP saat itu ayah mendesain jaring dengan ukuran yang lebih kecil, sedangkan bagi mereka dibuat ukuran yang lebih besar.
Setiap kali liburan sekolah atau hari sabtu dan minggu pemandangan pantai tidak hanya dipenuhi oleh para orangtua melainkan juga anak-anak usia sekolah seperti kami.
Mencari nener dalam bahasa kami biasa disebut dorong nener, karena proses yang dilakukan untuk mendapatkan nener hanya mendorong jaring berpelampung bola plastik tersebut menyusuri pinggiran laut berbusa akibat pecahan ombak. Nener yang terperangkap ke dalam jaring tentu tidak bisa meloloskan diri karena jaring akan digerakan sambil berjalan berlawanan dengan arah gerak nener. Setelah merasa sudah banyak yang terperangkap maka jarring pun diangkat lalu simpul tali pun dibuka dan dituangkan ke dalam wadah penampung.
Nener yang dibutuhkan para penadah adalah nener yang masih dalam kondisi segar dan hidup. Oleh karena itu, wadah penampung yang dibutuhkan harus lebih dari satu. Kami biasa menggunakan dua wadah besar untuk menampung.
Setelah nener-nener terperangkap jaring, nener pun dimasukan ke dalam wadah pertama untuk memisahkanya dari kotoran atau ikan-ikan kecil lain yang juga ikut terjaring. Nener yang mati juga dibuang agar tidak berpengaruh pada nener-nener yang masih hidup. Setelah itu, nener yang masih dalam kondisi segar dimasukan ke dalam wadah penampung kedua yang berisi air tawar bercampur sedikit air laut yang sudah bersih dari kotoran.
Sekali menjaring bisa sampai ratusan ekor dan bahkan lebih bergantung pada cuaca dan kondisi air laut. Dalam sehari saja bisa sampai puluhan ribu ekor nener hidup yang didapatkan dan dijual kepada penadah.
Di Nangaroro saat itu terdapat dua rumah penadah atau distributor kecil-kecilan. Menurut informasi dari para penadah Om Simon dan Om Sinyo saat itu bahwa nener yang dibeli akan dikirimkan ke Surabaya. Saat itu nener dihargai Rp.5 per ekornya. Bayangkan saja dari satu orang pencari nener saja mengumpulkan hingga puluhan ribu ekor per harinya, apalagi jika penadah membeli semua nener dari sekian banyak pencari nener setiap harinya dengan harga yang bisa dikatakan cukup murah. Para penadah tentu meraup keuntungan yang cukup tinggi ketika menjual lagi ke tangan kedua atau ketiga di Surabaya. Biasanya nener yang telah dibeli dari para pencari akan dimasukan ke dalam tabung dari bahan plastik dengan ruang udara yang cukup agar nener tidak mudah mati.
Kemungkinan besar pengiriman nener melalui perjalanan laut dengan kapal penumpang atau kapal barang untuk tiba di Surabaya. Para penadah di Surabaya menjual bibit bandeng tersebut kepada pengrajin tambak ikan air tawar di Surabaya untuk dikembangbiakan menjadi bandeng dewasa. Hanya butuh waktu sekitar tiga sampai empat bulan nener-nener kecil tersebut tumbuh hingga menjadi bandeng dewasa yang siap dipanen untuk dikonsumsi. Permintaan pasar bandeng dewasa yang meningkat tentu mempengaruhi permintaan bibit ikan tersebut.
Saat ini baru terpikir olehku, mengapa ketika itu kami tidak membuat tambak bandeng sendiri? Jika dipikir-dipikir logisnya adalah menangkap nener sendiri, dipelihara ditambak sendiri hingga jadi bandeng dewasa lalu dijual dengan harga sendiri. Soal pengalaman tentang ikan sudah tidak diragukan lagi, mungkin karena minimnya SDM untuk memahami proses pemasaran. Oleh karena itu pemerintah saat ini harus mampu melihat potensi SDA yang bisa dikembangkan secara jujur di daerah sendiri.
Share this article :

Post a Comment

 
Contact Us : Facebook | Twitter | Feeds
Copyright © 2011. Himappen Jabodetabek - All Rights Reserved
Great Created by Creating Website Modify by Agaz Santiago
Proudly powered by Blogger