Home » , , , , , » “Trotoar Buat Pejalan Kaki, Bung”

“Trotoar Buat Pejalan Kaki, Bung”

Written By Unknown on February 13, 2013 | 2:14 PM

himapenjakarta.blogspot.com
12 Februari 2013 pukul 06.05, pagi yang cerah di tengah kebisingan dan geliat masyarakat Ibukota yang ingin bekerja, mentari pagi muncul malu-malu di ufuk timur, angin sepoi-sepoi bercampur asap kendaraan menyapu wajahku, sendiriku berjalan di trotoar di jalan pasar minggu raya, Jakarta Selatan, trotoar tampak lengang, namun jalan raya seakan tak cukup menampung kendaraan bermotor yang mengarah ke Jakarta Pusat. Langkahku bermalas-malasan karena masih merasa ngantuk setelah kembali dari ATM di seberang jalan, tiba-tiba saya dikagetkan oleh deru motor yang berlawanan arah, ternyata sebuah motor diikuti beberapa motor lainnya sedang berjalan mengarah ke saya, mereka semua berjalan di atas trotoar yang sama dengan saya. Terpaku saya berdiri dengan wajah mengkerut, motor-motor itu pun mengitari saya dan terus melaju di atas trotoar, sadar akan pelanggaran tersbut sayapun merefleksnya dengan menahan motor ketiga yang berjalan di atas trotoar dan langsung memarahinya. “ini trotoar” teriakku, “trus kenape” sahut si pengendara motor dengan logat betawi yang kental, jawabku dengan nada tinggi “lu ngerti aturan lalu lintas ga? Trotoar buat pejalan kaki, bung”, bersamaan dengan itu tanganku melayang dan menampar wajah si pengendara, meskipun si pengendara menggunakan helm (dan akhirnya tanganku yang kesakitan hehehehe). Menyadari kesalahannya, mungkin juga karena baru saja dimarahi oleh pria hitam, dan brewokan (hehehehe…itu saya), si pengendara motorpun mendorong motornya turun dari trotoar dengan diikuti oleh semua motor di belakangnya. Dan sayapun kembali melangkahkan kaki dengan malas, walau terselip rasa bangga karena baru saja menegakkan aturan di jalanan, meskipun ada rasa bersalah karena si pengendara motor yang baru saya marahi sudah cukup tua sekitar 45 tahun, sedangkan saya masih 23 tahun, ah tapi sudahlah dia yang salah, elakku dalam hati.

Fenomena di jalanan ini terjadi setiap harinya di Jakarta, hingga kota-kota di sekitarnya, apa yang salah? Siapa yang harus di salahkan? Sesempit itukah jalanan ibukota negara hingga pengendara motor harus menggunakan trotoar?. Pertanyaan-pertanyaan itupun berkecamuk dalam pikiranku dalam perjalananku kembali ke kontrakan. Tiap pagi dan sore, jalanan ibukota terasa sempit, karena ada jutaan kendaraan yang menggunakannya, berdasarkan data dari dinas perhubungan DKI Jakarta pada tahun 2010, setiap harinya ada 3 hingga 4 juta kendaraan motor yang melaju di jalanan ibukota. Banyaknya kendaraan motor yang menggunakan jalan ibukota menimbulkan kemacetan dan pelanggaran lalu lintas di Jakarta yang berujung pada kecelakaan di jalanan meningkat (data dinas perhubungan DKI Jakarta pada tahun 2011, ada 2573 kasus kecelakaan lalu lintas), sehingga wajah kota Jakarta semakin semrawut.

Muncul beberapa teori di benakku mengapa Jakarta dipenuhi kendaraan bermotor dan macet yang tiada henti-hentinya terjadi di jalanan ibukota serta pelanggaran lalu lintas seperti menggunakan badan trotoar oleh pengendara motor. Pertama, begitu mudahnya kendaraan motor dibeli atau dikredit, dengan uang muka yang bisa dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah, sehingga orangpun beramai-ramai memiliki kendaraan, khususnya motor. Kedua, trotoar yang khusus pejalan kaki tidak cukup tinggi dari badan jalan, hingga di beberapa titik trotoar banyak yang telah mengalami kerusakan sehingga para pengendara motorpun bisa dengan leluasa menjalankan kendaraannya di atas badan trotoar. Ketiga, lemahnya kesadaran lalu lintas oleh pengguna jalan raya. Keempat, keberadaan kota-kota sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, turut serta perumahan-perumahan yang sebagian besar berada di luar Jakarta, yang hampir sebagian besar pula masyarakatnya atau orang-orang yang mendiami daerah-daerah tersebut bekerja di Jakarta, sehingga pada pagi hari merekapun menyerbu Jakarta dengan menggunakan kendaraan pribadi dan sore hari kembali kerumahnya masing-masing, pada akhirnya menyebabkan kemacetan yang serius di jalanan. Kelima, kurang memadainya angkutan umum sehingga orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Angkutan umum yang kotor, dan tampak reot, hanya busway, kereta api eksekutif maupun AC, serta beberapa angkutan yang cukup layak dan nyaman digunakan. Keberadaan busway sendiri yang menggunakan jalur khusus, semakin menyempitkan jalanan ibukota, sedangkan jika ingin melebarkan badan jalan, sudah sangat tidak mungkin bisa dilakukan, sehingga jalan rayapun seakan tidak mampu lagi menampung kendaraan bermotor. Permasalahan lainnya adalah penggunaan badan jalan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab sebagai tempat parker maupun untuk menjajakan jualannya, pada awalnya mereka hanya menggunakan trotoar, namun pada perkembangannya hingga saat ini, mereka telah merasuk ke badan jalan, hingga jalanan pun semakin sempit dan rawan kecelakaan. Jakartaku sayang, Jakartaku malang (ungkapku dalam hati).

Kembali kuteringat pada apa yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta yang baru yang akrab di sapa Jokowi, beberapa minggu setelah dilantik dalam wawancaranya dengan salah satu stasiun televisi, beliau mengatakan bahwa kemacetan di Jakarta disebabkan oleh tingkah pengendara motor yang saling “salip” atau saling mendahului dijalanan sehingga kemacetan pun terjadi dan rawan kecelakaan. Sesimpel itukah permasalahan kemacetan di Jakarta?. Sangat ironis, mengapa yang disalahkan hanya pengendara motor? sedangkan para pengendara mobil yang paling banyak menggunakan badan jalan dan sering tidak patuh lalu lintas seperti angkutan umum, tidak disalahkan sama sekali oleh beliau. Seharusnya aturan lalu lintas pun harus tegas diimplementasikan, dan polisi yang mengatur lalu lintas pun harus ditartar agar tidak mudah menerima suap dari para pelanggar lalu lintas, mengapa pak Jokowi tidak menyadari hal tersebut? Apakah karena beliau baru jadi Gubernur dan masih membawa memori dari kota solo yang jalanannya lengang dan hanya ada dokar dan becak?. Salah seorang budayawan Indonesia, yang dikenal dengan sebutan bung Arswendo, mengatakan bahwa teroris bukan hanya mereka yang membawa bom dan meledakkannya di pusat keramaian, tetapi para pelanggar lalu lintas adalah teroris yang paling nyata ada didalam kehidupan masyarakat. Beliaupun menyalahkan para pejabat maupun orang terkenal yang sering mengguanakan ford rider (pengawalan dari polisi di jalanan) yang juga seenaknya menerobos lalu lintas sehingga menyebabkan kemacetan, karena di dalam peraturan lalu lintas yang boleh menggunakan ford rider hanya presiden, wakil presiden, dan tamu kehormatan negara. Namun dalam kenyataannya menggunakan ford rider bukan hanya presiden, wakil presiden, dan tamu kehormatan negara, namun para meneteri juga, wakil menteri juga, anggota DPR/MPR, selebriti, bahkan mobil tentara dan polisi pun. Penegak hukum, yang melanggar hukum, ironi bangsaku.

Menurut salah satu dosen senior yang merupakan pakar politik di Pascasarjana Universitas Nasional, yang juga dosen saya, Prof. Dr. Maswadi Maaruf, M.A. mengatakan bahwa pelanggaran lalu lintas di Jakarta sudah sampai pada titik nadir, beliau menganggap bahwa perilaku masyarakat di jalanan adalah cerminan karakter bangsa. Separah itukah karakter bangsa kita?. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sopan, ramah, murah senyum, berubah menjadi bangsa yang pemarah, bangsa pelanggar aturan dan hukum yang dibuat sendiri, bangsa vandalis, bangsa barbar. Kekisruhan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dapat dilihat atau tercermin di jalanan. Karena lalu lintas dengan mudahnya terjadi konflik antar sesama pengguna jalan, terus jalan meski traffic light berwarna merah, saling mendahului, saling senggol antar sesama pengguna jalan, belum lagi aksi pawai oleh organisasi keagamaan tertentu, hingga pungutan liar oleh dirjen prhubungan maupun preman di jalanan, semuanya itu hanya untuk kepentingan pribadi dengan mengesampingkan kepentingan bersama. Itulah karakter bangsa kita saat ini, para pejabat pun saling ‘potong” demi kepentingan pribadi maupun kelompoknya atau partainya, anggota DPR berkelahi dalam sidang paripurna, presiden terlalu takut untuk bertindak tegas, tiap hari bermunculan koruptor-koruptor baru yang ditangkap namun penyelesainnya tidak ada, kesemuanya itu telah mengesampingkan kepentingan bersama/umum. Esensi pelanggaran hukum adalah terpenuhnya kepentingan pribadi atau kelompok dan terabaikannya kepentingan umum, dan itulah kenyataan bangsa kita hari ini, makanya jangan heran jika telah terjadi pelanggaran hukum secara massal dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia saat ini, termasuk di jalanan.

Tulisan inipun saya akhiri dengan pertanyaan, lalu siapakah yang harus menyelesaikan semua itu? Apa kita harus menunggu seorang Ratu Adil untuk menciptakan kedamaian dan kemakmuran serta keadilan seperti yang diramalkan oleh Jayabaya? Lalu apa yang harus dilakukan oleh kaum muda generasi penerus setelah menyadari semua itu?.

Pertanyaan-pertanyaan itupun berakhir dalam renunganku yang belum berakhir, di dalam kontrakanku yang kecil di tengah gang sempit kota Jakarta yang masih hitam, sehitam mendung kemarin sore.



“when time for change’s? now, tomorrow, or someday? you choosen young man”

=My lovely Father said that=
 
penulis : Gian Tue Mali
Share this article :

Post a Comment

 
Contact Us : Facebook | Twitter | Feeds
Copyright © 2011. Himappen Jabodetabek - All Rights Reserved
Great Created by Creating Website Modify by Agaz Santiago
Proudly powered by Blogger