Home » » Lembaran Kami Putih, Guru Beri Tinta untuk Menulis

Lembaran Kami Putih, Guru Beri Tinta untuk Menulis

Written By Puisi on February 7, 2013 | 4:40 PM



Lembaran Kami Putih, Guru Beri Tinta untuk Menulis
Pada usia 6 tahun, saya masuk kelas I SD Katolik Nangaroro, Kabupaten Ngada saat itu. (Sekarang Kabupaten Nagekeo). Untuk apa harus ke sekolah? Mengapa saya tidak ke kebun membantu ayah, atau di rumah saja menemani adik-adiku yang lucu?
Pertanyaan besar ini muncul dalam benak pikiranku saat itu. Maklum, ini pertama kalinya saya sekolah. Saya tidak pernah masuk Taman Kanak-kanak (TKK).
Besar harapan saya ketika itu adalah ke sekolah berseragam putih merah tanpa sandal atau sepatu. Pergi ke sekolah agar dibekali ibu makanan khas kami, jagung goreng kering yang direndam air gula semalaman. Ke sekolah supaya saya bisa bermain dan berbagi makanan bersama teman-teman. Masuk kelas agar bisa bercerita tentang es potong buatan Om Galus.
Memasuki ruangan yang cukup untuk 25 orang, rasa penasaran saya semakin menjadi. Saya bingung dengan apa yang akan dilakukan diruangan yang berlantai semen biasa dengan bangku dan meja dari kayu tua itu. Ada 12 bangku dan 12 meja kayu panjang saat itu. Satu bangku dan satu meja diperuntukan bagi dua orang saja.
Beberapa saat kemudian, seorang bapak tua memasuki ruangan kelas kami. Beliau ternyata seorang guru. Bapak Andreas Gare, yang lebih akrab dipanggil Pak Ande. Usiaanya sekitar 50 tahun lebih, rambut sedikit beruban, sebagianya telah rontok, lalu kedua tanganya yang pendek dan berurat menggenggam buku-buku kusam.
Beliau masuk ke kelas sembari menebar senyum lepas. Senyuman beliau terlihat ramah, seolah mengajak saya dan teman-teman agar selalu tersenyum.
“Selamat pagi anak-anak”, kata beliau. “Selamat pagi pak”, suara riuh terdengar dari semua sisi ruangan kelas. Suara anak-anak yang masih lugu, dan polos. Suara itu bermakna keceriaan dan semangat anak-anak kampung Nangaroro untuk mengetahui secara persis maksud sang Guru masuk ke kelas pagi itu.
“Anak-anak, kira-kira ada yang tahu mengapa hari ini kita di kelas”? “ Belajar Pak”. Jawab sebagian teman. Bermain dan belajar Pak, jawab seorang anak di sudut kanan kelas.
Berbeda halnya saya yang masih bingung dengan apa yang akan dilakukan di ruangan dengan jendela berkaca nako yang terbuka lebar itu. Tak satu katapun yang terlintas dalam benakku untuk berteriak menjawab pertanyaan singkat dari pak guruku tadi.
Mencari-cari jawaban, namun tak kunjung ku dapat. Sedangkan pak guru masih bertanya-tanya kepada 11 siswa dan 13 siswi yang hampir menenuhi semua isi ruangan tersebut. Jawaban yang sama diteriakan isi kelas itu, “belajar dan bermain pak”.
Kesabaran pak Ande memang sudah teruji menghadapi lugunya anak-anak usia 6 tahunan seperti kami. Beliau sudah lebih dari 25 tahun mengajar di sekolah tersebut.
Ia masih saja bertanya. Karena tak ingin ketinggalan saya pun ikut berteriak, “ia pak, kita mau belajar dan main". Masih saja tersenyum, beliau membenarkan jawaban yang sudah hampir 30 menit diteriakan kami yang masih putih saat itu.
“Anak-anak, kita memang akan belajar dan bermain di sekolah ini. Selain itu, semua guru disini akan menjadi orang tua kedua bagi kalian.  Selama di sekolah kalian layaknya anak-anak kami sendiri. “Semua murid tidak hanya dibekali ilmu pengetahuan secara teori, tetapi juga akan dididik soal tingkah laku dan moralitas”, pak guru melanjutkan.
“Tugas guru bukan hanya sekadar mengajarkan materi pelajaran tetapi juga harus mendidik para muridnya,”. Seisi kelas saat itu pun hening sejenak karena terbawa perkataan pak guru tadi.
Beberapa saat kemudian sang guru menghampiri papan hitam yang terletak persis didinding bagian tengah di depan kelas, di bawah foto bapak presiden dan wakilnya saat itu, Pak Harto dan Trisutrisno.
Terlihat bingung, pak guru kembali untuk membuka laci mejanya. Oh, ternyata beliau mengambil sebatang kapur tulis. Spontan saja saya berpikir mungkin pak guru ingin menggambarkan sesuatu.
Ternyata tebakan saya meleset. Sang guru malah menuliskan huruf-huruf aneh yang membentuk kata ”M-e-m-b-a-c-a”. Terasa asing bagi saya yang belum sekalipun mengetahui huruf-huruf di papan hitam itu.
Tiba-tiba suara menggerutu di meja barisan tengah kelas yang mengatakan bahwa “kita akan belajar menghitung”. Suara kawan Rian Mangu yang duduk persis di depan meja saya. Saya pun sangat yakin dan percaya dengan yang dikatakan sahabatku tadi.
“Anak-anak, hari ini kita akan memulai pelajaran membaca”, kata pak. Ande “Mengapa pelajaran membaca”? tanya ku dalam hati. Apakah yang dituliskan pak guru tadi itu membaca? Bukanya menghitung seperti kata teman saya tadi. Dilema ku mulai mencuat dan hampir tak percaya perkataan guruku itu.
Kemudian, guru Ande membagikan buku dengan sobekan-sobekan kecil disetiap sisinya. Sepertinya buku-buku tersebut telah dipakai bertahun-tahun karena sedikit kusam dan kotor. Beliau mengatakan bahwa buku yang sudah dibagikan itu adalah buku belajar membaca Bahasa Indonesia 1 B.
Seketika mulai kuat dugaan saya bahwa pagi ini memang akan ada pelajaran membaca. Bukan menghitung seperti kata kawanku tadi. Sahabat ku salah. Entah menebak atas ketidaktahuan dia, atau mungkin dia sok tahu. Hal lucu dan konyol, melekat di ingatan, juga menjadi memori yang sulit kulupakan.
Waktu berlalu, kami diminta untuk membuka buku tersebut. Dengan cepat saya pun membukanya. Isi buku itu berupa tulisan-tulisan aneh yang terasa sulit untuk dibaca oleh saya dan beberapa teman lainya.
Seisi kelas pun sibuk membuka buku tersebut, termasuk saya dan teman sebangku, Haji namanya. Dia seorang muslim, anak pertama dari Kepala Kantor Urusan Agama di Nangaroro saat itu.
Pak Ande mengatakan bahwa sebelum membaca buku ini kita akan belajar membaca abjad terlebih dahulu, dari A sampai Z. Kira-kira selama 30 menit kami didikte untuk menghafal dan melafalkan abjad-abjad tersebut.
Setelah menghafal abjad, sembari menulis di papan hitam, Pak Ande memberitahukan agar memperhatikan kata-kata yang tertulis pada halaman pertama. Beliau terus menuliskan beberapa kata yakni Ini Budi, Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi, Ini Kakak Budi, Ini Adik Budi. Ayo anak-anak sekarang kita mulai membaca ya”, kata Pak Ande. Ia pak”, jawab kami dengan lantang. Kami pun didikte lagi untuk membaca penggalan kata demi kata. 
Lonceng sekolah berbunyi pkl. 09.00 WITA. Anak-anak sekarang waktunya kita untuk istirahat, tetapi harus masuk lagi ya setelah bel berbunyi nanti”, kata Pak Ande tersenyum. Sebelum istirahat kita harus berdoa terlebih dahulu”, kata Pak Ande yang langsung memimpin doa.
Kami pun keluar setelah hampir dua jam belajar hal-hal sulit dan baru di kelas tadi. Tak ada resume ala orang pintar tentang pelajaran tadi. Kami hanya berbagi makanan, bermain sepak bola dan berlarian gila di halaman sekolah yang teduh oleh pepohonan dan rimbun daun pagar hidup. Peduli setan, tanpa sepatu dan sandal berlari riang tak hiraukan kerikil tajam bekas pembangunan sekolah dahulu.
Lonceng dibunyikan. Saatnya kembali ke kelas. Keringat bercampur debu sudah hitam pekat menempel hampir disemua sisi baju putih saya yang baru dibeli mama di pasar mingguan 4 hari sebelum masuk sekolah. Saya berharap penuh agar mendapatkan sesuatu yang baru kali ini. Entah guru baru yang masuk ataupun dibagikan makanan dan minuman yang enak.
Tak lama menunggu, ternyata  guru berkacamata masuk kelas dan mengucapkan selamat pagi untuk kedua kalinya. Pak Ande lagi. Apa mau belajar membaca lagi?
“Selamat pagi anak-anak”, kata pak Ande. Pagi Pak”. Jawab kami semangat. Bagaimana istirahat tadi, puas?”,tanya pak Andreas tertawa lebar sambil membersihkan  debu di kaca matanya dengan sapu tangan. “Enak pak”, jawab teman yang duduk di sisi kiri meja saya. Kawan Sil Djuang namanya. Dengan suara yang lantang dia berkata”, saya hobi main bola pak’. Ia itu bagus’, jawab pak Ande menahan senyum.
Sekarang belajar menghitung. Kali ini kita tidak hanya membaca angka-angka tetapi nanti sampai pada tahap yang disebut berhitung dari satu sampai sepuluh”, kata Pak Ande sambil menggerakan beberapa jarinya.
Kali ini kami tidak dibagikan buku pelajaran lagi, tetapi beliau malah mengeluarkan beberapa ikat kecil bambu halus. Satu batang irisan bambu kering itu berukuran kira-kira sebesar satu batang rokok mild. Karena semakin dibuat pusing sayapun bertanya. “Pak Guru untuk apa kayu itu”? ”Mengapa tidak dibagikan buku pak”? “Ini lebih susah dari baca ya pak”?
Anak-anak, potongan bambu ini digunakan untuk menghitung”; kata Pak Ande sambil menunjukan irisan bambu kecil di tanganya itu. Teman-teman kita yang tinggal di kota mungkin sudah menghitung menggunakan kalkulator dan sempoa”, beliau melanjutkan.
Pak Ande mulai menuliskan angka di papan hitam. Setelah itu beliau mengajak kami untuk menyebutkan angka 1 - 10. Sekarang mulai dari meja barisan kiri ikuti bapak ya”, kata pak Ande sembari mendikte. Setelah itu, barisan tengah dan barisan kanan juga diarahkan beliau.
Lalu pak Ande mulai membuka ikatan irisan bambu kecil tadi dan mulai menghitung. Beliau mulai mengangkat satu lidi (sebutan kami untuk irisan bambu) dan berkata ini jumlahnya satu, dan seterusnya hingga lidi berjumlah sepuluh di tangan pak Ande.
Setelah itu kami juga diminta untuk mengingat angka-angka yang sudah dilafalkan tadi agar tidak mudah untuk dilupakan. Selain itu pak guru akan menanyakan kembali pelajaran hari ini pada jam pelajaran yang sama dihari berikutnya.
Waktu hampir menunjukan pukul 10.00 WITA. Sebentar lagi kami akan kembali ke rumah. Anak-anak pelajaran hari ini kita akhiri sampai disini ya,” kata pak Ande sembari menghapus papan yang penuh dengan coretan kapur tulis.
Debu-debu kapur yang luar biasa akhirnya mengotori semua lantai kelas bagian depan. Penghapus yang terbuat dari jahitan kain dengan isi kapas dari buah kapuk ternyata tidak begitu sempurna mengatasi debu-debu tebal kapur putih tersebut.
Sebelum pulang kita berdoa sesuai keyakinan kita masing-masing,” kata Pak Ande sambil mengingatkan teman saya Robert Ngate yang sedikit tidak menghiraukan ucapan beliau. Setelah doa kami salam-salaman dan kembali ke rumah.
Saya memetik pesan dari kisah ini. Jasa besar para guru memang harus dihargai dan dikenang sepanjang masa. Kita yang masih lugu dan polos mampu menjadi seseorang yang bisa memahami sesuatu, bisa menjadi orang yang disegani dan lain sebagainya.
Kita harus berbuat, melakukan hal positif agar mencapai harapan para guru yang mendidik kita. 
Guru itu tanpa pamrih. Mereka tak pernah mengharapkan balas jasa material. Hanya tindakan dan perbuatan terpuji yang kita lakukan kepada semua orang, dalam masyarakat, dan lingkungan dimanapun kita berbakti. Hanya itu yang akan merepresentasikan kesuksesan para guru sewaktu mendidik kita. 
Terima kasih guru. Lembaran putih kami sudah penuh dengan tulisan rentetan kisah dan perjuangan hidup. Tinta yang telah kau berikan mengalir tak pernah berhenti. 
Penulis Rofinus Sela Wolo


Share this article :

Post a Comment

 
Contact Us : Facebook | Twitter | Feeds
Copyright © 2011. Himappen Jabodetabek - All Rights Reserved
Great Created by Creating Website Modify by Agaz Santiago
Proudly powered by Blogger